Dikit dikit demo, apa apa demo, tersungging sedikit demo, kena sentil demo. Padahal beberapa masalah dan problem yang ada, bisa di selesaikan dengan cara sederhana. Dan kejadian dalam berita beberapa saat berlalu, mengajarkan kepada kita solusinya sederhana, walaupun masalahnya terlihat rumit adanya.


Sifat kita manusiawi karena kita manusia. Cenderung haus akan kebesaran kuasa. Dan bila sudah besar kuasa, besarlah pula kepala. Merasa berilmu semua di anggap sampah yang bau. Padahal di saat kita sujud beribadah, kepala kita setara dengan telapak kaki tempat kita berpijak. Namun setelah itu kita lupa kembali. Akan diri kita yang sebetulnya sangatlah kecil di semesta alam ini.

Tengoklah yang besar agar rendah hati dan jangan lupa lihat pula yang kecil agar kita tetap bisa bersyukur dan tidak merasa rendah diri.



Kita hidup dalam naungan bumi pertiwi, negri elok gemah ripah loh jinawi. Keberagaman dari hayati hingga opini, menjadi penyusun kekayaan negeri. Ini harus kita syukuri, karena semua itu adalah anugerah ILLAHI.

Di era terkini, di jaman informasi dan teknologi yang jadi kunci utama pemecah kebuntuan masalah adalah komunikasi. Jika dulu kita dibatasi dalam menuangkan pikiran kini sudah di bebaskan untuk menumpahkan itu. Walaupun kebebasan itu harus tetap kita sadari, memiliki pembatas pula. Kebebasan orang lain merupakan dinding pembatas kebebasan kita. Hak mahluk lainnya merupakan tembok pembatas penggunaan hak asasi kita.

Di era terkini, untuk menyalurkan pendapat, menyampaikan saran dan kritik kepada petugas negeri ini, rasanya pintunya terbuka lebar dan banyak jalan pula yang di berikan. Yang di tutup oleh pengambil kebijakan negara atau pihak yang berwenang, adalah pemaksaan pendapat dan pemaksaan kehendak. Sepanjang pengamatan TS, kondisi terkini begitulah adanya.

Secara budaya turun temurun, yang kita kenal, adalah bermusyawarah. Dalam memecahkan suatu persoalan, musyawarah adalah yang di utamakan dalam memutuskan suatu perkara. Hasil musyawarah tentu saja tidak mungkin memuaskan keinginan semua kita, karena kepuasan kita berbeda dengan kepuasan orang lain. Dan hak kita dalam memuaskan hasrat apapun itu di batasi oleh hak orang lain yang juga setara.

Dalam pelaksanaan hak kita, kemampuan dan kemauan kita, keinginan kita, opini kita dan lain sebagainya, tentu sering bersinggungan dengan yang lainnya. Ini kan wajar saja. Dalam hal ini kita kadang terlena. Di saat kita merasa sudah besar dan bisa melakukan sesuatu yang luar biasa, kadang cenderung kita memaksakan hal yang menyangkut kepentingan kita saja. Tanpa di sadari itu adakalanya terjadi. Dan kepentingan orang lain sering kali kita lupakan.

Jikalau pun kita tak puas dengan apa yang kita dapatkan, rasanya di negeri kita ini, untuk saat ini semua bisa di bicarakan dari hati ke hati. Bisa pula di diskusikan di meja makan. Atau pula dibahas dengan lebih detail dan teliti bersama pihak yang terlibat sambil minum kopi.

Nah, kalo problematika bersama bisa di musyawarah kan, bisa di bicarakan di meja makan, dan bisa bersama di teliti sambil ngopi, lalu,,,,, apa gunanya demonstrasi,... ???????