- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
TELATAH Putusan MK tentang 'penghayat', apa implikasinya
TS
dewaagni
TELATAH Putusan MK tentang 'penghayat', apa implikasinya

Gambar: Penganut agama Parmalim sedang melakukan ibadah di Bogor, Jawa Barat, Selasa (13/2/2018).| © Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id
TELATAH
Putusan MK tentang 'penghayat', apa implikasinya?
Putusan MK tentang aliran kepercayaan menyisakan sejumlah pertanyaan. Seberapa siap aparat pemerintah dan para penghayat sendiri menjalankan putusan itu?
Cukup lega. Itulah perasaan saya ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan saudara-saudara saya dari kalangan penghayat kepercayaan. Dengan putusan MK itu, mereka bisa mencantum "penghayat kepercayaan" di kolom agama yang biasanya dikosongkan atau sekedar diisi dengan salah satu agama yang diakui pemerintah.
"Cukup lega" karena keputusan MK tersebut menunjukkan bahwa alasan mereka untuk mengajukan dapat dimengerti, diterima, dan dibenarkan. Secara moral, putusan itu sebuah kemajuan yang sangat berarti, baik bagi para penghayat kepercayaan maupun negara, sebagai pihak yang harus mengayomi semua warganya dengan baik, benar dan adil.
Bagi para penghayat, putusan MK itu merupakan kemajuan dari perjuangan mereka untuk menyatakan jati dirinya. Bagi negara, langkah itu merupakan kemajuan dalam pemberian hak-hak kepada warganya.
Namun, di sisi lain, keputusan MK tersebut juga memunculkan sejumlah pertanyaan, yang membuat benak saya "belum sangat lega". Di antaranya, "apakah putusan MK tersebut akan diketahui para petugas yang biasa menangani KTP di kantor-kantor kelurahan atau desa? Apakah ketika kategori "penghayat kepercayaan" muncul di KTP pelayanan terhadap pemiliknya--yaitu "penghayat"--akan sama dengan pelayanan kepada warga masyarakat yang lain atau malah lebih buruk? Kalau, ternyata lebih buruk, dapatkah mereka menuntut atau melaporkan pelakunya (pegawai kelurahan atau aparat desa) kepada yang berwajib? Bisakah mereka mengajukan protes?...".
Itulah sejumlah pertanyaan yang membuat saya terpaksa menahan diri untuk tidak terlalu gembira dan puas dengan keputusan MK. Tentu, keputusan tersebut tetap harus kita hargai dan sambut dengan gembira. Akan tetapi, kita juga harus sadar bahwa perjuangan belum selesai. Bahkan mungkin tantangan yang akan dihadapi para penghayat belum tentu berkurang, jika tidak malah akan bertambah berat.
Ada sejumlah tantangan nyata yang akan dihadapi oleh saudara-saudara kita para penghayat. Sebagian tantangan ini berasal dari dalam, dan sebagian lagi berasal dari luar. Mudah-mudahan mereka telah mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi tantangan ini atau bahkan telah berhasil mengatasinya.

Kampung Tarung di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (17/2/2018).© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id
Tantangan di dalam
Tantangan pertama yang berasal dari dalam berkenaan dengan pelaksanaan ritus-ritus tertentu yang berkaitan dengan siklus hidup, seperti pernikahan dan kematian. Saya tidak tahu apakah setiap aliran kepercayaan yang ada telah memiliki SOP atau panduan yang disepakati bersama berkenaan dengan upacara pernikahan dan kematian--yang harus dilakukan--jika ada warga penghayat yang menikah atau meninggal?
Mengapa itu perlu dipikirkan? Almarhum Clifford Geertz, seorang ahli antropologi Amerika yang melakukan penelitian lapangan selama setahun di Mojokuto (Pare) menulis sebuah peristiwa yang mencekam di kota itu, ketika Paijan--seorang anak berusia 10 tahun--meninggal.
Sebuah peristiwa yang tampak sangat biasa, namun menjadi sangat menegangkan dan mencekam ketika anak itu hampir gagal dikuburkan, karena orang tidak tahu siapa yang akan memimpin upacara pemakaman dan bagaimana upacara tersebut harus dilakukan.
Mengapa demikian? Karena paman si anak menjadi pengikut "Permai", sebuah aliran kepercayaan. Sedangkan Pak Modin--sebagai pegawai pemerintah yang biasa memimpin upacara penguburan secara Islam--tidak bersedia memimpin upacara karena dia merasa tidak tahu tata cara penguburan "Permai" dan tidak berhak melakukannya. Masalah baru dapat diatasi setelah salah seorang santri yang saleh, anggota Masyumi yang taat, bernama Abu, bersedia menangani pemandian jenazah Paijan dibantu beberapa tetangga yang hadir.
Pak Modin--yang datang setelah ada orang yang memanggilnya kembali--memperingatkan Abu akan tindakannya, namun tidak melarangnya. Akhirnya, jenazah selesai dimandikan, dikafani, dan kemudian dibawa ke kuburan. Pak Modin memimpin doa penguburan.
Peristiwa ini ditulis Geertz menjadi sebuah artikel ilmiah berjudul "Ritual and Social Change: A Javanese Example" (1963). Tulisan ini sangat populer di kalangan ilmuwan sosial, terutama ahli antropologi, karena Geertz menyajikan peristiwa itu dengan sangat apik dan menarik.
Apa pesan yang dapat kita tangkap dari peristiwa yang terjadi di Pare lebih dari setengah abad yang lalu itu? Tidak lain adalah perlunya SOP atau buku panduan upacara-upacara yang penting dalam hidup para penghayat. Apa yang dialami Paijan dan keluarganya bukan tidak mungkin akan dialami pula oleh para penghayat.
Setiap aliran kepercayaan memang sebaiknya memiliki panduan upacara daur hidup (life cycles) yang jelas dan disepakati, agar ketika salah seorang dari mereka melewati salah satu tahap daur hidup tersebut upacara dapat diselenggarakan sesuai dengan kepercayaan yang dihayatinya. Dengan panduan ini, seorang penghayat yang meninggal misalnya, dapat diupacarai sesuai dengan kepercayaannya, sehingga identitas "penghayat kepercayaan" tetap dapat dibawanya sampai ke liang lahat.
Tidak mudah menyiapkan panduan ini, kecuali bagi organisasi penghayat yang besar dan mapan. Sebab panduan ini harus tertulis agar bisa disebarluaskan kepada seluruh anggotanya dengan gampang. Dengan begitu, panduan itu bisa mereka gunakan untuk pedoman dalam memimpin upacara. Lebih dari itu, panduan ini memerlukan pengesahan secara formal organisasi penghayat.
Sebagaimana kita tahu, aliran kepercayaan ini sangat banyak jumlahnya, terutama di Jawa. Sayangnya, tidak semuanya memiliki organisasi yang sama kerapian dan ketertibannya. Akibatnya, mungkin tidak akan mudah untuk membangun sebuah kesepakatan bersama berkenaan dengan upacara-upacara ini, baik di dalam maupun di kalangan aliran-aliran kepercayaan itu sendiri. Namun, inilah salah satu tantangan penting yang harus diatasi, jika para penghayat kepercayaan ingin terlepas dari dominasi upacara agama yang manapun.
Selesaikah? Belum. Agama-agama besar yang diakui pemerintah tidak hanya telah memiliki panduan tersebut, tetapi mereka juga memiliki sumber daya manusia untuk melaksanakannya, untuk memenuhi kebutuhan para penganutnya. Ketersediaan SDM untuk menjalankan upacara-upacara sesuai dengan panduan, itulah tantangan yang kedua. Tentu, dalam hal ini organisasi penghayat dapat menentukan orang-orang yang akan menjalankan tugas tersebut.
Pertanyaannya: sudah siapkah mereka untuk bertugas seperti pegawai KUA di kantor pemerintah? Atau, sudah siapkah kantor pemerintah menerima wakil dari aliran kepercayaan tersebut?
Sebagaimana kita ketahui, kasus yang menimpa penghayat kepercayaan Marapu dari Sumba adalah tidak diakuinya perkimpoian adat mereka, yang dilakukan menurut adat Marapu. Pengakuan atas eksistensi kepercayaan Marapu dan penganutnya akan menuntut adanya petugas dari aliran kepercayaan Marapu di kantor pemerintah guna mengawal pelaksanaan upacara pernikahan penghayat kepercayaan tersebut. Sudah siapkah SDM kepercayaan Marapu melakukan hal itu?
Tantangan ketiga adalah proses penyediaan SDM. Mereka ini harus mendapat pendidikan mengenai ritus-ritus aliran kepercayaan dan penyelenggaraannya, sebagaimana halnya para pendeta atau ulama diberi pelajaran untuk dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan bagi umatnya.
Bagaimana organisasi aliran kepercayaan akan melakukan ini semua? Organisasi penghayat harus benar-benar memikirkan hal jika tidak ingin para anggotanya masuk dalam situasi yang sulit ketika ingin memenuhi tuntutan dari kepercayaan yang dihayatinya. Minimal organisasi para penghayat harus sudah mulai memikirkan tentang sumber daya manusia yang akan diperlukan pada masa-masa yang akan datang guna melestarikan keberadaan mereka.

Pengikut aliran Marapu sedang mengikuti ritual di kampung Tarung di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (17/2/2018).© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id
Tantangan di luar
Pengakuan atas eksistensi "penghayat kepercayaan" pada KTP memang akan menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang memang berakar pada masalah ketiadaan identitas untuk "agama" pada KTP. Namun, bukan tidak mungkin hal itu juga akan menimbulkan masalah baru yang tidak pernah diduga sebelumnya. Sebab, munculnya sesuatu yang baru mau tidak mau akan mengundang reaksi atau akibat terhadap sesuatu tersebut, baik itu yang menguntungkan mau-pun merugikan.
Saya kira, kita cukup tahu bahwa masih banyak masyarakat kita--dan akhir-akhir ini tampaknya makin berani menampilkan dirinya--yang belum dapat menerima kehadiran aliran kepercayaan. Kalau penganut agama-agama besar yang diakui pemerintah saja berani mereka tantang, apalagi penganut kepercayaan yang mereka anggap sesat.
Ketika kolom "agama" pada KTP seseorang dikosongkan, orang lain dapat mengisinya sesuai dengan dugaan dan harapannya, apakah isinya "Katolik", "Kristen-Protestan", "Islam", "Hindu" atau "Buddha", sehingga respons yang diberikannya pada pemilik KTP bisa "netral" (kalau berbeda agama atau ideologi), bisa pula "mendukung" (kalau sama agama atau ideologinya).
Respons ini tentu akan berbeda ketika dia mengetahui bahwa pemilik KTP tersebut ternyata betul-betul seorang "penghayat kepercayaan". Kalau dia sesama "penghayat" maka interaksi positif akan lahir dari perjumpaan itu. Namun jika dia bukan sesama penghayat, maka respons negatif sangat mungkin akan diberikan. Inilah tantangan yang akan dihadapi oleh para penghayat.
Memang, sudah menjadi kewajiban setiap negara untuk melindungi setiap warganya dari gangguan warga yang lain. Namun demikian, mengharapkan kehadiran negara di setiap waktu dan tempat di negeri Indonesia tercinta ini rasanya masih terlalu muluk-muluk.
Berbagai kasus kekerasan terhadap mereka yang berbeda agama, gangguan terhadap kegiatan keagamaan yang lain--yang terlihat semakin meningkat frekuensinya akhir-akhir ini--sedikit banyak menunjukkan perlindungan negara tidak selalu dapat diandalkan. Karenanya, para penghayat harus siap untuk menghadapi tantangan yang mungkin lebih berat, karena keberadaan dan identitas mereka kini menjadi lebih jelas.
Di satu sisi hal ini dirasa menenteramkan--bahkan menyenangkan--karena tidak harus menyembunyikan identitas. Tetapi di sisi lain hal itu juga meningkatkan kelemahannya (vulnerability) karena membuat mereka mudah dijadikan "sasaran tembak" pihak-pihak yang tidak menyukai kehadiran mereka.
Dari berbagai peristiwa yang dialami para penghayat kepercayaan--yang kemudian mendorong mereka mengajukan permohonan--saya merasa, semoga perasaan ini salah, dikabulkannya pencantuman "penghayat kepercayaan" tampaknya belum akan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Sebagai contoh, pemohon yang menganut kepercayaan Parmalim, dikatakan terpaksa mengundurkan diri dari sekolah tempat dia bekerja, karena dia tidak diizinkan mengikuti ibadah pada hari Sabtu di sekolah tersebut. Kasus ini mungkin tidak akan dapat diselesaikan dengan mencantumkan "penghayat kepercayaan" pada KTP, karena pokok permasalahannya bukan soal isi-tidaknya kolom "agama" tersebut, tetapi karena kepercayaan atau keyakinan keagamaan yang berbeda.
Kesulitan mengakses berbagai fasilitas atau mendapatkan berbagai hak, yang bersumber pada tindakan "diskriminatif" oleh sebagian warga masyarakat, mungkin tidak akan begitu saja selesai dengan pencantuman identitas "penghayat kepercayaan" pada KTP. Bukan tidak mungkin penolakan tersebut malah bertambah lebih kuat, karena identitas "penghayat kepercayaan" menjadi lebih tegas, tertulis pada KTP.
Demikian pula berbagai kesulitan yang dialami oleh penganut Sapto Darmo. Bagaimanapun, cap yang diberikan sebagian warga masyarakat terhadap aliran kepercayaan sebagai aliran yang sesat tidak akan dapat diatasi hanya dengan mencantumkan "penghayat kepercayaan" pada KTP, karena pokok permasalahannya memang tidak terletak di situ.
Permasalahan utama justru ada dalam masyarakat sendiri, di mana sebagian warganya masih belum dapat menerima kehadiran penghayat "aliran kepercayaan" di tengah mereka. Karenanya, diperlukan upaya yang terus-menerus, tak kenal lelah, untuk menyadarkan mereka bahwa memiliki kepercayaan yang berbeda bukanlah sesuatu yang buruk. Bahwa "aliran kepercayaan" bukanlah aliran yang sesat, sebagaimana yang mereka yakini selama ini; bahwa orang harus dapat menghargai kepercayaan orang lain, sebesar apapun perbedaannya; bahwa penghayat "aliran kepercayaan" bukanlah orang-orang yang layak ditakuti, dihindari atau disingkir-kan.
Singkat kata, tantangan utama para penghayat kepercayaan--dan juga kita semua yang menjunjung tinggi Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika--adalah menyadarkan masyarakat akan tetap perlunya menghargai perbedaan pandangan, perbedaan keyakinan, perbedaan adat-istiadat, selama itu tidak mengancam kehidupan bersama, yang adil dan sejahtera.
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Staf Pengajar di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
https://beritagar.id/artikel/telatah...a-implikasinya
0
620
1
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan