markitonjAvatar border
TS
markitonj
JONG ESE MONOLOG
Ese. Jong Ese. Begitu jawabnya kalau ada orang kasih tanya dia punya nama. Seorang pemuda tanggung dengan setelan yang katanya flamboyan. Yang jika pergi ke mana senangnya memakai kemeja motif bunga-bunga lengan panjang yang digulung sepertiganya. Celananya adalah panjang dari bahan katun yang cutbray modelnya. Rambutnya tanggung sebahu, ikal dibiarkannya tak terikat dan bebas merdeka bersama kulitnya yang sawo matang. Wajahnya biasa saja, berhias serumpun kumis tipis yang lebih tebal dari janggut di ujung dagunya.

Jika berjalan, Ese terlihat sangat santai bersama tangan rampingnya yang berayun-ayung mengiringi langkahnya yang santai. Tak jarang wajahnya juga sambil celingukan ke sana kemari dengan acuh. Sekali waktu jika hari terasa lebih dingin, dilapisnya kemeja flamboyan itu dengan jaket jeans yang sedikit lusuh. Tampak dari belakang jaket itu berhias lukisan tangannya dari cat akrilik dengan sebuah tulisan : "DARI MANA HENDAK KE MANA."

Di hari-hari sendu, Ese lebih senang menyendiri. Di bawah sebuah pohon kersen favoritnya yang rasanya sangat jarang berbuah. Hanya duduk saja begitu sampai biru, sampai beku dipeluk perasaan sendu. Bersama awan-awan sore yang bergerak pelan ditiupi angin dari timur. Seperti sore ini, seperti sekarang ini, bersama jaket pilihannya.

Lama sudah rasanya Ese melamun kosong di bawah pohon itu. Rupa-rupanya kekosongan lamunan Ese telah membawa seorang Ese lainnya yang tiba-tiba mengetuk pikirannya. Seorang Ese yang sama persis seperti Ese yang selama ini menjadi dirinya. Hingga Ese merasa perlu berkata padanya, "Ada perlu apa kemari? Aku tahu siapa Engkau."

"Entahlah. Cuma datang saja. Kulihat Kau melamun sendiri. Siapa tahu kau butuh teman untuk sendiri."

"Aku tak merasa butuh teman untuk sendiri. Itu pasti. Tapi bolehlah kau duduk di sini kalau mau kasih aku kawan," balas Ese santai.

Cukup lama sebetulnya Ese cuma diam dan duduk sambil tetap melamun begitu. Lalu, "Apa yang kau lamunkan, Ese? Ceritalah sedikit itu Kau punya pikiran."

"Begini, Ese," jawab Ese, "Pada dasarnya pikiranku sungguh ada di semua mana yang bisa ada. Pada serangkaian peristiwa lampau yang muncul. Pada peristiwa yang mungkin akan ada selanjutnya. Pada itu Kau boleh lihat ujung daun di atasmu. Pada itu burung merpati yang belum pernah sama sekali lewat pada kita. Pada itu batu kecil di ujung jalan. Pada itu langit yang memang begitu warnanya. Pada itu mereka yang punya negara kita. Pada itu bunga bakung yang mekar dalam sebuah lagu. Pada itu ibu penjual ketan yang entah kenapa memilih ketan untuk dijual. Pada itu asap kendaraan yang masuk ke dalam knalpot jika waktu sudi mundur ke belakang, yang secara praktis jika kau undur waktu makanmu justru tetap saja maju ke depan. Pada itu mereka orang-orang yang tidak kukenal. Pada itu mereka orang-orang yang ternyata aku sudah kenal. Pada itu dirimu, Ese, yang juga adalah aku. Pada itu aku yang kini melamunku di bawah pohon kersen."

"Wah, wah. Kau ini betul lah seorang pria dengan pikiran yang tidak praktis ya. He. He."

"Ya begitulah jika kau berpendapat demikian. Begitulah aku di matamu jadinya," Ese menanggapi.

Lama lagi lalu Ese kembali melamun merasai sore yang sudah semakin. Daun-daun pohon kersen melambai laun-laun dikutip angin pelan-pelan.

"Aku tak  pernah betul bisa menyusun semuanya," gumam Ese tetiba.

"He? Bagaimana?"

"Iya. Maksudku, aku tak pernah betul-betul bisa menyusun demikian pikiranku secara rapi dan pasti. Jadi ya begitu," Ese melengkapi penjelasannya.

"Ooh. Hmmmmm... Ah, sudahlah, Bung. Biar saja begitu. Mungkin bagus jadinya nanti."

Mengernyit dahi Ese, "He? Bagus bagaimana? Jadi apa maksudmu, Ese?"

"Yaa tak tahu pun aku jadi apa itu nanti. Tapi mungkin bagus menurutku Kau kacau begitu. Siapa bisa sangka mungkin itu kacau bisa jadi ini, atau jadi itu, jadi hasil. Mungkin juga ada bagus itu Tuhan kasih Engkau punya kacau. Atau mungkin sebenarnya itu bukan kacau, melainkan lainnya."

Bermenung Ese mendengarnya. Bermenung Ese karenanya. Ssementara sore tak terasa sudah saja semakin. Itu kita tahu karena hari sudah mau jadi gelap, tapi sedang mandi bumi dan langit oleh emas matahari senja bersama angin yang cinta dunia. Ah, sudah cukup dan waktunya mesti pulang ke rumah buat Jong Ese, sehingga berkatalah dia orang, "Boleh jadi Engkau betul, Ese, dan semoga saja betul."

"Ese. Hari sudah masuk petang. Aku mau ada jalan pulang. Kau mau ikut atau di sini saja?" lanjut Ese.

"Pulanglah, kawanku sayang. aku mau diam di sini melanjutkan Engkau."

"Bersama siapa pula? Sendiri juga?"

"Bersama Eleanor Rigby-nya The Beatles. Kau pulanglah."

"Salam untuk mereka ya, Ese. Untukmu juga, terimakasih sudah kasih aku banyak tadi. Semoga jumpa lagi kita di sini."

Dan oh, lihatlah juga olehmu itu senja. Sinar-sinarnya yang menembusi sebahagian awan bergumpal. Pohon kersennya yang melambai-lambai kasih kita sampai jumpa. Batu kecilnya yang diam di ujung jalan. Burung merpati yang tetiba lewat melengkung bersama seekor merpati lainnya. Mekarnya bunga bakung di lagu yang telah lama berseminya. Ketan sisa yang dibawa pulang oleh ibu yang menjualnya. Juga asap kendaraan lalu lalang yang tentu asapnya keluar dari knalpot di pantatnya. Juga peristiwa-peristiwa lampau yang sesekali sering juga ingin ditengok. Tentu juga peristiwa-peristiwa selanjutnya yang satu persatu sudah siap menyambut Jong Ese, menyambutmu, menyambutku, menyambut kita, saat kita sudah siap bertemu.

Dan oh, lihatlah olehmu juga, itu Jong Ese, itu kamu, itu aku, itu kita semua. Berjalan ramai-ramai dan bersamaan di atas muka sebuah bola raksasa di bawah kita yang karenanya jadi berputar seperti akrobat dalam pertunjukan sirkus yang mulia. Menuju pulang. Menuju ke sampai jumpa.




28 November, 2017.
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
685
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan