- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kepercayaan Dewata Sewwae Bugis-Makassar


TS
dewaagni
Kepercayaan Dewata Sewwae Bugis-Makassar
Kepercayaan Dewata Sewwae Bugis-Makassar (1)
Nasaruddin Umar

(Foto: istimewa)
KEPERCAYAAN Bugis (baca: etnik Bugis, Makassar, dan Mandar) pra Islam adalah kepercayaan monoteisme, sebuah faham keagamaan yang percaya kepada hanya satu Tuhan, yang dikenal dengan istilah Dewata Sewwae.
Prof. Mattulada, seorang ahli sejarah dan antropologi Bugis-Makassar-Mandar, memperkuat asumsi ini dengan merujuk sejumlah bukti dan sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Termasuk bukti tersebut ialah Sure' (manuskrip) Lagaligo, yang berkali-kali menyatakan sistem religi masyarakat Bugis menyembah Dewata Sewwae (Tuhan YME). Dewata Sewwae dilukiskan sebagai To Palanroe (Sang Maha Pencipta), dan Patotoe (Yang Maha Menentukan Nasib).
Meskipun disebut Dewata Sewwa, anggota masyarakat tidak bisa memujanya secara langsung tetapi harus melalui dewa-dewa pembantunya melalui tradisi adat leluhur (Attoriolong). Dalam pelaksanaan adat Attoriolong ini juga dilibatkan perangkat adat yang juga berfungsi sebagai tokoh spiritual di bawah Raja.
Posisi Raja atau pemerintah dalam adat Attoriolong sangat penting karena ia diklaim atau mengklaim dirinya mempunyai garis keturunan Dewa melalui Tomanurung (orang yang turun dari langit/kayangan), yang menjadi pemimpin manusia.

Dalam bahasa Bugis, kata Dewata bisa mempunyai beberapa arti. Jika dibawa "De'watngna" berasal dari kata de (tidak) dan watang (batang, wujud)berarti "tanpa wujud", De'watangna (tak berwujud). Sering dikatakan: Naiyya Dewata Seuwae Tekkeinnang (Adapun Tuhan YME tidak beribu dan tidak berayaalam Lontara Sangkuru Patau Mulajaji sering juga digunakan istilah Puang SeuwaE To PalanroE, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta). Dengan demikian konsep Dewata Seuwae adalah Tuhan YME dan tidak mempunyai wujud biasa seperti makhluknya.
Kepercayaan Attoriolong menganggap Matahari dan Bulan itu sebagai Dewa. Karena itu, sejarah tradisi Bugis juga pernah melakukan pemujaan terhadap Arajang (Bugis) atau Kalompoang(Makassar) yang berarti kebesaran, yaitu melakukan upacara pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja seperti tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dll.
Sejumlah peneliti dari Barat seperti Christian Pelras mengungkapkan bahwa kepercayaan orang-orang Bugis-Makassar zaman dahulu pernah menyembah Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang pemujaannya dilakukan pada waktu terbit dan terbenamnya Matahari atau pada saat Bulan tampak pada malam hari. Tempat pemujaannya berbeda dengan kebanyakan aliran kepercayaan di Jawa yang memiliki tempat khusus seperti kuil.
Orang-orang Bugis-Makassar memuja di alam terbuka, misalnya melakukan persembahan (sakrifasi) terhadap Dewa Matahari dengan istilah Esso akkarobang (hari persembahan) atau Uleng akkarobang (bulan persembahan). Kebesaran matahari dan bulan biasa disombolkan dalam miniatur matahari dan bulan dalam bentuk perabotan, pajangan, atau alat-alat tertentu yang terbuat dari tembikar, tembaga, bahkan juga dari emas atau perak. Benda-benda seperti ini masih bisa dijumpai di sejumlah pusat-pusat kerajaan Bugis, Makassar, dan Mandar.
PANDANGAN kosmologi kepercayaan Attoriolong membagi tiga dunia. Pertama, dunia atas (langit), yaitu dunia para Dewa dan Dewata Sewwae dunianya paling di atas. Kedua dunia tengah (lino), yaitu dunianya para manusia. Ketiga dunia bawah (peretiwi), yaitu bumi atau alam tempat manusia hidup.
Ketiga dunia ini masing-masing mempunyai penghuni dan para penghuni tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Agak mirip dengan mitologi Yunani bahwa perilaku mikrokosmos mempengaruhi perilaku makrokosmos.
Manusia sebagai penghuni lino bisa berpengaruh positif atau negatif terhadap dunia langi dan peretiwi. Manusia yang mengindahkan tradisiAttoriolong memberikan pengaruh positif, misalnya langit bersahabat dengannya ditandai turunnya hujan rahmat, bumi juga bersahabat dengannya ditandai hasil panen melimpah. Sebaliknya bisa juga menyebabkan langit menahan hujannya atau meruntuhkan airnya sehingga membawa malapetaka banjir, dan bumi menggagalkan panennya.
Pemujaan terhadap Dewata Sewwae merupakan suatu kemutlakan jika manusia menghendaki keserasian dan keselamatan hidup. Dewata Sewwae memiliki sifat-sifat kemutlakan. Ia sering disebut dengan Dewata Sewwae Papunnaie (Tuhan YME yang memiliki segalanya, termasuk diri manusia), Dewa La Patigana(Tuhan Matahari) dan Dewi Tepuling.
Dewata Sewwae melahirkan sejumlah Dewata (Rewata), yang merupakan asal usul Tomanurung, yang juga merupakan asal-usul seluruh penguasa dinasti Bugis, Makassar, dan Mandar. Kedudukan Dewa-dewa selain Dewata Sewwae lebih merupakan malaikat. Dewa-dewa yang ada di bawahnya disejajarkan dengan Jin. Sedangkan Sangngiang Serri atau di dalam tradisi Hindu dikenal Sang Hyang Seri (Dewi Padi) tidak dianggap Dewi tetapi hanya sebagai "jiwa padi".

Ini menjadi bukti bahwa beberapa kerajaan di Sulawesi pada waktu itu tidak mendapat pengaruh Hindu tapi masih memiliki adat istiadat dan kepercayaan leluhur yang kuat, ialah dengan cara penguburan, bukannya dibakar. Praktek penguburan pada masyarakat Bugis Makassar pada waktu itu masih mengikuti tradisi pra-sejarah, yaitu jenazah dikubur mengarah timurbarat dan pada makamnya disertakan sejumlah bekal kubur seperti mangkuk, cepuk, tempayan, bahkan barangbarang impor buatan China, tiram, dll. Bagi jenazah bangsawan diberikan penutup mata (topeng) dari emas atau perak.
Keterangan-keterangan tersebut di atas dapat ditelusuri di dalam Sure' Lagaligo sekarang sebagian masih tersimpan rapi di Perpustakaan Leiden, Belanda. Sure' Lagaligo juga ditemukan bagian-bagiannya di dalam masyarakat, namun atas kesadaran masyarakat manuskrip langka ini umumnya sudah diamankan oleh pemerintah daerah.
Koleksi-koleksi pribadi sebagian sudah diamankan di museum dan copy-nya di sejumlah perpustakaan. Bagian-bagian dari Sure' Lagaligo sudah diangkat ke dalam bentuk karya seni yang bernilai tinggi, termasuk pementasan Ilagaligo, yang pernah mendapatkan sejumlah penghargaan internasional. Sisi keagamaan masyarakat Bugis banyak diungkap di dalam Sure' Lagaligo.
Menurut Prof Andi Zainal Abidin, tokoh Lagaligo sezaman dengan Nabi Muhammad Saw. Jika hal ini benar berarti usia karya Lagaligo sudah lebih dari 14 abad. Nama Makassar juga sangat erat hubungannya dengan Islam. Sebelum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw tiba di daerah Bugis, konsep ajaran itu sudah familiar bagi masyarakat Bugis-Makasaar.
Makassar menurut Prof Andi Zainal Abidin berasal dari kata Mangkasara (tampak). Nama itu dipopulerkan oleh Sultan Alauddin, raja pertama yang masuk Islam, ketika ia menyaksikan kehadiran Nabi Muhammad Saw tampak (mangkassara) gambarnya di kuku raja.
https://m.inilah.com/news/detail/220...gis-makassar-2
Nasaruddin Umar

(Foto: istimewa)
KEPERCAYAAN Bugis (baca: etnik Bugis, Makassar, dan Mandar) pra Islam adalah kepercayaan monoteisme, sebuah faham keagamaan yang percaya kepada hanya satu Tuhan, yang dikenal dengan istilah Dewata Sewwae.
Prof. Mattulada, seorang ahli sejarah dan antropologi Bugis-Makassar-Mandar, memperkuat asumsi ini dengan merujuk sejumlah bukti dan sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Termasuk bukti tersebut ialah Sure' (manuskrip) Lagaligo, yang berkali-kali menyatakan sistem religi masyarakat Bugis menyembah Dewata Sewwae (Tuhan YME). Dewata Sewwae dilukiskan sebagai To Palanroe (Sang Maha Pencipta), dan Patotoe (Yang Maha Menentukan Nasib).
Meskipun disebut Dewata Sewwa, anggota masyarakat tidak bisa memujanya secara langsung tetapi harus melalui dewa-dewa pembantunya melalui tradisi adat leluhur (Attoriolong). Dalam pelaksanaan adat Attoriolong ini juga dilibatkan perangkat adat yang juga berfungsi sebagai tokoh spiritual di bawah Raja.
Posisi Raja atau pemerintah dalam adat Attoriolong sangat penting karena ia diklaim atau mengklaim dirinya mempunyai garis keturunan Dewa melalui Tomanurung (orang yang turun dari langit/kayangan), yang menjadi pemimpin manusia.

Dalam bahasa Bugis, kata Dewata bisa mempunyai beberapa arti. Jika dibawa "De'watngna" berasal dari kata de (tidak) dan watang (batang, wujud)berarti "tanpa wujud", De'watangna (tak berwujud). Sering dikatakan: Naiyya Dewata Seuwae Tekkeinnang (Adapun Tuhan YME tidak beribu dan tidak berayaalam Lontara Sangkuru Patau Mulajaji sering juga digunakan istilah Puang SeuwaE To PalanroE, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta). Dengan demikian konsep Dewata Seuwae adalah Tuhan YME dan tidak mempunyai wujud biasa seperti makhluknya.
Kepercayaan Attoriolong menganggap Matahari dan Bulan itu sebagai Dewa. Karena itu, sejarah tradisi Bugis juga pernah melakukan pemujaan terhadap Arajang (Bugis) atau Kalompoang(Makassar) yang berarti kebesaran, yaitu melakukan upacara pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja seperti tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dll.
Sejumlah peneliti dari Barat seperti Christian Pelras mengungkapkan bahwa kepercayaan orang-orang Bugis-Makassar zaman dahulu pernah menyembah Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang pemujaannya dilakukan pada waktu terbit dan terbenamnya Matahari atau pada saat Bulan tampak pada malam hari. Tempat pemujaannya berbeda dengan kebanyakan aliran kepercayaan di Jawa yang memiliki tempat khusus seperti kuil.
Orang-orang Bugis-Makassar memuja di alam terbuka, misalnya melakukan persembahan (sakrifasi) terhadap Dewa Matahari dengan istilah Esso akkarobang (hari persembahan) atau Uleng akkarobang (bulan persembahan). Kebesaran matahari dan bulan biasa disombolkan dalam miniatur matahari dan bulan dalam bentuk perabotan, pajangan, atau alat-alat tertentu yang terbuat dari tembikar, tembaga, bahkan juga dari emas atau perak. Benda-benda seperti ini masih bisa dijumpai di sejumlah pusat-pusat kerajaan Bugis, Makassar, dan Mandar.
PANDANGAN kosmologi kepercayaan Attoriolong membagi tiga dunia. Pertama, dunia atas (langit), yaitu dunia para Dewa dan Dewata Sewwae dunianya paling di atas. Kedua dunia tengah (lino), yaitu dunianya para manusia. Ketiga dunia bawah (peretiwi), yaitu bumi atau alam tempat manusia hidup.
Ketiga dunia ini masing-masing mempunyai penghuni dan para penghuni tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Agak mirip dengan mitologi Yunani bahwa perilaku mikrokosmos mempengaruhi perilaku makrokosmos.
Manusia sebagai penghuni lino bisa berpengaruh positif atau negatif terhadap dunia langi dan peretiwi. Manusia yang mengindahkan tradisiAttoriolong memberikan pengaruh positif, misalnya langit bersahabat dengannya ditandai turunnya hujan rahmat, bumi juga bersahabat dengannya ditandai hasil panen melimpah. Sebaliknya bisa juga menyebabkan langit menahan hujannya atau meruntuhkan airnya sehingga membawa malapetaka banjir, dan bumi menggagalkan panennya.
Pemujaan terhadap Dewata Sewwae merupakan suatu kemutlakan jika manusia menghendaki keserasian dan keselamatan hidup. Dewata Sewwae memiliki sifat-sifat kemutlakan. Ia sering disebut dengan Dewata Sewwae Papunnaie (Tuhan YME yang memiliki segalanya, termasuk diri manusia), Dewa La Patigana(Tuhan Matahari) dan Dewi Tepuling.
Dewata Sewwae melahirkan sejumlah Dewata (Rewata), yang merupakan asal usul Tomanurung, yang juga merupakan asal-usul seluruh penguasa dinasti Bugis, Makassar, dan Mandar. Kedudukan Dewa-dewa selain Dewata Sewwae lebih merupakan malaikat. Dewa-dewa yang ada di bawahnya disejajarkan dengan Jin. Sedangkan Sangngiang Serri atau di dalam tradisi Hindu dikenal Sang Hyang Seri (Dewi Padi) tidak dianggap Dewi tetapi hanya sebagai "jiwa padi".

Ini menjadi bukti bahwa beberapa kerajaan di Sulawesi pada waktu itu tidak mendapat pengaruh Hindu tapi masih memiliki adat istiadat dan kepercayaan leluhur yang kuat, ialah dengan cara penguburan, bukannya dibakar. Praktek penguburan pada masyarakat Bugis Makassar pada waktu itu masih mengikuti tradisi pra-sejarah, yaitu jenazah dikubur mengarah timurbarat dan pada makamnya disertakan sejumlah bekal kubur seperti mangkuk, cepuk, tempayan, bahkan barangbarang impor buatan China, tiram, dll. Bagi jenazah bangsawan diberikan penutup mata (topeng) dari emas atau perak.
Keterangan-keterangan tersebut di atas dapat ditelusuri di dalam Sure' Lagaligo sekarang sebagian masih tersimpan rapi di Perpustakaan Leiden, Belanda. Sure' Lagaligo juga ditemukan bagian-bagiannya di dalam masyarakat, namun atas kesadaran masyarakat manuskrip langka ini umumnya sudah diamankan oleh pemerintah daerah.
Koleksi-koleksi pribadi sebagian sudah diamankan di museum dan copy-nya di sejumlah perpustakaan. Bagian-bagian dari Sure' Lagaligo sudah diangkat ke dalam bentuk karya seni yang bernilai tinggi, termasuk pementasan Ilagaligo, yang pernah mendapatkan sejumlah penghargaan internasional. Sisi keagamaan masyarakat Bugis banyak diungkap di dalam Sure' Lagaligo.
Menurut Prof Andi Zainal Abidin, tokoh Lagaligo sezaman dengan Nabi Muhammad Saw. Jika hal ini benar berarti usia karya Lagaligo sudah lebih dari 14 abad. Nama Makassar juga sangat erat hubungannya dengan Islam. Sebelum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw tiba di daerah Bugis, konsep ajaran itu sudah familiar bagi masyarakat Bugis-Makasaar.
Makassar menurut Prof Andi Zainal Abidin berasal dari kata Mangkasara (tampak). Nama itu dipopulerkan oleh Sultan Alauddin, raja pertama yang masuk Islam, ketika ia menyaksikan kehadiran Nabi Muhammad Saw tampak (mangkassara) gambarnya di kuku raja.
https://m.inilah.com/news/detail/220...gis-makassar-2
0
2.9K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan