Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kumparanAvatar border
TS
MOD
kumparan
Di Balik Suara Stagnan PKS
Di Balik Suara Stagnan PKS

Setelah melonjak signifkan di Pemilu 2004, perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya mentok di angka tujuh persen. Partai yang mencitrakan diri sebagai partai dakwah ini hanya mampu meraih dan mempertahankan hati 8,3 juta pemilihnya. 

Sejuta jurus telah digencarkan, namun baku hantam di dalam tubuhnya membuat PKS tak bisa berbuat lebih. 

Jelang Pemilu 2004, selain menambahkan kata Sejahtera di ujung nama awalnya yakni Partai Keadilan, slogan yang bersifat lebih universal pun ia gunakan. Tak lama setelah itu, wacana PKS menjadi partai terbuka mulai digelontorkan. Kritik tajam mengalir deras dari pihak-pihak idealis yang mencita-citakan partai tetap pada khittah-nya: berdakwah.

Perbedaan pendapat itu nyatanya tak menyurutkan PKS untuk mencoba menyasar ceruk suara nonmuslim sebagai strategi elektoralnya. Hingga kemudian berbagai kasus, mulai dari kasus asusila hingga korupsi, menghantamnya.

Menurut kader PKS, Arief Munandar, dalam disertasinya yang berjudul Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader PKS, faksionalisasi yang terjadi mempengaruhi kinerja partai. 

“Konflik yang terjadi sedemikian tajam hingga berpengaruh pada kelancaran roda organisasi sehari-hari di tingkat DPP. Mekanisme kerja tidak berjalan normal karena kedua belah pihak yang berkonflik enggan duduk satu meja,” tulis Arief dalam disertasinya. 

Sementara Burhanuddin Muhtadi, yang juga melakukan penelitian tentang PKS hingga dibukukan dengan judul Dilema PKS: Suara dan Syariah, melihat ketiadaan tokoh utama menjadi salah satu faktor yang membatasi suara PKS di tiap pemilu. 

Berikut perbincangan kumparan dengan Arief Munandar dan Burhanuddin Muhtadi yang ditemui secara terpisah pada Rabu (25/4) dan Kamis (3/5). 

Bagaimana sebenarnya faksionalisasi di internal PKS?

Arief: Dari awal saya sudah keberatan kalau orang melihat faksionalisasi PKS seperti orang melihat faksionalisasi pada umumnya, hitam-putih, A dan B, dikotomis. Saya mengatakan bahwa di PKS, faksionalisasi yang ada dinamis. Jadi temuan saya, ada faksi Sejahtera dan faksi Keadilan, atau apapun. 

Ada dinamika di dalam menafsirkan ideologi partai dan menafsirkan term partai dakwah. Sehingga kalaupun mau disebut ada faksi yang lebih religious movement oriented, ada faksi yang political party oriented

Kalau pertanyaannya apakah faksi-faksi ini selalu mempengaruhi setiap proses pengambilan keputusan seperti capres dan lain-lain. Jawabannya enggak sesederhana itu. Yang jelas adalah, setiap orang yang menjadi anggota Majelis Syuro--yang jumlahnya 90 orang sekian itu--jelas berdinamika dalam setiap keputusan strategis yang diambil. 

Mereka yang berada di kelompok religious movement oriented sekarang menguat. Itu bisa kita baca dengan terpilihnya Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Al-Jufrie dan Ketua Partai Sohibul Iman. 

Burhanuddin: Sekarang yang terjadi adalah (dominasi) kubu harakah (gerakan dakwah). Tetapi sebenarnya pembedaan berdasarkan dua kubu di PKS ini sudah tidak terlalu relevan. Karena ada juga kubu hizb, kubu partai yang dulu membantu Anis Matta yang sekarang mendukung Sohibul Iman. 

Pemilahan berdasarkan latar belakang di mana mereka berasal itu sudah tidak terlalu relevan, yang terjadi justru konfliknya mengalami personalisasi. Anis Matta-Fahri Hamzah, dengan Sohibul Iman-Tifatul Sembiring gitu. Jadi tidak lagi merepresentasikan basis dukungan tempat mereka berasal. 

Orang seperti Anis sama Fahri ini kan cenderung dari sisi usia itu lebih muda, kemudian mereka juga lebih progresif karena memang pergaulannya lebih terbuka. Tapi di sisi lain, kubu lawannya yang sekarang berkuasa cenderung bermain aman.

Tapi lagi-lagi sudah banyak perubahan, tidak lagi merepresentasikan--orang menyebutnya-- Kubu Keadilan-Kubu Sejahtera.

Apakah faksionalisasi ini mempengaruhi perolehan suara PKS?

Arief: Betul, karena dinamika tadi. Dalam disertasi, saya menyoroti bahwa transformasi PKS menjadi partai politik memang pekerjaan yang belum selesai sampai hari ini. 

Sekarang saya tanya, PKS lahir dari apa? Dari sebuah religious movement yang di masa Orde Baru itu bergerak di bawah tanah. Norma-norma sebuah organisasi yang bergerak di bawah tanah dan organisasi yang terbuka di permukaan itu totally different. Mentransformasi itu bukan persoalan sederhana. 

PKS sudah punya doktrin yang dibuka kepada publik. Doktrinnya adalah jemaah adalah partai, partai adalah jemaah. Tapi di dalam praktik, tidak sesederhana itu.

Burhanuddin: Ekperimen PKS untuk menyasar pemilih yang ada di tengah masih dilakukan zaman Pak Anis Matta. Jadi berkaca dari pengalaman PKS di Pemilu 2004 dengan memakai isu non-Islam--pada saat itu isu bersih dan perduli--itu kan isu universal. Dan PKS tampil dengan perolehan cukup besar setelah sebelumnya dengan nama PK di 1999 hanya dapat perolehan (suara) tidak signifikan.

Tapi eksperimen di 2009 tidak terlalu berhasil untuk mendeklarasikan PKS sebagai partai terbuka. Ada sebagian kantong PKS, terutama dari kubu harakah, yang bungkam dari PKS karena tidak terlalu setuju dengan strategi elektoral yang menyasar pemilih di luar dari zona nyaman atau ceruk pasar pemilih PKS. 

Tapi juga tidak terlalu turun suara PKS di Pemilu 2009. Di Pemilu 2014 ada sedikit penurunan, tetapi karena ada persoalan yang sulit dikendalikan yaitu kasus korupsi yang menyandera PKS karena melibatkan mantan presiden PKS (Luthfi Hasan Ishaaq yang terjerat kasus suap kuota impor daging sapi). 

PKS identik dengan isu-isu agama. Alami atau strategi elektoral semata?

Arief: Kan PKS ini mulainya dari aktivis dakwah di kampus, di luar kampus, di profesi, dan lain-lain, yang dikenal masyarakat umum sebagai tarbiyah. 

Burhanuddin: Ya, menurut saya wajar ya. Wajar dalam pengertian, bagaimanapun PKS dari sisi khittah kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari doktrin Islam. Jadi doktrinnya kan percaya bahwa negara dan agama itu satu entitas yang tidak bisa dipisahkan. Itu harus disatukan. 

Dan dalam konteks kelahiran PKS, kebetulan tesis saya juga tentang PKS, mereka akan jauh lebih mudah untuk memobilisasi isu agama, karena memang dari sisi raison d'etre-nya (tujuan utama) itu, ya itu. 

Kalau kita lihat data survei, basis pemilih yang terlalu kanan itu juga tidak terlalu besar. Pemilih yang ada di ekstrem kanan yang terlalu Islam, itu jumlahnya sedikit, yang ekstrem kiri juga jumlahnya sedikit. 

Yang besar adalah yang di tengah. Karena pemilih tidak bisa membedakan jenis kelamin partai ini di kiri atau di kanan. Akhirnya pemilih cenderung ke tengah. Jadi dari sisi itu, partai-partai non-Islam seperti PDIP, Demokrat, Gerindra, lebih memiliki keunggulan menyediakan tokoh yang punya appeal, bukan hanya di segmen pemilih nasionalis, tapi juga yang religius.

Nah, partai-partai seperti PKS itu enggak punya tokoh, dan mereka hanya menyasar segmen pemilih yang berada di kanan dalam kurva normal yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kalau mengandalkan terus di situ, sulit buat partai-partai Islam untuk memenangkan pemilu 2019. 

Kenapa PKS sampai menyodorkan sembilan nama cawapres?

Arief: Gerindra minta cawapres dari kita, dari PKS. Menyodorkan sembilan nama itu, kebutuhannya tuh untuk itu sebenernya.

Burhanuddin: Karena kita tahu di 2019, pileg dan pilpres dilaksanakan secara bersamaan. Dalam konteks pileg-pilpres serentak, kemungkinan terjadinya efek ekor jas atau coat tail effect itu besar. Kalau PKS tidak punya tokoh yang maju minimal sebagai cawapres yang berlaga di 2019, dikhawatirkan elektabilitas PKS drop. 

Jadi mereka ingin dari sembilan nama itu minimal satu yang dibina. Nah untuk masuk di (kubu) Jokowi lebih berat. Selain harus meyakinkan basis massa mereka yang cenderung anti-Jokowi, ya di sisi lain juga koalisi permanen mereka dengan Prabowo membuka kemungkinan lebih untuk dipilih sebagai pendamping Prabowo dan itu tentu ngefek terhadap PKS di 2019. 

Nah dengan sembilan nama ini kan kira-kira PKS mengatakan, ‘Oke silakan pilih, tapi dari kader saya'. Sebab kalau misal non-kader, tapi mendapatkan tiket melalui PKS, insentif elektoralnya apa untuk PKS?

Elektbilitas Anies Baswedan lebih tinggi, bagaimana PKS bisa bernegosiasi dengan kondisi itu?

Arief: Kita nggak tahu last minute Pak Prabowo memberikan tiketnya pada orang lain, kita nggak tahu. Kita juga nggak tahu last minute PKS punya hitungan yang berbeda, kita juga nggak tahu.

Burhanuddin: Ya bisa saja, misalnya Anies di PKS-kan (menjadi kader PKS). Menurut saya, kalau Prabowo berpasangan dengan siapapun dan hanya didukung oleh dua partai, maka efek ekor jas-nya itu dimonopoli oleh dua partai pengusungnya. 

Lain dengan Pak Jokowi. (Koalisi) partainya terlalu banyak dan sulit buat partai selain PDIP untuk mendapatkan coat tail effect-nya Pak Jokowi. Jadi pada titik itu--lepas menang-kalah melawan Jokowi di 2019--kalaupun kalah tapi dukungannya cukup banyak, itukan efek ekor jasnya hanya dinikmati berdua saja.

Lain dengan Pak Jokowi, ada banyak partainya. Masing-masing berebut roti, alih-alih dapat roti malah dapat remah.

Deklarasi Anis Matta disebut keluar dari kultur PKS? Apakah sembilan nama ini tidak berupaya mempromosikan diri untuk PKS?

Arief: Pak Anis punya gaya yang khas. Bagi sebagian orang ini dinilai sebagai (gerakan) progresif, bagi kelompok yang lain ini dianggap agak enggak sejalan dengan kultur partai. Jadi apa yang dilakukan Anis Matta bagi sebagian orang ini progresif, bisa membuat PKS menjadi partai besar. Tapi bagi sebagian orang lain menganggap kultur kita (PKS) bukan seperti itu. Bukan seperti itu memaknai kultur partai dakwah.

Kalau kita lompat ke depan, kita bisa lihat sembilan cawapres PKS, hanya Pak Anis Matta kan yang cukup aktif mempromosikan dirinya dengan berbagai cara. Yang delapan lain enggak. 

Tapi kalau Pak Aher tuh enggak pernah mempromosikan dirinya sendiri. Itu kultur PKS. Kalau ada orang bagus, kader PKS yang lain akan mempromosikan dia, akan mengangkat namanya. Justru di kasus Pak Aher, menurut saya, kultur PKS banget.

Burhanuddin: Sama sekali tidak benar. Bukan hanya Anis Matta yang bekerja, Ahmad Heryawan juga bekerja. Bahkan kalau kita lihat beliau (Aher) bekerja dengan menonjolkan klaim keberhasilannya sebagai Gubernur Jawa Barat. Kemudian juga meraih gelar doktor sebelum 2019 di Universitas Padjajaran.

Jadi bukan hanya Anis. Sembilan orang itu disuruh kampanye karena mereka tahu inikan populer menurut kader inti saja. Kader inti berapa sih? Sementara jumlah pemilih kita, kalau kita merujuk pengalaman 2014 itu ada 187 juta. 

Nah kalau di survei-survei pemilih, yang dilakukan dengan proses sampling yang benar, dari sembilan calon yang diusung PKS itu ya rata-rata kurang terkenal. Karena mereka terkenal di kader inti saja, makanya mereka disuruh sosialisasi. 

Jadi bukan keluar dari kultur PKS, Anis Matta itu mendapatkan mandat dari PKS untuk kerja. Dari 9 nama ini kalau mau jadi cawapres Prabowo misalnya, Prabowo kan mengharapkan 9 nama memiliki nilai tambah elektoral. Kalau cuma terkenal di internal buat apa.

Kemungkinan PKS jadi bagian dari Poros Ketiga bagaimana?

Arief: Kalau kita lihat yang ada di permukaan, itu semuanya cukup klir ya. PKS sudah memutuskan koalisi yang relatif permanen dengan Gerindra. Jadi kalau saya ditanya apakah PKS bulat mendukung Prabowo, jangan ditanya sama PKS, tolong tanya sama Gerindra. Seberapa firm mereka (terkait) Pak Prabowo akan maju sebagai capres. 

Jadi menurut saya variabel terbesarnya justru ada di Gerindra dan Pak Prabowo. Jadi kalau misalnya ditanya 'Kok PKS tetap membuka peluang diskusi dengan--katakan Pak Gatot dan lain-lain?’ menurut saya sangat-sangat masuk akal. Karena ini politik. Saya yakin selama Gerindra dan Pak Prabowo firm, PKS akan firm. 

Burhanuddin: Tergantung ada enggak kesempatan dari PKS untuk mencalonkan kadernya, bisa saja. Tapi pertanyaannya adalah koalisi dengan siapa? Karena suara PKS tidak cukup untuk mengusung poros ketiga. 

Gatot sendiri elektabilitasnya kecil. Elektabilitasnya Gatot di bawah bayang-bayang--terutama--Prabowo, karena basisnya mirip. 

Jadi, Prabowo walaupun belum melakukan apa-apa, dia sudah memiliki basis loyalis pemilih. Jadi kalau misalnya Gatot maju sebagai poros alternatif ketiga lawan Prabowo, lawan Jokowi. Per hari ini yang masuk putaran dua adalah Jokowi versus Prabowo.

Kalau Gatot tidak punya peluang untuk memenangkan pemilu berikutnya, ngapain partai-partai mengusung poros ketiga, wong elektabilitas Gatot juga tidak kompetitif.

------------------------

Endus aroma PKS ‘Pecah’ di Liputan Khusus kumparan.



Sumber : https://kumparan.com/@kumparannews/d...ra-stagnan-pks

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Di Balik Suara Stagnan PKS Di Balik Suara Stagnan PKS

- Di Balik Suara Stagnan PKS Mahfudz Siddiq Bongkar Gejolak Internal PKS

- Di Balik Suara Stagnan PKS Sohibul Iman: PKS Harus Istikamah

tata604Avatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan tata604 memberi reputasi
2
345
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan