Kaskus

Entertainment

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
UGAMO MALIM Daun pahit menjelang tahun baru Batak
UGAMO MALIM

Daun pahit menjelang tahun baru Batak

Gambar: Eduman Butarbutar, pemeluk Ugamo Malim, saat mengikuti ibadah Sipaha Sada di kediaman Henri Simanjuntak, Jalan Tasmania, Bogor, Jawa Barat pada Selasa (13/02/2018).|© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

UGAMO MALIM

Daun pahit menjelang tahun baru Batak

Parmalim hanya percaya satu Tuhan pencipta alam semesta, yaitu Debata Mulajadi Na Bolon. Mereka mengamini konsep neraka, bumi, dan surga.

Makan siang itu berlangsung singkat. Tak lebih dari satu jam. Sekitar 40 orang lalu masuk ke dalam sebuah rumah tepat pukul satu siang. Dinding dalamnya berkelir biru. Tak ada kursi apalagi meja. Hanya tikar menutup seluruh lantai.

Mereka lalu duduk bersila. Para perempuan duduk dekat pintu keluar-masuk rumah. Yang sudah menikah mengenakan kebaya dengan rambut tergelung ke dalam. Sementara wanita lajang mengenakan atasan kemeja.

Yang laki-laki berada di bagian dalam, dekat dapur. Semua berpakaian rapi, setelan jas dan celana kain hitam beserta kemeja.

Untuk membedakan laki-laki belum menikah dan tidak, tampak dari kepalanya. Yang memakai sorban putih menandakan sudah beristri. Sementara yang belum, tidak boleh mengenakan tutup kepala yang disebut tali-tali itu.

Sebagai pelengkap, semua orang di dalam rumah itu memakai sarung untuk menutup bagian pinggang hingga kaki. Ulos tersampir di pundak mereka.

Di depan mereka tampak seorang laki-laki tua mengenakan tali-tali. Ia merapalkan doa dalam bahasa Batak. Mereka mengatupkan tangan di depan dada sambil menutup mata.

Lebih dari setengah jam, Hasian Simanjuntak, 64 tahun, memimpin doa. Ia mengucapkannya tanpa henti. Suaranya pelan, nyaris berbisik.

Jemaat yang mengikuti ibadah khusyuk mendengarkan. Sikap mereka tak berubah dari awal hingga akhir doa. Kecuali, tentu saja, anak-anak balita yang tak betah, meminta main atau makan ke ibunya.

"Kami mengakui dosa dan memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa," kata Henri Simanjuntak menjelaskan isi doa itu seusai acara pada Selasa (13/02/2018) di rumahnya, Jalan Tasmania, Bogor, Jawa Barat.

UGAMO MALIM

Daun pahit menjelang tahun baru Batak

Hasian Simanjuntak, 64 tahun, saat memimpin upacara Sipaha Sada untuk umat Ugamo Malim di Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (13/02/2018). Tampak di dinding sebelah kanan atas, lukisan Raja Mulia Naipospos, pendiri agama ini.© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

UGAMO MALIM

Daun pahit menjelang tahun baru Batak

Para umat laki-laki Ugamo Malim saat mengikuti ibadah Sipaha Sada di kediaman Henri Simanjuntak, Jalan Tasmania, Bogor, Jawa Barat pada Selasa (13/02/2018).© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

UGAMO MALIM

Daun pahit menjelang tahun baru Batak

Ritual mangan mapaet menjadi puncak ibadah Sipaha Sada. Setiap umat Ugamo Malim mengambil sejumput daun dari sebuah bakul, berdoa, lalu memakannya bersama-sama. Memakan daun menjadi penanda puasa 24 jam mereka dimulai jelang tahun baru yang jatuh pada 15 Februari 2018.© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

Ibadah itu berjalan dua jam. Puncaknya adalah ketika seluruh umat melaksanakan mangan mapaet. "Itu sebuah simbol pahitnya hidup karena dosa," ujar pemuka Ugamo Malim di Bogor itu.

Dengan tangan kanan, setiap umat mengambil sejumput daun pahit dari bakul yang dibagikan. Anak-anak pun ikut mengambil daun tersebut. Setelah berdoa, mereka memakannya bersama-sama.

Isi daun itu sebenarnya tak hanya pahit. Ada rasa asam, asin, pedas, dan keset. Lambang pahit getir kehidupan. Terdapat tujuh bahan di dalamnya, yaitu daun pepaya, inggir-inggir, nangka muda, cabai rawit, cabai, garam, dan jeruk purut.

Suasana berubah menjadi haru. Banyak perempuan yang menangis sesenggukan. Mereka mendengarkan renungan, lalu berdoa kembali.

Setelah itu, dua orang maju ke depan. Mereka mengambil wadah berisi air dan ikatan daun. Air itu mereka percikan ke seluruh umat.

Airnya khusus diambil pada pagi hari itu, sebelum ada orang yang memegangnya. "Diambil dari sumur di rumah ini," katanya. Untuk mencipratkannya, mereka memakai ikatan dari daun bane-bane.

Ikatan daun tersebut berbau harum. Mengingatkan akan bau kemangi. Henri mengatakan, penyiraman ini melambangkan penyucian diri para umat setelah mengakui dosa-dosanya.

Inilah Sipaha Sada, acara tahunan yang dilakukan para penganut Ugamo Malim atau Parmalim. Sebuah ritual untuk melakukan puasa selama 24 jam jelang tahun baru. Menurut penanggalan Batak, momen itu jatuh pada 15 Februari 2018.

Mangan mapaet menjadi penanda puasa mereka telah dimulai.

Esok harinya, mereka berkumpul kembali di rumah itu. Sekitar pukul 11 siang, mereka berdoa, makan lagi daun pahit, dan mencipratkan air untuk mengakhiri puasa.

Tepat pukul 12 mereka makan bersama-sama di dalam rumah itu. Makanan pembukanya adalah agar-agar coklat. "Ini takjilnya," kata Risna Sirait, istri Henri.

Para ibu sepakat untuk menghidangkan nasi putih, ayam kampung berbumbu masakan Batak, serta sayuran rebus. Sebagai pelengkap, ada sambal andaliman yang membuat mulut semakin lahap mengunyah.

"Dijamin halal," ujar Henri meyakinkan kami untuk ikut makan bersama. Untuk urusan makan, Ugamo Malim mirip dengan Islam. Tidak makan babi, anjing, reptil, dan darah. Mereka juga berdoa dulu sebelum memotong hewan yang bakal dimasak.

Selesai makan, mereka bercengkerama. Puasa telah berhasil mereka tuntaskan. Esok hari adalah tahun yang baru. Mereka sepakat akan menjalaninya dengan hati yang bersih.

Arahan hidup mereka adalah Patik Ni Ugamo Malim. "Kami memuji Tuhan Yang Maha Kuasa dengan hati bersih, menghormati raja (pemimpin), dan mengasihi sesama manusia," ujar Henri menjelaskan isi singkat patik itu.

Tak seperti perayaan tahun baru masyarakat umumnya, dua hari acara ini berlangsung jauh dari ingar-bingar. Tak ada nyanyian, apalagi musik. Tak ada kembang api, balon, dan terompet. Dari luar rumah pun tak kelihatan kalau di dalamnya ada ritual ibadah.

Jalanan depan kompleks perumahan itu tampak tenang dan sepi. Tak ada motor, apalagi mobil yang parkir dan menutup jalan. "Kami hanya berdoa dan tidak mau mengganggu tetangga," ujar Henri.

Henri sudah setahun terakhir membuka rumahnya menjadi tempat peribadatan Parmalim. Tak sembarang orang bisa melakukan itu. Ia harus mendapat persetujuan pemimpin Parmalim yang mereka akui, yaitu Monang Naipospos.

Saat ini Parmalim sedang menghadapi konflik dualisme kepemimpinan, antara Monang dan Poltak Naipospos. Situasi ini terjadi sejak 2016 silam.

Ketika itu Raja Marnangkok Naipospos sebagai ihutan atau pemimpin tertinggi agama Malim meninggal dunia. Monang adalah adik kandung Raja Marnangkok. Sementara Poltak adalah anak kandungnya. Masing-masing pihak mengklaim sebagai penerus yang sah.

Henri dan para jemaat sepakat untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Walaupun ujung dari konflik ini adalah ditutupnya tempat peribadatan mereka di Desa Huta Tinggi, Lguboti, Toba Samosir, Sumatera Utara. yaitu Bale Pasogit. "Parmalim itu menyatu hati dan pikirannya," katanya.

Di sisi lain, situasi dualisme kepemimpinan memang sudah diramalkan sebelumnya oleh leluhur mereka. "Suatu saat kami akan bersatu kembali, entah kapan waktunya," ujar Henri.

Agama asli Batak Toba ini telah melewati sejarah panjang. Ia lahir bersamaan dengan silsilah atau tarombo dari Siraja Batak, yang menurunkan berbagai marga seperti sekarang.

Kejadian itu terjadi berabad-abad lalu dan tak ada istilah Ugamo Malim atau agama suci. Masyarakat beribadah dan melaksanakan upacara berdasarkan kebiasaan dan adat istiadat. Nama Malim baru muncul dan menjadi lembaga terstruktur atau agama pada awal abad ke-20.

Peristiwa itu terjadi setelah Sisingamangaraja XII, yang dianggap nabi oleh Parmalim, meninggal ditembak penjajah Belanda. Orang terdekatnya, Raja Mulia Naipospos, sebelumnya mendapat pesan untuk meneruskan kepercayaan orang Batak Toba ini.

Dari kepercayaan dan tradisi lisan, Raja Mulia kemudian melembagakannya menjadi Ugamo Malim. "Pemimpin kami pasti bermarga Naipospos," kata Henri.

Kemunculan ini sebenarnya kalah cepat dengan agama samawi yang masuk ke Tanah Batak. Parmalim akhirnya sering disalah mengerti oleh masyarakat. Imbasnya, mereka kerap disebut penyembah begu atau setan.

Padahal, Parmalim hanya percaya satu Tuhan pencipta alam semesta, yang mereka sebut Debata Mulajadi Na Bolon. Mereka juga mengamini konsep neraka, bumi, dan surga. Perbuatan manusia di bumi ini, menurut mereka, akan berimbas pada kehidupannya nanti di alam baka.

Tak boleh mencuri, berbohong, apalagi membunuh. Beribadah seminggu sekali. Parmalim melakukannya pada setiap Sabtu, disebut Mararisabtu. Semua ajaran-ajaran ini terasa serupa dengan mayoritas kepercayaan di tanah air.

UGAMO MALIM

Daun pahit menjelang tahun baru Batak

Para perempuan muda Parmalim berpose untuk Beritagar.id di Jalan Tasmania, Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (13/02/2018).© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

UGAMO MALIM

Daun pahit menjelang tahun baru Batak

Suasana ibadah Sipaha Sada umat Ugamo Malim di kediaman Henri Simanjuntak, Jalan Tasmania, Bogor, Jawa Barat pada Selasa (13/02/2018).© Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

Sejarah yang panjang tak lantas membuat Parmalim mendapat tempat selayaknya enam agama yang diakui negara ini. Kolom agama pada kartu identitas mereka kerap terisi tanda setrip. Kadang mereka terpaksa mengisi dan memilih dari enam agama itu.

Sekalipun pemerintah telah mengakui penghayat kepercayaan, masalah tersebut masih kerap terjadi. Diskriminasi masih mereka rasakan. "Sampai sekarang KTP saya masih garis (kolom agamanya)," ujar Henri. "Jadi ya ini memang sebuah kesulitan bagi kami."

Imbasnya, tentu ke urusan hak sipil lainnya. Akta kimpoi, akta lahir anak, kartu keluarga jadi ikut bermasalah. Kalau merujuk keputusan Mahkamah Konstitusi pada November 2017 sebenarnya boleh mencantumkan penghayat kepercayaan pada KTP dan KK. Tapi praktik di lapangan, sebaliknya.

Erik Sidabutar, Parmalim yang ikut dalam ibadah itu, merasakan sulitnya mengurus KTP. Di kantor catatan sipil Depok, sistem komputernya belum memungkinkan penghayat kepercayaan masuk dalam kolom agama.

Surat pernikahan dalam ibadah Parmalim miliknya dipertanyakan. "Saya lagi perjuangkan untuk dikosongkan saja, karena saya tidak mau memilih dari enam agama itu," ujar Erik. "Kami harus memegang teguh keyakinan kami."

Anak perempuannya yang berumur setahun belum mendapatkan akta lahir. Belum jelas bagaimana nasibnya nanti ketika masuk usia sekolah. Masuk sekolah negeri tentu bukan jadi pilihan kalau kolom agama tetap dipermasalahkan.

Berbeda nasib dengan Erik, orang tuanya yang tinggal di Sumatera Utara sudah bisa menuliskan penghayat kepercayaan pada dokumen resmi. Beberapa sekolah di sana juga telah memasukkan mata pelajaran Ugamo Malim dalam kurikulumnya.

Kondisi serupa tak terjadi di Bogor. "Kami mau bekerja sama dengan pemerintah untuk menyediakan guru pengajar Ugamo Malim," ujar Henri. Tentu saja hal ini butuh usaha dari dua belah pihak.

Sementara menunggu hal itu terwujud, tiga anak Henri mau-tak mau memilih sekolah swasta. Mereka patuh dengan kurikulum yang berlaku.

Soal pekerjaan, Henri tak pernah mendapat masalah dengan status kolom agama yang kosong. Perusahaan tempatnya bekerja, sebuah pabrik ban multinasional, bisa mengerti. Henri bahkan mendapat cuti dua hari untuk menjalankan Sipaha Sada.

Istrinya yang memiliki gelar dokter pun demikian. Tak ada aral selama bekerja menjadi pegawai negeri di Dinas Kesehatan Bogor.

"Mereka tak pernah tanya ke saya langsung," kata Risna. "Tapi karena banyak media membicarakan Parmalim, mereka jadi tahu."

https://beritagar.id/artikel/laporan...-penutup-tahun
0
1.3K
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan