azizm795Avatar border
TS
azizm795
60 Tahun Willy Pramudya adalah Fakta, Bukan Hoax!
 [url=http://willy%20pramudya/][color=#b20202]Willy Pramudya[/color][/url]. Sebuah nama hibrida yang mengingatkan kita pada dua raksasa sastra Indoneia: Willibrordus Surendra (Willy alias W.S Rendra) dan Pramoedya Ananta Toer. Rendra penyair sekaligus aktor-sutradara teater, sedangkan Pram novelis-sejarawan-dokumentator. 
Baca juga : Willy Pramudya, Ide dan Karsa yang Tiada Henti
Panggilan yang melekat sejak bayi-kah Willy Pramoedya ataukah  nama pena hasil rekayasa sejak pemakainya berakrab-ria dengan dunia sastra? Begitu pertanyaan yang muncul di benakku saat mulai mengenal pemiliknya.  Jauh hari kelak pertanyaan itu kuajukan ke dia.  “Sebagian asli,” begitu jawabnya.
Entahlah kalau ia menjawab sembari bergurau. Antara serius dan becanda, adakalanya ia kaburkan. Kalau saja itu nama asli, sungguh pemberinya bercita rasa sastra Nusantara, kataku dalam hati.

Novelis Ayu Utami bicara ihwal kawan lamanya, Willy Pramudya (foto: P, Hasudungan Sirait)
Kemarin sore, begitu ia tiba di Perpustakaan Nasional di Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta, untuk peluncuran buku kumpulan puisinya, Obituari untuk Kota Mati, dirinya segera kuhampiri. Tanpa membuang waktu, kutanyakan namanya yang sejati.  
“Johannes De Britto Eka Pramudya,” ucapnya.
“Jadi ‘Willy’ itu buatan sendiri?”
“Benar, kawan,” ucap lelaki berjas lengkap yang sedang menjadi bintang utama, sembari tersenyum.
Memang sejak lama ia menjadi pengagum Willy alias Rendra, gembong Bengkel Teater. Jadi, soal nama ‘Willy Pramudya’ benderang sudah.
Willy Pramudya sebelumnya sudah beberapa kali kulihat di lapangan saat kami sama-sama meliput di paruh pertama 1990-an.  Kata yang kami pertukarkan kala itu sebatas ‘hai’ atau ‘apa kabar’,  untuk pengakraban. Kesan awalku, ia sosok yang supel dan  gemar berkata-kata.  
Kami berdua segera menjadi karib setelah bersama kawan yang lain ikut rapat-rapat gelap penyatuan barisan untuk melawan pemberangus DetikEditor, dan Tempo (pembredelan pada  21 Juni 1994). Keeratan itu bertambah lagi dan bahkan cenderung menjadi tak berpembatas setelah kami menjadi bagian dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang kami deklarasikan di Sirnagalih pada  7 Agustus 1994. 

Filsuf Mudji Soetrisno membahas' Obituari untuk Kota Mati' (foto: P. Hasudungan Sirait)
Gambaran diri Willy yang lebih utuh lekas kudapatkan di Rumah Susun Tanah Abang, tempat AJI bermarkas. Di balik prinsipnya yang teguh,  ia sosok yang hangat, riang, dan suka guyon. Satu lagi, ia acap menggunakan kalimat-kalimat panjang dengan klausa yang menyesak di sana-sini; siapa pun yang asing terhadap dunia filsafat niscaya bisa lekas kembung dibuatnya. Bila sedang menerangkan sesuatu, gayanya laksana pak guru yang tengah mengajar di kelas. Tuturannya verbal, kata demi kata diucapnya serba berpenekanan, dan logat  Jawa-nya yang masih agak medok. Yang menarik, ujung ujarannya acap berupa ‘twist’ karena sengaja diplintir utuk menghasilkan efek lucu.
Sejak awal aku suka bercakap dengan Willy. Soalnya persinggungan minat kami banyak, antara lain: sastra, bahasa, budaya, musik, pendidikan, filsafat, dan tentu saja:  jurnalisme.  Setelah cukup sering terlibat di pelbagai workshop yang sama sebagai pemateri, dari dia aku kemudian mengetahui lebih banyak ihwal sejarah dirinya. Gambaran kasarnya kurang lebih seperti berikut.
Sebelum menjadi wartawan di paruh pertama 1990-an, Willy memang berbelas tahun menjadi guru SMA di Yogyakarta. Bopkri, dan Santo Thomas antara lain tempatnya mengajar. Di Kolese [url=http://de%20britto/][color=#b20202]De Britto[/color][/url] juga ia sempat menyemaikan ilmu teater.
Ia lantas berpaling dari profesi guru menjadi wartawan. Sebabnya? Ia merasa waktunya tersedot sehingga tak leluasa lagi melakoni pekerjaaan kreatif, terutama kegemaran lamanya: menulis. “Pertimbangan lain juga ada waktu itu: profesi guru tidak dihargai baik oleh pemerintah maupun masyarakat,” jelas dia.  

Persembahan lagu dari Michael, putra Willy (foto: P. Hasudungan Sirait)
Willy Pramudya lahir di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, tahun 1958, persis di hari Kartini. Masa kecil dan remaja  ia habiskan di Gisting. Di kaki pegunungan, kelurahan (sekarang kecamatan) di ujung barat Lampung Selatan ini tak jauh dari laut.
Sedikit catatan lhwal Gisting, tempatnya menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja. Di tahun 1930-an penguasa Hindia-Belanda menghadirkan kebun kopi di sana. Untuk itu mereka mengimpor tenaga teknis dari Eropa (Belanda, Jerman, Italia, Prancis, dan yang lain). Buruh kasarnya mereka datangkan dari Jawa Timur hingga Jawa Tengah.
Di tahun 1942 bala tentara Jepang datang. Perkebunan kopi Gisting mereka ambil alih. Pegawai Eropa mereka tangkap dan dijadikan interniran. Seperti pernah dikisahkan Willy dalam tulisan, hanya satu keluarga Eropa saja yang tak  diusik Jepang kala itu yakni orang Jerman. Kepada pasukan Jepang, orang Jerman itu mengingatkan bahwa Jerman-Jepang merupakan poros yang sama dalam menghadapi Sekutu. Dengan ucapan itu selamatlah ia dan keluarganya.
Setelah Jepang kalah perang dan Indonesia merdeka pada 1945, Gisting dikuasai oleh buruh-buruhnya yang berasal dari Pulau Jawa. Kapling mereka bagi-bagi. Jadilah kawasan itu ‘koloni Jawa’.  Warganya melestarikan segala ke-Jawa-an di sana, baik yang dari belahan timur maupun tengah,  termasuk kesenian dan bahasa. Salah satu sentra budaya di sana adalah gereja Katolik, dimana keluarga Willy giat beribadah.  ibadah-ibadahnya menggunakan bahasa Jawa yang halus. Bahwa Willy yang menghabiskan masa kecil dan remaja di Sumatra tetap menjadi Jawa secara kultural,  itulah penjelasannya.

Willy Pramudya 60 tahun (foto: P. Hasudungan Sirait)
Ayah Willy seorang tentara yang pernah menjalani tour of duty termasuk di Kalimantan. Saat hendak ditugasi berperang ke Irian Barat (Papua), batinnya meronta. Diam-diam ia [kini berusia 90 tahun dan masih bugar di sebuah panti wreda] meninggalkan dinas ketentaraan dan memboyong anak-istrinya ke Lampung. Kejadian itu tahun 1962, atau saat Willy masih berumur 4 tahun. Koloni Jawa bernama Gisting menjadi pilihannya. Di sana ia sekeluarga  menggarap tanah dan lekas  akrab dengan satu tetangga yang juga pindahan dari Pulau Jawa. Bermukim di sana sejak 1959, mereka adalah keluarga Her Suharyanto [Her adalah mantan wartawan yang kini bergiat sebagai penulis dan  guru menulis].

Sumber: www.law-justice.co

0
1.2K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan