azizm795Avatar border
TS
azizm795
Jurus PT Sentul City Tbk Menjegal Aspirasi Warga?
 Di siang terik, 10 Februari 2017, Juandini Wahyu Kartadibrata (60) sedang mencuci baju di rumah saudaranya, Wiwien Visser Laungier, di Parahyangan Golf No. 77, Sentul City, Kabupaten Bogor. Tiba-tiba air di rumah tersebut berhenti mengalir. Membuat pekerjaannya terhenti. Dini beranjak ke halaman depan, berniat mengecek meteran air. Dini kaget, karena yang dijumpainya justru 10 laki-laki tidak dikenal, berperawakan tinggi besar. Salah satu di antara mereka memegang meteran air yang sudah tercabut dari tempatnya semula.
Baca juga : Batal Bertemu Pihak Istana, Begini Tanggapan Sentul City
Sontak Dini berang dan menanyakan kenapa meteran air milik saudaranya dicabut.  “Ini milik kami,” kata salah seorang di antara mereka. Dini menuntut penjelasan lebih mendetail. Keributan dan adu mulut  tidak bisa dihindari. Dini sempat kembali ke dalam untuk mengambil sebuah pajangan berbentuk samurai di ruang utama.
Mendengar ada ribut-ribut, Wiwien keluar. Melihat adiknya sedang bersitegang dengan 10 orang yang posisinya sudah berpencaran, Wiwien turut mengambil pajangan samurai lainnya. “Saya kaget dan berpikir mereka maling,” ujar Wiwien mengenang kejadian tersebut.
Baca juga : Istana Respon Kilat Surat dari Presdir Sentul City
Keduanya meminta agar 10 orang itu mengembalikan meteran air dan pergi. Kesepuluh orang itu lalu memasang kembali meteran ke tempat semula dan pergi meninggalkan lokasi menggunakan dua mobil.  “Atas kejadian itu, saya dan adik saya membuat laporan ke Polres Cibinong, atas dugaan pencurian dan masuk tanpa izin,” terang Wiwien.
Tanpa sepengetahuan mereka, empat dari sepuluh orang tersebut justru sudah melapor pada 14 Februari 2017. Ke empat orang itu adalah Ade Supriyatna, Asep Zaenuddin, Day Fadinama, dan Elbas Al Fuad. Wiwien membenarkan mereka adalah bagian dari sepuluh orang yang masuk untuk mencabut meteran air di rumahnya.
Baca juga : Ada Apa Istana Negara Ikut Urus Konsesi Air Minum Milik Publik untuk Pengusaha Sentul City?
“Hingga kini, tidak ada perkembangan pelaporan kami. Sedangkan laporan mereka terhadap kami telah ditindaklanjuti,” ucapnya.  Pada April 2017, status Wiwien dan Dini naik menjadi tersangka. Keduanya didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat No. 12 tahun 1951 dan Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pengancaman. Keduanya terancam hukuman penjara maksimal 10 tahun penjara.
“Februari 2018 lalu, saya mendengar berkasnya sudah P21 dan siap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Cibinong,” kata Fati Lazira, kuasa hukum Wiwien dan Dini. Fati merasa heran, bagaimana mungkin penanganan kasus yang menjerat kliennya bisa secepat itu. Sementara laporan terhadap kesepuluh orang justru tidak ditindaklanjuti sama sekali. Pemeriksaan dan pemanggilan terhadap Wiwien dan Dini pun tidak ada.
“Penyidik harusnya mempertimbangkan kondisi psikologis Bu Wiwien dan Bu Dini. Mereka kaget, dan tidak ada siapa-siapa di rumah saat itu,” kata Fati. Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum, lanjut Fati, hanya mengatakan agar fakta tersebut disampaikan saat di pengadilan.
Saat ini, pihaknya tengah mengusahakan jalur non litigasi agar kasus hukum tersebut tidak berlanjut. Alasannya, tidak ada korban luka-luka atas kejadian yang berlangsung sekitar 30 menit itu. Sarung samurai yang dipegang Wiwien hanya terlepas, tapi tidak mengenai siapapun. Selain itu, Wiwien dan Dini hanya berniat untuk membela diri dan harta mereka.
“Kami ingin berdamai, tapi Bu Wiwien tidak mau meminta maaf. Karena memang tidak salah. Upaya damai harus atas inisiatif kedua belah pihak,” kata Feti. Salah seorang penyidik Polres Bogor yang menangani perkara Wiwien dan Dini, enggan berkomentar saat dikonfirmasi oleh law-justice.co. Ia hanya membenarkan jika kasus tersebut sudah P21.
Kasus yang Tidak Berdiri Sendiri
Fati menjelaskan, perkara yang menimpa Wiwien dan Dini sepatutnya tidak dilihat berdiri sendiri. Ia berulangkali meminta penyidik Polres Cibinong untuk memeriksa secara detail, siapa keempat orang yang melaporkan kliennya. Terutama identitas dimana ke empat orang ini bekerja.
Wiwien memastikan, ia sama sekali tidak punya tunggakan membayar air kepada PT. Sukaputra Graha Cemerlang (SGC) selaku penyedia air bersih untuk warga yang tinggal di kawasan Sentul City. “Ini pasti ada kasus perdata yang melatarbelakangi. Warga pernah menang di PN Cibinong,” pungkas Fati.
Perkara yang dimaksud Fati adalah kemenangan Komite Warga Sentul City (KWSC) atas PT. Sentul City (Induk perusahaan PT. SGC) di Pengadilan Negeri Cibinong, pada 10 Agustus 2017. Kasus itu dimulai ketika pada September 2016, PT. Sentul City bersama dengan PT. SGC, menggugat KSWC ke PN Cibinong.
KSCW dianggap telah memprovokasi warga agar tidak membayar iuran air yang digabung dengan iuran Biaya Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan (BPPL). KSWC juga dituduh menyebarkan surat komunikasi antar kedua belah pihak. Akibat perbuatan tersebut, PT. Sentul City mengaku merugi Rp 3,9 miliar. Kepada Majelis Hakim, mereka menuntut ganti rugi kepada KWSC dengan nominal Rp 103 miliar.
Tidak ingin tinggal diam, KSWC menggugat balik (rekonvensi) kedua perusahaan tersebut. KSWC mengemukakan bahwa PT. Sentul City tidak berhak menagih BPPL karena sampai saat ini, perusahaan pengembang itu belum juga menyerahkan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) ke Pemerintah Daerah Bogor.
Selain itu, PT. Sentul City juga terbukti menjual air dengan harga lebih mahal kepada warga, yakni Rp 9.200 per meter kubik. Padahal mereka hanya membeli air tersebut dari PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor dengan harga Rp 2.800 per meter kubik. Artinya, PT. Sentul City tidak memiliki air baku sendiri. Hanya mengalirkan air yang sudah diolah oleh PDAM Bogor. Tindakan itu dianggap warga sebagai swastanisasi air yang jelas dilarang oleh ketentuan UU.
Sial bagi PT. Sentul City, Majelis Hakim malah mengabulkan gugatan rekonvensi KSWC. Perusahaan milik Kwee Kumala itu dilarang menarik BPPL kepada warga. Selain itu, PT. Sentul City juga harus menetapkan tarif air sesuai dengan ketetapan Pemda setempat, yakni Rp 4.900 per meter kubik untuk 10 meter kubik pertama, Rp6.100 per meter kubik untuk 10 meter kubik kedua, dan Rp7.300 per meter kubik untuk penggunaan selanjutnya.
PN Cibinong memerintahkan PT. Sentul City menjalankan putusan tersebut dan akan didenda Rp 1 juta per hari jika tidak menjalankan putusan hakim.  Namun hingga kini, warga masih ditagih BPPL dan harus membayarnya secara bersamaan dengan iuran air yang tarifnya belum berubah sama sekali.
Jika ada salah satu dari iuran itu tidak dibayarkan, saluran air warga akan diputus secara sepihak. PT. Sentul City beralasan, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena mereka masih mengajukan banding.
Wiwien merupakan salah seorang warga yang aktif di KWSC. Ia termasuk orang yang vokal menyerukan agar PT. Sentul City berhenti menekan warga dengan ancaman pemutusan saluran air, jika tidak bersedia membayar BPPL. Fati yakin, karena itu kliennya mendapat teror dari orang-orang tidak dikenal. Ia ingin memastikan apakah sepuluh orang itu memiliki hubungan dengan PT. Sentul City. Namun kepastian tersebut urung didapatnya dari penyidik Polres Bogor.
“Kami minta BAP (Berita Acara Pemeriksaan) para pelapor, tidak pernah diberi,” kata Fati. Diana, salah seorang pengurus KWSC memastikan bahwa keempat orang yang melapor rekannya itu adalah pegawai yang bekerja di PT. Sentul City atau anak perusahaannya. Umumnya, mereka bekerja sebagai debtcollectoratau Satpam di PT. Sentul City. “Ade itu adalah satpam di PT. SGC,” kata dia.
Diana mengungkapkan, apa yang menimpa Wiwien dan Dini bukan yang pertama kalinya terjadi. Sejak bibit perlawanan warga dimulai, sekitar 2004, sudah ada 12 warga Sentul City yang dikriminalisasi dengan kasus beragam. Ada yang kena pasal pencurian air, pencurian spanduk, pemukulan Satpam, bahkan sampai terkena delik di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Selama ini, jelas Diana, PT. Sentul City memang tidak pernah memunculkan diri dalam konflik hukum yang menimpa warga. Polanya selalu dengan mengatasnamakan karyawan. Dengan begitu, ketika kasus itu tidak jelas keberlanjutannya, polisi tidak bisa menyertakan PT. Sentul City.
“Banyak kasus teman-teman yang hingga kini keberlanjutannya tidak jelas atau menggantung. Kami tanya kepada polisi, dia bilang yang melapor sudah tidak bekerja di PT. Sentul City dan tidak jelas keberadaannya. Itu kan gila,” tutur Diana.
Salah seorang warga Sentul Selatan berinisial KR menegaskan, sebagian besar kasus yang menimpa warga penentang PT. Sentul City adalah rekayasa dan mengada-ada. Walau seringkali menggantung, anehnya, kepolisian dan jaksa setempat selalu sigap menangani setiap ada perkara baru yang masuk.
KR sendiri menjadi salah seorang yang pernah divonis bersalah oleh PN Cibinong. Dia divonis hukuman percobaan selama enam bulan. Saking banyaknya kasus yang menjerat, KR tidak ingat dengan jelas mana kasus yang membuat ia dihukum.
“Saya pernah dilaporkan oleh sopir truk sampah. Pernah dilaporkan karena mencuri air, karena meminta air tetangga. Padahal meteran air saya dicuri orang tidak ditindaklanjuti oleh polisi. Pernah juga dilapor karena memukul satpam, padahal hanya menepuk pundaknya. Semuanya mengada-ada,” tutur dia.
Selain itu, PT. Sentul City sejak dulu memanfaatkan warga yang bekerja di perusahaan mereka, untuk menghasut agar warga lainnya tidak menentang segala kebijakan dari perusahaan pengembang itu. Namun seiring waktu, sebagian besar warga “melek” bahwa PT. Sentul City telah menindas mereka dengan praktik jual beli air secara ilegal.
“Saya tidak masalah jika ada yang bekerja di sana. Tapi tolong tempatkan diri mereka juga sebagai warga Sentul City. Toh selama ini kami melawan perusahaan dengan cara-cara yang dibenarkan hukum. Perusahaan sudah puluhan tahun menjual air dengan keuntungan yang sangat besar. Air di Sentul City seharusnya dikelola oleh negara, bukan swasta,” kata Diana.
Vonis Hakim dan Polisi yang Masuk Angin?
Konflik warga dengan PT. Sentul City kini memasuki babak baru. Pada 13 Maret 2018 lalu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta memenangkan banding yang dilakukan oleh PT. Sentul City, atas putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.
Sebelumnya, KWSC memenangkan putusan PTUN Bandung atas masalah izin Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) untuk kebutuhan sendiri yang diberikan pemerintah Kabupaten Bogor kepada PT. Sentul City, pada 1 Maret 2017.
Padahal, Surat Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Air (SIPPA) dari Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan berakhir pada 10 April 2017. Aturannya, PT. Sentul City harus memperpanjang izin SIPPA tiga bulan sebelum izin berakhir. Jika tidak, perusahaan harus membuat izin baru.
Sebagai catatan, PT. Sentul City membutuhkan SIPPA karena sumber airnya tidak hanya dari PDAM Kabupaten Bogor, tapi juga dari sungai Cibimbin yang berjarak sekitar 10 kilometer dari kawasan Sentul City. PT. Sentul City beralasan, mereka membutuhkan ari dari sungai Cibimbin karena kebutuhan air warga adalah 110 liter per detik, sementara PDAM Kabupaten Bogor hanya mampu menyediakan 90 liter per detik.

Jaringan pipa air dari Sungai Cibimbin ke pengolahan air Sentul City (foto: Indopress)
Masalahnya, hingga kini PT. Sentul City tidak kunjung mendapatkan SIPPA dari Dirjen Sumber Daya Air Kementerian karena terganjal Surat Rekomendasi Teknis (Rekomtek) dari Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BWSCC).
Pada 15 Januari 2018 lalu, BWSCC mencabut kembali Rekomtek yang sempat mereka berikan pada 15 September. Salah satu alasannya karena PT. Sentul City telah memindahtangankan pengelolaan air tersebut kepada anak perusahaannya, yakni PT. SGC. Dengan begitu, PT. Sentul City tidak diperbolehkan lagi mengambil setetes air pun dari sungai Cibimbin.
Atas dasar itu, PTUN Bandung kemudian membatalkan izin SPAM dari Bupati Bogor. PTTUN Jakarta kemudian menganulir putusan PTUN Bandung itu. Pertimbangannya, majelis hakim menekankan, bahwa pemberian SPAM adalah wewenang seorang pejabat daerah, dalam hal ini Bupati Bogor.

Terhadap putusan itu, Diana mengatakan, KWSC dalam minggu ini akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Menurut mereka, putusan PTTUN Jakarta sangat ganjil, karena tidak mempertimbangkan SIPPA dan Rekomtek yang tidak dimiliki oleh PT. Sentul City, sebagai prasyarat untuk memperoleh izin SPAM dari Bupati Bogor.
Keganjilan putusan PTTUN Jakarta yang seperti masuk angin karena dasar pertimbangan hukumnya justru bertentangan dengan pertimbangan hukum yang sudah diambil oleh majelis hakim PTUN Bandung, mendorong warga dan kuasa hukumnya melaporkan kasus itu ke Komisi Yudisial (KY) dengan harapan Komisioner bisa memeriksa majelis hakim PTTUN Jakarta yang mengadili kasus itu.
Hal serupa juga dilakukan warga dan kuasa hukumnya terhadap banyaknya kasus pengaduan warga Sentul yang tidak diproses aparat Polres Bogor. Mereka mengadukan masalah itu kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Komisioner Kompolnas, Pongky Indarti mengatakan akan menindaklanjuti laporan warga Sentul tersebut.
Pada Pasal 24 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Perizinan Pengusahaan Sumber Daya Air dan Penggunaan Sumber Daya Air,  soal pembatalan rekomendasi tehnis  jelas tidak dipenuhi oleh PT Sentul City . Pasal 55 ayat (2) Peraturan Menteri yang menyatakan izin akan batal dengan sendirinya jika perusahaan yang melaksanakan izin berubah.
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane mendapatkan surat dari Kementerian untuk meninjau ulang perijinan itu karena menemukan adanya konflik warga dengan PT Sentul City dan juga problem terkait Pasal 55 itu, sehingga rekomendasi teknis otomatis batal.
Sikap PT Sentul City yang terus mengambil air dari Cibingbin tanpa izin SIPPA, sudah ditegur pihak Balai Besar. Namun Balai Besar tak mengambil langkah hukum sebab dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, siapa saja yang melakukan pengambilan dan pengusahaan atas sumber air tanpa izin Pemerintah bisa dibui maksimal dua tahun penjara.
Bareskrim Mabes Polri juga sudah turun ke lapangan untuk mengusut pengambilan air tanpa ijin oleh PT Sentul City ke lokasi sungai Cibingbin. Komite warga Sentul juga sudah memberikan data-data yang diperlukan, namun sampai saat ini tindak lanjutnya belum jelas.
Selain itu Fasilitas Umum (Fasum) yang digunakan oleh PT Sentul City tanpa melibatkan Pemda Bogor karena seharusnya sudah ada serah terima fasum dan fasos dari developer kepada Pemda Bogor sejak 15 tahun yang lalu. Sentul City tidak pernah mengolah air. Pengolahan air justru dilakukan oleh PDAM Bogor dan Sentul City tidak memfungsikan water treatment . Jadi air yang dijual Sentul City ke warga itu adalah air bersih bukan air hasil olahan (air minum).
Sekarang warga Sentul City dikenakan aturan baru dari pengelola yaitu warga tidak bisa masuk ke kluster rumahnya apabila tidak punya kartu otomatis pembuka gerbang. Namun syarat untuk mendapat kartu harus bayar uang iuran lingkungan di mana warga tidak pernah punya kontrak atau kesepakatan bersama. Ironis masa warga tidak bisa masuk ke rumahnya sendiri kalau tidak punya kartu gerbang masuk.


Sumber www.law-justice.co
0
2.5K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan