konektyAvatar border
TS
konekty
Medang, Negeri Jawa Pembangun Candi


Koran Sulindo – Kematian Darmawangsa sekaligus menandai periode akhir dari Mataram yang jejaknya bisa ditelusuri sejak era Kalingga di bawah pemerintahan Ratu Shima.

Silsilah Raja Airlangga, dimulai dari Sri Isyanatungga atau Mpu Sindok yang beranak Sri Isyanatunggawijaya yang menjadi ratu di Medang. Dari perkimpoian Isyanatunggawijaya dengan Lokapala itulah lahirlah Sri Makutawangsawardhana yang kemudian menjadi penerusnya.

Anak sulung Raja Makutawangsawardhana yang bernama Gunapriya Dharmapatni atau Mahendradatta inilah yang kemudian menikah dengan Udayana dan melahirkan Airlangga. Jadi ide Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan Airlangga itu harus dianggap sebagai upaya untuk melestarikan darah Wangsa Isyana.

Medang di era Mpu Sindok itulah ia memindahkan pusat kerajaan di Mataram dekat Yogyakarta ke wilayah di sekitar delta Sungai Brantas sekarang.

Dalam beberapa prasastinya, Mpu Sindok menyebut Medang di Jawa Timur merupakan kelanjutan dari Medang di Jawa Tengah. Misalnya, ditemukan kalimat Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.

Pada Prasasti Turyan disebut Mpu Sindok memimpin penduduk Medang yang selamat pindah ke timur sekaligus membangun ibu kota baru di wilayah Tamwlang. Dari Tamwlang istana kembali dipindah ke Watugaluh. Baik Tamwlang dan Watugaluh diperkirakan berada di wilayah Jombang sekarang.

Pemindahan istana Medang sebenarnya tak hanya dilakukan oleh Mpu Sindok, raja-raja sebelumnya telah berkali-kali memindahkan pusat kerajaan. Pada awal masa berdirinya di era Raja Sanjaya, istana Medang diperkirakan berada di daerah Mataram dekat Yogyakarta sekarang.

Pusat kekuasaan itu lalu pindah ke Mamrati lalu ke Poh Pitu di era Rakai Pikatan. Kedua daerah itu diperkirakan berada di wilayah Kedu sekarang. Sementara itu dari Poh Pitu, istana kembali dipindahkan ke Mataram pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Menurut teori van Bammelen, berpindahnya istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat.

Konon sebagian puncak Merapi hancur sementara tanah begeser ke arah barat daya sehingga membentuk lipatan Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.

Meski teori itu sudah dibantah penelitian Supriati D Andreastuti yang menyebut tak ada letusan besar pada masa itu, melihat letak geografisnya Kerajaan Mataram dan wilayahnya jelas terpengaruh oleh keberadaan gunung berapi di sekililingnya yakni Merapi, Merbabu, Sindoro dan Sumbing.

Baca juga:

Airlangga, Bangkit dari Reruntuhan Mahapralaya
Kalingga, Moyang Raja-raja Jawa Kuna
Yavadwipa, Sejak Ramayana Hingga Kronik China
Beberapa data atau temuan arkeologis menunjukkan beberapa candi atau bangunan keagamaan di sekitar wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah jelas terpengaruh letusan gunung berapi.

Beberapa candi terendam sisa-sisa material vulkanik gunung api seperti Candi Sambisari yang pada saat ditemukan terendam material vulkanik tertimbun lebih dari enam meter dalamnya, juga Candi Palgading, Candi Kedulan atau Candi Morangan yang mengalami transformasi setelah ditinggalkan oleh pendukung budayanya.

Di sisi lain, sisa-sisa material gunung api ini juga yang mempertahankan beberapa tinggalan arkeologi karena memendamnya selama beratus-ratus tahun. Ini artinya bahwa dampak kerusakan lain terutama yang diakibatkan oleh makhluk hidup mustahil terjadi.

Keturunan Sanjaya

Dalam Prasasti Mantyasih dari era Dyah Balitung yang berangka tahun 907 disebut dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya atau rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun ia tidak menyebut dengan jelas apa kerajaannya. Ia hanya memberitakan sebelum dirinya sudah adanya raja lain yang memerintah Jawa bernama Sanna atau Sena.

Ketika keadaan negara menjadi kacau sepeninggal Sanna, Sanjaya tampil sebagai raja atas dukungan ibunya yaitu Sannaha yang merupakan saudara perempuan Sanna.

Baik Sanna maupun Sannaha merupakan anak dari Parwati putri Ratu Shima di Kalingga yang dinikahkan dengan Mandiminyak, putra mahkota Kerajaan Galuh.

Pada Prasasti Mantyasih disebut, Sanjaya kemudian digantikan Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja Medang berikutnya. Raja inilah yang kemudian membangun sebuah candi Buddha yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan.

Meski semula hubungan antara Sanjaya dan Panangkaran terus menjadi perdebatan para ahli, penemuan Prasasti Wanua Tengah III segera memutus perbedaan pendapat itu. Prasasti yang dikeluarkan pada era Maharaja Dyah Balitung tahun 908 Masehi itu menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran adalah anak dari Rahyangta i Hara, adik Rahyangta i Medang atau Sanjaya.

Dapat disimpulkan bahwa Rakai Panangkaran merupakan keponakan dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Panangkaran inilah yang memulai pembangunan Candi Sewu yang bercorak Budha.

Berturut-turut setelah Rakai Panangkaran raja-raja Mataram adalah Rakai Panunggalan alias Dharanindra yang di bawah kepemimpinannya berhasil menaklukkan Sriwijaya, bahkan sampai Kamboja. Sepeninggal Dharanindra, kekuasaannya diwarisan kepada Samaragrawira.

Mungkin karena tak sekuat ayahnya, dalam Prasasti Po Ngar, Kamboja berhasil merdeka dari kekuasaan Jawa di tahun 802. Samaragrawira kemudian dilanjutkan oleh Rakai Garung alias Samaratungga.

Tak seperti para pendahulunya yang ekspansionis, Smaratungga justru dikenal lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada masa Smaratungga inilah diperkirakan pembangunan Candi Borbudur benar-benar tuntas di tahun 825.

Nama Samaratungga dicatat dalam Prasasti Kayumwungan yang dikeluarkan tanggal 26 Mei 824. Dalam prasasti itu disebutkan, Samaratungga memiliki seorang putri bernama Pramodawardhani yang meresmikan sebuah jinalaya yang sangat indah. Ini dianggap berhubungan dengan pembangunan Candi Borobudur.

Samartungga digantikan Rakai Pikatan yang segera memulai pembangunan Candi Prambanan yang bercorak Hindu pada tahun 850. Pembangunan itu jelas menunjukkan toleransi dan hubungan yang harmonis antara kedua pemeluk agama itu.

Rakai Pikatan ini memperistri Pramodawardhani yang merupakan putri Samaratungga. Di masa inilah ibu kota Mataram dipindah ke Mamrati.

Dalam prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh Dyah Lokapala putra Jatiningrat.

Dalam prasasti Wantil disebutkan Rakai Pikatan berperang melawan musuh-musuhnya yang membangun benteng pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh Dyah Lokapala anak Rakai Pikatan yang kelak menggantikan ayahnya menjadi raja.

Baca juga:

Ratu Sima, Teladan Kejujuran dari Jawa Kuno
Aki Tirem, Leluhur Pulau Jawa?
Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala digantikan Rakai Watuhumalang yang kemudian dilanjutkan oleh menantunya Rakai Watukura Dyah Balitung. Di era ini pusat kekuasaan berpindah ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Pemindahan itu mungkin karena istana Mamrati yang dulu dibangun Rakai Pikatan rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.

Mpu Daksa naik tahta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti.

Dalam Prasasti Ritijan disebut Mpu Daksa digantikan oleh Dyah Tulodong yang kemungkinan besar naik tahta karena menikahi putrinya, Rakryan Layang. Pada pemerintahan Dyah Tulodong ini yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti, sedangkan yang menjabat Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.

Dalam Prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Tulodong digantikan oleh Dyah Wawa yang mengaku anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas atau anak Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan. Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan pada peristiwa Wuatan Tija.

Pengganti Dyah Wawa adalah Mpu Sindok yang membangun istana Medang di wilayah Tamwlang, dan kemudian ke Watugaluh. Kedua tempat tersebut saat ini masuk wilayah Jawa Timur. Mpu Sindok mengaku bahwa Kerajaan Medang di Watugaluh adalah kelanjutan dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram. [TGU]

Baca Sumber : https://koransulindo.com/medang-nege...mbangun-candi/
nyimak92Avatar border
nyimak92 memberi reputasi
1
2.2K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan