Kaskus

News

gmc.yukonAvatar border
TS
gmc.yukon
Anomali Dolar Nyaris Rp 14.000 dan Anehnya Perekonomian RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS seperti kembali ke tahun 2015 silam, ketika devaluasi yuan terjadi. Rupiah terhadap dolar AS nilainya hampir sama seperti saat ini di mana nyaris menyentuh level Rp 14.000.

Yang terjadi saat ini, lebih dominan karena perekonomian AS yang makin membaik di mana membuat bank sentralnya siap menaikkan bunga acuannya serta naiknya US Treasury Bills yang hampir menyentuh 3%. Perang dagang pun menjadi sebuah sorotan yang membuat nilai tukar terus tertekan. 

Apa yang sebenarnya terjadi dalam perekonomian Indonesia?


"Disebut aneh, tapi saya lebih sering menyebutnya anomali itu yang saya sampaikan. Kita itu anomali, kondisi stabilitas yang kita jaga itu dan kemudian dapat penilaian positif dari lembaga internasional tidak cukup mendorong investasi baik dari luar mapuun investasi dalam negeri," kata Piter Abdullah, Direktur Riset CORE kepada CNBC Indonesia, Selasa (24/4/2018). 

Menurut Piter, hal tersebut kemudian menyebabkan perekonomian Indonesia terjadi stagnansi atau terhambat. Kondisi ini diperburuk oleh konsumsi yang terus melemah.

"Konsumsi ini ada kaitannya dengan terutama dari kebijakan pemerintah yang berupaya meningkatkan belanja dengan menaikkan pajak. Walaupun ada beberapa kebijakan tax holiday, tapi tax holiday itu lebih alasan insentif investasi tapi lupa dalam konteks konsumsi. Ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah," tuturnya.

Lebih jauh, Ia memastikan perekonomian Indonesia pada dasarnya secara fundamental cukup baik. Tetapi masalah datang dari sisi insentif untuk perekonomian yang harus didongkrak. 

"Saat ini masyarakat main aman, pelaku ekonomi mencari safety. Terjadi wait and see jadi orang cenderung nahan konsumsi, karena sistem insentif tidak mendorong dia," kata Dia.

"Sebenarnya aneh, tapi karena bertahun-tahun terjadinya, maka tidak aneh lagi jadinya. Bertahun-tahun kita alami itu," imbuh Piter.

Arah ke Depan Tak Bisa Ditebak

Sementara, Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Hastiadi, justru mengatakan secara fundamental ekonomi Indonesia belum terlalu baik.

"Kita butuh dorongan lebih kuat lagi. Dari konsumsi begitu-begitu saja. Tidak begitu melonjak signifikan, padahal pemerintah sudah melakukan ekspansi fiskal khususnya infrastruktur, tapi kok pertumbuhan konsumsi masih rendah," jelas Fithra.

Fithra berpandangan sekitar 20% masyarakat di tingkat bawah, terjadi penurunan purchasing power atau daya beli. Hal ini terjadi akibat beberapa faktor.

"Karena ongkos pendidikan, ongkos energi listrik meningkat. Sementara gaji mereka take home pay turun. Gaji tidak naik, uang lembur dipangkas. Secara riil, upah buruh rata-rata itu turun," paparnya.

"Sementara untuk middle class beberapa alami penurunan tapi saya rasa tidak signfikan. Nah justru yang perlu dilihat adalah masyarakat kalangan atas. Karena 20% teratas mendominasi perekonomian," imbuhnya lagi.

"Apa yang terjadi sama mereka? Mereka punya duit, tapi wait and see menahan diri. Dilihat dari perkembangan DPK (Dana Pihak Ketiga) yang cenderung meningkat. Jadi mereka berjaga-jaga karena dampak perekonomian ke depan sangat tidak bisa ditebak."

Melemahnya Makro Ekonomi

Ekonom INDEF, Bhima Yudistira, memandang hal yang sama. Kondisi makro ekonomi bisa terlihat bahwa fundamentalnya agak melemah. 

Menurutnya, ekonomi cuma tumbuh 5% dan terlihat stagnan dalam 3 tahun terakhir. Indonesia semakin tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam yang tumbuh 7,7% pada triwulan I-2018, dan Malaysia pertumbuhannya di atas 5,6%.

"Jadi persoalan sekarang bukan lagi karena eksternal tapi faktor domestik. Akar masalahnya kalau dilihat karena kepercayaan konsumen menurun, masyarakat lebih memilih untuk menahan belanja, uang disimpan di tabungan. Ada kekhawatiran krisis, gaduh di tahun politik dan kenaikan harga BBM non subsidi dan harga pangan jelang Lebaran," papar Bhima.

Padahal 56% ekonomi Indonesia, sambung Bhima, disusun dari konsumsi rumah tangga. Bahkan lebih dalam lagi, menurut Bhima masalah kepercayaan ini kalau dibiarkan bisa membuat resesi. 

"Keanehan kondisi makro ekonomi Indonesia sudah tercium sejak tahun 2014 lalu paska kejatuhan harga komoditas. Tapi pemerintah tidak punya sense of crisis, subsidi BBM dicabut, subsidi listrik 900 VA juga dicabut dengan dalih membangun infrastruktur," tuturnya.

"Kalau subsidi energi berkurang kan imbasnya penyaluran BBM Premium bisa langka, di Jamali (Jawa-Madura-Bali) penyaluran Premium anjlok 50%. Imbasnya baru terlihat parah sejak 2015-2017. Ketika saat ini pemerintah sibuk salurkan bansos, janji harga BBM subsidi tidak naik sampai tahun 2019 sebenarnya sudah terlambat sekali. Saya bisa bilang Pemerintah menjadi pahlawan kesiangan," tutup Bhima. (dru/wed)

https://www.cnbcindonesia.com/market/20180424161251-17-12296/anomali-dolar-nyaris-rp-14000-dan-anehnya-perekonomian-ri

Itulah yg terjadi
0
2.9K
36
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan