dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Jerit Hati Penganut Kepercayaan Sapto Dharmo
Jerit Hati Penganut Kepercayaan Sapto Dharmo

Bramantyo , Okezone  Jum'at 20 April 2018 06:02 WIB



Supangat, sang Penghayat Aliran Kepercayaan Sapto Dharmo di Solo (Foto: Bram/Okezone)

SOLO - Kediaman Supangat di RT 5 RW 4 Kelurahan Kadiporo, Banjarsari, Solo tampak sepi. Meski sepi, rumah berukuran cukup besar ini dibiarkan terbuka. Setelah memakirkan kendaraan tepat di bawah papan nama bertuliskan Sapto Dharmo yang mulai mengelupas catnya, Okezone pun mengetuk lonceng kecil yang tergantung di pintu pagar rumah.

Tak lama, keluar seorang perempuan tua dari pintu samping. Sambil mengelap keringat di dahinya, perempuan yang telah berumur yang ternyata istri dari Supangat ini pun mempersilahkan masuk.

"Mau bertemu bapak? Kemana tadi ya. Katanya mau jalan-jalan. Paling cuma putar-putar sini saja. Lah, tidak pakai baju tadi mutarnya," terang perempuan yang minta dipanggil bu Pangat ini mengawali pembicaraannya, belum lama ini.



Awalnya bu Pangat ini begitu semangat bercerita tentang kehidupannya. Mulai dari putra-putrinya yang sudah bekerja hingga aktivitas sehari-hari. Sikap yang tadinya semangat dalam bercerita, mendadak berubah saat mengetahui yang datang adalah seorang wartawan.

"Oh wartawan toh. Saya kira putra dari salah anggota Sapto Dharmo. Saya lupa bertanya tadi. Ditunggu saja ya, bentar lagi datang," jelas bu Pangat sambil beranjak masuk kembali ke pintu samping yang ternyata mengarah ke dapur. Belum lama bu Pangat beranjak dari tempat duduk, orang yang ditunggu pun datang.

Tak lama kemudian, orang yang ditunggu datang. Melihat suaminya datang, bu Pangat pun buru-buru menghampiri suaminya. "Pak, dicari wartawan, itu orangnya," ungkap bu Pangat pada suaminya.

Setelah mendengar penjelasan istrinya, Supangat pun menghampiri. "Tepangaten kulo Supangat (kenalkan saya Supangat)," terang Supangat.



Sepintas, Supangat yang ditaksir telah berumur kepala tujuh terlihat kaku orangnya. Bahkan suasanapun yang awalnya kaku, berubah santai, saat Supangat bercerita tentang aliran kepercayaan yang dianutnya. Namun, saat ditanya berapa umur Supangat, pria ini enggan menyebutkannya.

"Sing penting seger waras, mas. Umur kangge nopo (Yang penting sehat, umur buat apa)," paparnya.

Menurut Supangat, meski dirinya dan istrinya memiliki kepercayaan berbeda, namun mayoritas warga di sekitar tidak mempermasalhakan. Mayoritas warga di mana Supangat tinggal adalah Muslim dan Nasrani. Namun mereka tak mempermasalahkan dirinya dan rumah miliknya yang kerap dipakai untuk menggelar kegiatan bagi anggota aliran kepercayaannya.



Supangat sampaikan, dirinya dipercaya sebagai salah satu pimpinan kecil di sekitar tempat tinggalnya. Meski terbatas hanya dilingkungannya, tapi penganut kepercayaan dari daerah lain di wilayah Kadipiro, ada juga yang datang ke rumahnya.

"Jadi kepercayaan yang saya anut itu ada pembagian wilayah. Saya itu khusus untuk wilayah sini. Jadi yang datang itu penganut yang rumahnya dekat sama rumah saya. Tapi ada juga yang datang dari wilayah lain," terangnya.

Diakui oleh Supangat, awalnya penganut kepercayaan yang datang ke rumahnya untuk bersama-sama berdoa itu jumlahnya cukup banyak. Namun secara pelahan, jumlahnya mulai mengalami penyusutan. Dan akhirnya cuma dirinya dan istrinya saja yang bertahan. Penganut Sapto Dharmo bisa melakukan ibadah secara pribadi di rumah atau bersama-sama di tempat ibadah yang biasa mereka sebut dengan Sanggar.

"Awalnya itu yang datang ke rumah itu sampai 50 orang. Terus menyusut terus sampai lima orang yang bertahan. Dan akhirnya cuma saya dan istri saya saja yang bertahan," terang Supangat yang direspons anggukan kepala oleh istrinya.

Diakui oleh Supangat, untuk regenerasi dialiran kepercayaan ini berbeda dengan penganut lainnya. Bahkan,ungkap Supangat, dalam satu keluarga, belum tentu anggota keluarga ada yang mengikuti jejaknya. Seperti di internal keluargannya sendiri saja. Penganut kepercayaan yang tersisa hanyalah dirinya dan istrinya saja. Sedangkan anggota keluarga yang lain, seperti anak-anaknya telah memutuskan meyakini keyakinan yang berbeda dengan dirinya.

"Boten wonten sing derek kulo. Kabeh anak-anak kulo memilih agama liyo. Kulo boten menopo-menopo,niku hak mereka untuk memilih (Tidak ada yang ikut saya. Semua anak-anak saya memilih agama lain. Saya tidak apa-apa, itu hak mereka untuk memilih)," terangnya.

Supangat bisa memaklumi kenapa anak-anaknya lebih memilih agama lain dibandingkan dengan kepercayaan yang dianut kedua orang tuannya. Pasalnya, keputusan anaknya itu memeluk kepercayaan lain diambil, dikarenakan sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi, aliran kepercayaan tak bisa ditulis di kolom agama. Sehingga kondisi itu menyulitkan anak-anaknya untuk beraktivitas.

"Dulu itu kan aliran kepercayaan tidak bisa masuk ke kolom agama. Tapi sekarang sudah bisa dicantumkan. Meskipun, saat hendak merubah KTP, kami hanya diberi secarik kertas yang berisikan keanggotaan aliran kepercayaan. Misal, saya anggota Sapto Dharmo. Nah, disecarik kertas ini menerangkan kalau saya itu anggota dari Sapto Dharmo. Tapi, kertas ini dibawa ke catatan sipil terus bisa merubah kolom agama," paparnya.

Namun, meski Mahkamah Konstitusi telah memutuskan aliran kepercayaan itu sama dengan kepercayaan lainnya. Tapi, Supangat masih menilai bila kemerdekaan dari keputusan Mahkamah Konstitusi itu masih semu. Sebenarnya bukan sebuah pengakuan di KTP saja yang utama dibutuhkannya.

Tapi, Supangat memimpikan alirannya ini bisa mendirikan sebuah tempat ibadah tetap, seperti penganut agama lainnya. Meskipun sebenarnya bagi mereka, untuk berdoa pada sang pencipta bisa dilakukan dimana saja. Tapi dengan adanya tempat ibadah, merupakan wujud pengakuan dari pemerintah. Sehingga, Supangat menilai bila perjuangan mereka belumlah selesai. Pasalnya, mayoritas masyarakat masih banyak yang salah presepsi tentang apa yang disembahnya.

"Memang aliran kepercayaan itu berbeda-beda tiap-tiap daerah. Tapi apa salah, kalau kami pun memimpikan punya tempat ibadah. Selama ini kalau beribadah, kami menggunakan rumah anggota kami sendiri.Tapi ya itu, itu hanyalah sebatas cita-cita kami saja," terangnya.

Menurut Supangat, masih banyak masyarakat yang salah persepsi tentang apa yang disembahnya. Sama seperti penganut lainnya, aliran kepercayaan pun menyembah Tuhan. Bahkan untuk meyakinkan, Supangat pun mempraktekannya.

Supangat pun membeberkan cara berdoa alirannya. Di mana, sebelum memulai berdoa, selembar kain mori putih digelar untuk alas. Setelah kain putih mori digelar menghadap ke timur, merekapun berdoa. Dimana, kedua tangan ditekukan didada. Setelah itu bersujud dengan cara kepala ditundukan ke tanah dengan posisi tangan masih didada, sebanyak tiga kali.

"Tak ada kidung-kidungan, saat berdoa suasana harus dalam kondisi hening untuk memusatkan pikiran. Sehari cuma sekali saja. Tapi kalau mau lebih, juga tidak apa-apa," paparnya.

Untuk mengingatkan ajaran Sapto Dharmo, ungkap Supangat, mereka pun membuat kalender sendiri. Di mana, kalender itu memuat ajaran kebaikan dari Sapto Dharmo.

https://news.okezone.com/read/2018/0...-dharmo?page=3


Miris mendengarnya, semoga aja bisa diakui resmi
0
23.5K
140
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan