- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Ujaran kebencian di antara narasi polisi dan vonis pengadilan


TS
BeritagarID
Ujaran kebencian di antara narasi polisi dan vonis pengadilan

Ilustrasi: Mengapa narasi polisi
Satu per satu mereka, yang ditangkap atas keterlibatannya dalam kelompok yang disebut polisi sebagai Saracen itu, telah mendapatkan vonis di pengadilan tingkat pertama.
Vonis terhadap mereka yang disebut-sebut merupakan kelompok pembuat hoax itu memperlihatkan hal yang berbeda dengan narasi yang selama ini diterima oleh publik berdasarkan keterangan polisi beberapa saat sehabis penangkapan mereka.
Wajar jika hal itu membuat publik bertanya-tanya.
Pasca penangkapan sejumlah orang yang disebut sebagai anggota jaringan pembuat hoax, polisi memberi keterangan yang mengesankan bahwa Saracen adalah kelompok yang terstruktur.
Jasriadi, misal, disebut sebagai ketua dari kelompok itu. Muhammad Faizal Tonong disebut berada di bidang media dan informasi jaringan tersebut. Sri Rahayu Ningsing disebut sebagai koordinator grup wilayah. Sedangkan Muhammad Abdullah Harsono disebut-sebut sebagai admin dari kelompok itu.
Diluar kelompok itu, polisi juga menangkap Asma Dewi dalam kasus ujaran kebencian. Polisi mengklaim mendapatkan sejumlah temuan yang bisa menghubungkan Asma Dewi dengan kelompok Saracen.
Saracen, dalam narasi polisi, adalah kelompok penyebar ujaran kebencian dan pembuat hoax profesional. Selain atas inisiatif sendiri, menurut polisi, Saracen itu menyebarkan hoax berdasarkan pesanan. Tarifnya puluhan juta rupiah.
Klaim-klaim polisi itu sekarang kembali diingat oleh publik, saat pengadilan memvonis bersalah kepada Jasriadi bukan karena ia menyebarkan ujaran kebencian. Ia dipidana 10 bulan penjara oleh pengadilan karena terbukti melakukan akses ilegal terhadap akun Sri Rahayu Ningsih -anggota Saracen lain yang juga ditangkap.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah meyakinkan dengan sengaja dan tanpa hak mengakses komputer atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun sebagaimana dakwaan kelima," kata Ketua Majelis Hakim, Asep Koswara.
Sedangkan dakwaan primernya, terkait dengan manipulasi data, dinyatakan tidak terbukti ole pengadilan.
Bagaimana dengan ujaran kebencian? Tak ada dalam dakwaan. Jaksa menuntut pidana 2 tahun penjara kepada Jasriadi atas pasal akses ilegal.
Sebetulnya, sejak awal kasusnya, Jasriadi memang tidak ada gelagat Jasriadi akan dikenakan sangkaan tentang hoaxdan ujaran kebencian. Hal itu terlihat dalam keterangan Jasriadi kepada media sehabis penangkapannya. Ia ditahan dengan sangkaan akses ilegal.
Berbeda dengan Jasriadi, Muhammad Abdullah Harsono dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas ujaran kebencian dan penghinaan terhadap kepala negara. Ia dipidana penjara 2 tahun 8 bulan.
Dalam sidang pengadilan yang terpisah, Sri Rahayu Ningsih dinyatakan terbukti melakukan ujaran kebencian. Ia dipidana 1 tahun penjara serta denda Rp20 juta subsider 2 bulan kurungan badan.
Gambaran bahwa Saracen merupakan kelompok yang terstruktur, tak terlihat dalam sidang pengadilan. Dengan mencermati proses peradilan mereka yang tersangkut kasus Saracen ini, publik juga tidak mendapat gambaran jelas bahwa kelompok tersebut menerima pesanan untuk memproduksi hoax dan ujaran kebencian seperti yang muncul dalam narasi yang dikembangkan polisi.
Padahal publik sangat menantikan gambaran yang lebih jelas perihal pihak-pihak yang mempunyai kepentingan penyebaran ujaran kebencian dan hoax, yang telah sangat meresahkan masyarakat. Apalagi polisi sempat menyatakan, telah menemukan sejumlah nama dalam laporan hasil analisis terkait transaksi keuangan kelompok Saracen.
Polisi sempat memunculkan narasi bahwa Aswa Dewi -yang juga ditangkap dalam kasus ujaran kebencian- mengirimkan uang ke Saracen. Asma Dewi membantah mentransfer uang Rp75 juta kepada kelompok Saracen. Belakangan perihal transfer uang dari Asma Dewi ke Saracen itu pun tidak muncul dalam dakwaan.
Asma Dewi hanya didakwa atas ujaran kebencian. Pengadilan menyatakan perempuan itu bersalah dan diganjar pidana 5 bulan 15 hari kurungan. Itu pun dengan pasal terkait penghinaan pada penguasa atau badan hukum.
Mengapa ada perbedaan yang mencolok antara narasi yang dikembangkan pasca penangkapan dengan rentetan proses peradilan mereka yang terkait dengan kasus Saracen? Publik sudah barang tentu tak akan puas dengan jawaban bahwa pengadilan telah membuktikan mereka yang terlibat di Saracen itu melanggar hukum.
Para pelanggar hukum sudah seharusnya mendapatkan ganjaran yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun adanya perbedaan yang mencolok antara narasi pasca penangkapan dengan ihwal yang terbukti di pengadilan memicu pertanyaan: apakah polisi bersikap profesional dalam menangani kasus-kasus pembuatan dan penyebaran hoax maupun ujaran kebencian? Ataukah sistem peradilan kita tidak mampu memahami kejahatan ujaran kebencian?
Harus disadari bersama, di depan mata sudah ada kasus serupa dengan Saracen. Yaitu kasus Muslim Cyber Army (MCA). Jika kasus tersebut akan bernasib sama dengan kasus Saracen, profesionalitas polisi akan dipertaruhkan.
Ketika kelompok Saracen berhasil diringkus, polisi mengklaim, ujaran kebencian di Internet berkurang 50 persen. Terlepas dari besar persentasenya, publik memang bisa merasakan penurunan yang signifikan jumlah dan frekuensi hoax maupun ujaran kebencian tersebut. Hal serupa juga dirasakan publik pasca polisi menangkap MCA.
Meski begitu, publik juga menuntut profesionalitas polisi dalam menangani setiap kasus.

Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...nis-pengadilan
---
Baca juga dari kategori EDITORIAL :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
1.4K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan