- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
MERANTAU - Nyaman atau Sengsara?


TS
saraangelita
MERANTAU - Nyaman atau Sengsara?
Hai semua! Ini adalah thread pertamaku, dan di sini aku ingin membagikan kepada kalian pengalaman apa sih yang bermanfaat untuk aku? Dan aku berharap cerita ini juga akan bermanfaat bagi kalian ya!
Sebelumnya mungkin aku akan memperkenalkan diri dulu kali yaa? Nama ku Sara Angelita, aku kuliah di Universitas Brawijaya jurusan Ilmu Komunikasi, dan aku berasal dari Jakarta. Ya, aku adalah seorang perantau. Dan pengalaman inilah yang ingin aku bagikan untuk kalian.
Aku menjatuhkan pilihanku untuk melanjutkan pendidikan di Kota Malang, yang tentunya terhitung jauh dari kota asalku Jakarta. Apakah aku khawatir? Hmm, belum ada terlintas dipikiranku tentang rasa khawatir itu. Semua berjalan sangat santai sampai hari-hari menjelang keberangkatanku ke Malang. Semakin mendekati tanggal keberangkatan, ternyata semakin aku risau.
"Gimana ya kalau nanti aku sendiri?"
"Apa rasanya kalau ga ada Papa, Mama, Abang dan Adik dalam keseharianku?"
"Mampu ngga ya aku bertahan di kota orang?"
Ya, beberapa pikiran semacam itu melanda otak dan perasaanku menjelang keberangkatanku. Rasa sedih menyerang seketika. Seperti aku tidak ingin melanjutkan pilihanku untuk berangkat ke Malang. Namun, apakah bisa? Apakah bisa aku meninggalkan pendidikan ku begitu saja hanya karena kerisauanku sendiri? Tentu tidak. Pilihannya ialah aku harus tetap berangkat, karena itu juga yang diinginkan keluargaku.
Sampailah pada tanggal tersebut. Anehnya, aku tidak lagi merasakan kekhawatiran yang berlebihan. Aku menjadi seorang yang sangat tenang, namun tetap ada rasa sedih akan berpisah untuk sementara waktu bersama keluargaku. Dan inilah beberapa foto sebelum keberangkatanku.

Untuk kalian yang bertanya, “Kok ngga ada foto sama Mama?” Itu karena Mama ikut mengantarkanku ke Malang, jadi dapat dikatakan kalau kami belum berpisah secapat itu. Mungkin itu menjadi salah satu alasan mengapa aku tidak begitu khawatir saat akan berangkat ke Malang.
Mama menemani hari-hari pertamaku di Malang. Mulai dari penyambutan Universitas, Fakultas, juga Jurusan. Hari sudah terlewati sampai hari ke 7. Tidak terasa, Mama sudah harus kembali ke Jakarta. Muncul lagi rasa sedihku karena benar-benar merasa akan sendiri. Puncaknya saat Mama sudah menaiki taksi dan akan berangkat ke bandara. Saat taksi tersebut sudah berlalu, aku masuk ke kamarku dan menangis. Rasanya tidak ingin sendiri, ingin bersama keluarga.
Dan…..resmilah dimulai hari-hari sebagai perantau.
Ingin tahu rasanya jadi perantau? Yuk lanjut baca ceritanya!
Awal di Kota malang, belum banyak orang yang aku kenal. Hanya ada beberapa teman dari kota asal saja. Tenpat-tempat di Kota Malang pun belum banyak yang aku tahu. Kegiatan rutinku saat itu hanya kuliah – pulang – kuliah – pulang atau yang biasa disebut sebagai mahasiswa kupu-kupu. Ya habis, mau ke mana lagi aku pergi? Aku belum punya kegiatan lain saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai memiliki teman lain yang juga berasal dari daerah lain. Tugas pun semakin banyak dengan tenggat waktu masing-masing. Kegiatanku semakin bertambah, tidak menjadi kupu-kupu secara terus menerus. Beberapa kali aku ikut mengerjakan tugasku di tempat lain bersama dengan teman. Jadi lebih mengetahui beberapa tempat di Kota Malang ini.
Salah satu tugas yang paling berkesan untukku ialah tugas dari mata kuliah dasar broadcasting. Di mana untuk mendapatkan nilai UAS, saya dan beberapa teman kelompok saya diharuskan untuk membuat suatu tanyangan yang menarik. Munculah ide untuk membuat tayangan wisata yang memperlihatkan kawasan-kawasan wisata Kota Malang. Saat itu kami datang ke Alun-alun Kota Wisata Batu untuk mengambil gambar. Di sana kami menaiki bianglala. Selain mengambil gambar, kami juga bermain. Selanjutnya kami ke Paralayang pada Pk. 01.00. Ya, jam satu pagi kami berangkat ke Paralayang dengan tujuan mengambil gambar sunrise. Kami berada di sana sampai Pk. 07.00, lalu kami pulang. Keeskokan harinya kami berangkat menuju Pantai Sendiki yang berada di Malang Selatan. Perjalan jauh namun sangat berkesan bersama dengan teman-teman. Dan dengan itu, berakhirlah cerita semester satu di Kota Malang. Rasa sedih tidak bersama keluarga yang ada diawal semester seolah tidak terasa lagi dengan keseruan-keseruan awal sebagai perantau.
Mulai masuk ke semester dua, aku mulai aktif dalam mengikuti Himpunan Mahasiswa Jurusan atau HMJ, yaitu Himanika (Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi). Selain mengikuti organisasi tersebut, saya juga aktif dalam mengikuti beberapa kepanitiaan di kampus maupun di gereja. Ditambah dengan tugas yang benar-benar tiada habisnya di setiap minggu membuatku merasa sangat lelah, padahal saat itu masih minggu-minggu awal semester dua. Aku mulai merasa down. Aku mulai menangis. Ingin sekali rasanya ku pulang ke Jakarta, tapi tidak mungkin. Perkuliahan baru saja dimulai, tidak mungkin aku kembali secepat itu. Beberapa orang beranggapan kalau aku merasakan yang namanya homesick, yaitu keadaan di mana aku rindu berada di rumah tanpa segala kepadatan kegiatanku seperti di Malang.
Di saat itulah aku merasakan salah satu beratnya menjadi perantau, yaitu kerinduan akan rumah dan keluarga sangat dalam. Namun satu hal yang dapat kupelajari pada saat-saat seperti itu. Apakah kita akan dengan mudahnya ‘minta pulang’ kepada orang tua kita, atau bertahan dan melewati situasi tersebut? Aku memilih pilihan kedua. Pada saat itu aku berpikir bahwa akulah yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Kota Malang, jadi memang sudah seharusnya aku bertahan di sini. Lagipula, kalau aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta dalam waktu dekat, itu hanya membuang-buang uang bukan?
Setelah melewat minggu-minggu awal disemester dua yang cukup menguras sisi emosionalku, aku menjalani semua kegiatanku dengan seimbang. Aku sudah mulai bisa membagi waktu untuk organisasi, kepanitiaan, juga tugas-tugas. Namun ternyata ada kendala lain yang aku rasakan. Dengan mengikuti banyak kegiatan tentunya menguras juga keuanganku. Aku bukanlah anak yang diberikan uang jajan dalam jumlah besar oleh orang tua. Uang jajan yang ku dapatkan saat itu bisa dibilang pas-pasan. Bahkan beberapa teman yang tau nominal uang kirimanku setiap minggu sampai terkejut. “Bagaimana bisa bertahan dengan nominal itu setiap minggunya?” Jawabannya, aku juga tidak tahu. Awal-awal memang cukup. Namun setelah semua hal aku ikuti, nominal tersebut terasa tidak cukup. Inilah masalah terseulit yang dialami para perantau, yaitu kurangnya nominal uang yang ada. Namun begitu, aku juga segan untuk minta tambahan uang sebelum waktunya. Untuk kalian para mahasiswa perantau, percayalah, terlalu banyak kegiatan yang diikuti juga tidak baik untuk kesehatan kantong kalian.
Hari-hari setelah itu aku lewati sampai pada akhir semester dan akhirnya aku kembali ke Jakarta untuk beberapa saat.
Namun liburanku saat itu tidak berlangsung lama. Karena terikat dengan kegiatan kepanitiaan, maka aku diharuskan untuk kembali ke Malang lebih awal dari waktu liburan berakhir. Sebenarnya, liburanku masih tersisa dua minggu lagi, namun apa daya, aku kembali ke Malang untuk mengikuti latihan penerimaan mahasiswa baru. Ya, inilah awal semester tiga ku di Malang.
Semester tiga terasa semakin padat. Mata kuliah yang dipelajari semakin berat, sementara program kerja dan kegiatan lain juga tetap berjalan beriringan. Namun karena aku sudah mengerti membagi waktu, maka aku dapat menjalani semuanya dengan baik. Bahkan disemester tiga ini, ada kecenderungan aku lebih aktif dalam berkegiatan, bukan dalam perkuliahan. Materi yang diajarkan seolah berlalu begitu saja karena aku sudah lelah duluan dengan kegiatan-kegiatan yang kuikuti. Hal ini tentu membawa dampak yang tidak begitu baik bagi nilai akademisku. Terasa sekali bahwa semangat belajarku menurun. Ada rasa tidak enak saat orang tua terus mengingatkan aku untuk tidak terlalu banyak mengambil kegiatan selain perkuliahan, karena itu pasti akan menyita waktuku. Padahal kenyataannya, aku sudah melakukannya, bahkan sedang merasakannya pada saat itu. Sebagai mahasiswa yang memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan, juga sebagai anak yang memiliki tanggung jawab kepada orang tua, hal tersebut sungguh menjadi acuan bagi diriku untuk tetap focus pada perkuliahan, walau sebanyak apapun kegiatan yang aku ikuti.
Memang dalam mengucapkan sesuatu akan terasa lebih mudah, namun tidak dalam praktiknya. Sekitar bulan September, salah satu kepanitiaan yang saya ikuti mengharuskan saya untuk berangkat ke Jogja dalam waktu 5 hari untuk menjalaniroadshow. Ketika aku memberitahu Mama, pertanyaan yang pertama diucapkan ialah, “Apa ini bagian dari akademik mu? Apa ini ada kaitannya dengan nilai?” Seketika aku bingung ingin menjawab apa. Namun aku tetap harus jujur, bahwa perjalanan itu hanya bagian dari kegiatan kepanitiaanku, bukan menjadi bagian dari akademik, atau bahkan mempengaruhi nilaiku. Aku sudah langsung tahu bahwa Mama pasti akan berkata bahwa itu bukanlah hal yang penting untuk aku ikuti, yang terpenting adalah perkuliahaanku. Namun, ya, bagaimana lagi? Aku tetap harus berangkat. Di sisi lain aku berkata ke Mama tentang belum pernahnya aku jalan-jalan jauh selama kuliah dan aku juga belum pernah berkunjung ke Jogja. Jadi, dengan persuasi terus menerus, akhrinya aku diijinkan berangkat ke Jogja. Salah satu keuntungan sebagai perantau ialah jalan-jalan!
Setelah kembali dari Jogja, saya mulai untuk focus kembali ke perkuliahaan. Menjalani kuis serta UTS dengan baik. Dan menyusul dengan UAS. Pada saat minggu UAS, tiba-tiba saya merasa kosong. Saya berpikir, entah apa saja yang saaya sudah pelajari selama satu semester disemester tiga ini? kenapa rasanya sangat sulit untuk menghafal materi yang akan diujian saat UAS? Saya mulai pesimis akan nilai UAS saya, namun saya tetap belajar dan mengerjakan setiap soal UAS saya sampai selesai. Dan benar saja, saat liburan tiba, kami sebagai mahasiswa tetap sibuk menunggu pemberitahuan nilai. Nilai yang saya dapat jauh menurun dari semester dua. Namun itu bukanlah sepenuhnya salahku. Menurutku, ada andil dosen yang memang terkenal ‘pelit nilai’ yang menyebabkan ada satu nilai mata kuliah yang tidak sesuai harapan. Namun tetap saja, yang Mama dan Papa ingin tahu ialah keadaan IP ku. Dan bukannya memberikan kenaikan, aku malah mengalami penurunan IP. Semester tiga ku berakhir dengan sedikit kesedihan.
Memasuki semester empat, aku mengalami kegalauan. Semester empat adalah waktu di mana mahasiswa Ilmu Komunikasi menentukan peminatannya. Bagi kalian yang tidak tahu, di jurusan Ilmu Komunikasi Univeritas Brawijaya terdapat tiga peminatan, yaitu Manajemen Komunikasi Pemasarn, Public Relations, dan Kajian Media. Aku menempatkan pilihanku pada PR dan Kajian Media. Bahkan sampai H-1 penentuan kelas melalui KRS, aku masih belum bisa menentukan pilihanku. Aku masih sibuk bertanya kepada teman-teman, peminatan apa yang sekiranya cocok denganku. Dan keesokan harinya pada saat KRS, akhirnya dengan yakin aku memilih peminatan Kajian Media atas pendapat dan saran teman-temanku.
Saatnya telah tiba untukku mengawali semester empat di Kota Malang. Aku sudah kembali dari Jakarta ke Malang setelah liburan singkat. Dan saat hari Senin datang, aku mulai beraktifitas seperti biasa lagi. Menghadapi perkuliahan dengan berbagai macam tipikal dosen pengampu, kelas baru dengan beberapa teman yang baru juga. Ini adalah salah satu hal yang aku suka dari merantau. Aku bisa mengenal banyak teman yang tidak hanya berasal dari kota yang sama denganku, melainkan berasal dari kota-kota lain yang bahkan berada di luar pulau Jawa. Di semester empat ini juga aku masih tetap melanjutkan organisasiku, dan saat ini aku menjabat sebagai Bendahara 2 di Himanika. Selain itu, aku juga masih aktif dalam kegiatan di gereja. Seolah aku benar-benar tidak bisa melepaskan kegiatanku. Tugas? Tidak perlu ditanya. Mereka datang setiap minggunya tanpa jeda. Namun itu merupakan bagian dari tanggung jawabku yang telah berani mengambil semua kegiatan tersebut, juga tanggung jawab dalam menjalani perkuliahaan.
Ketika muncul pertanyaan, “Bagaimana kamu bisa bertahan berada jauh dari orang tua setiap bulannya?”
Saya akan menjawab bahwa merekalah alasanku bertahan dengan segala rasa rindu dan rasa ingin pulang. Mama, Papa, Abang dan Adikku adalah alasan di mana aku tidak ingin menyia-nyiakan jerih payah mereka. Setiap kali aku berkomunikasi dengan Mama, Mama selalu berkata, “Kita memang bukan berasal dari keluarga yang berlimpah kekayaan, tapi untuk kebutuhan dan pendidikan kalian (anak-anak), Mama dan Papa akan mengusahakan yang terbaik. Pakailah waktu yang ada Sara, selagi Papa dan Mama masih sehat untuk bekerja membiayai kalian.”
Menurutku, itu adalah alasan terkuat yang bisa kusampaikan pada kalian yang membaca cerita ini.
Untuk kalian yang belum penah merasakan menjadi perantau....
Di luar semua kesulitan yang harus dilewati, tentu saja terdapat kesenangan yang akan menjadi kenangan.
Di kota rantau inilah aku belajar menjadi orang yang lebih dewasa dalam mengambil keputusan.
Di kota rantau inilah aku belajar bagaimana membagi waktu dan prioritas.
Di kota rantau inilah aku belajar menghargai uang yang akan kugunakan.
Di kota rantau inilah aku belajar untuk menjaga kepercayaan yang diberikan kepadaku.
Di kota rantau inilah aku mendapatkan banyak teman dan cerita yang mungkin tidak akan ku dapatkan lagi di lain tempat.
Setiap orang dalam kehidupanku di kota ini, setiap orang yang berada dalam masa sedih penrantauanku, merekalah yang membantuku melewatinya, dan setiap orang yang berada dalam masa senang perantauanku, merekalah kenangan terbaik.
Jangan takut ketika waktu mengharuskanmu pergi ke sebrang lautan.
Jangan khawatir ketika waktu memisahkanmu dengan kenyamananmu.
Jangan menolak untuk menjadi dewasa lewat setiap proses.
"Merantaulah.. agar kamu tahu bagaimana rasanya rindu
Merantaulah..agar kamu tahu betapa berharganya waktu bersama keluarga
Dan merantaulah.. agar kamu mengerti alasan menhapa harus kembali.." -nn
Malang, 22 Maret 2018
Sebelumnya mungkin aku akan memperkenalkan diri dulu kali yaa? Nama ku Sara Angelita, aku kuliah di Universitas Brawijaya jurusan Ilmu Komunikasi, dan aku berasal dari Jakarta. Ya, aku adalah seorang perantau. Dan pengalaman inilah yang ingin aku bagikan untuk kalian.
Aku menjatuhkan pilihanku untuk melanjutkan pendidikan di Kota Malang, yang tentunya terhitung jauh dari kota asalku Jakarta. Apakah aku khawatir? Hmm, belum ada terlintas dipikiranku tentang rasa khawatir itu. Semua berjalan sangat santai sampai hari-hari menjelang keberangkatanku ke Malang. Semakin mendekati tanggal keberangkatan, ternyata semakin aku risau.
"Gimana ya kalau nanti aku sendiri?"
"Apa rasanya kalau ga ada Papa, Mama, Abang dan Adik dalam keseharianku?"
"Mampu ngga ya aku bertahan di kota orang?"
Ya, beberapa pikiran semacam itu melanda otak dan perasaanku menjelang keberangkatanku. Rasa sedih menyerang seketika. Seperti aku tidak ingin melanjutkan pilihanku untuk berangkat ke Malang. Namun, apakah bisa? Apakah bisa aku meninggalkan pendidikan ku begitu saja hanya karena kerisauanku sendiri? Tentu tidak. Pilihannya ialah aku harus tetap berangkat, karena itu juga yang diinginkan keluargaku.
Sampailah pada tanggal tersebut. Anehnya, aku tidak lagi merasakan kekhawatiran yang berlebihan. Aku menjadi seorang yang sangat tenang, namun tetap ada rasa sedih akan berpisah untuk sementara waktu bersama keluargaku. Dan inilah beberapa foto sebelum keberangkatanku.

Untuk kalian yang bertanya, “Kok ngga ada foto sama Mama?” Itu karena Mama ikut mengantarkanku ke Malang, jadi dapat dikatakan kalau kami belum berpisah secapat itu. Mungkin itu menjadi salah satu alasan mengapa aku tidak begitu khawatir saat akan berangkat ke Malang.
Mama menemani hari-hari pertamaku di Malang. Mulai dari penyambutan Universitas, Fakultas, juga Jurusan. Hari sudah terlewati sampai hari ke 7. Tidak terasa, Mama sudah harus kembali ke Jakarta. Muncul lagi rasa sedihku karena benar-benar merasa akan sendiri. Puncaknya saat Mama sudah menaiki taksi dan akan berangkat ke bandara. Saat taksi tersebut sudah berlalu, aku masuk ke kamarku dan menangis. Rasanya tidak ingin sendiri, ingin bersama keluarga.
Dan…..resmilah dimulai hari-hari sebagai perantau.
Ingin tahu rasanya jadi perantau? Yuk lanjut baca ceritanya!
Awal di Kota malang, belum banyak orang yang aku kenal. Hanya ada beberapa teman dari kota asal saja. Tenpat-tempat di Kota Malang pun belum banyak yang aku tahu. Kegiatan rutinku saat itu hanya kuliah – pulang – kuliah – pulang atau yang biasa disebut sebagai mahasiswa kupu-kupu. Ya habis, mau ke mana lagi aku pergi? Aku belum punya kegiatan lain saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai memiliki teman lain yang juga berasal dari daerah lain. Tugas pun semakin banyak dengan tenggat waktu masing-masing. Kegiatanku semakin bertambah, tidak menjadi kupu-kupu secara terus menerus. Beberapa kali aku ikut mengerjakan tugasku di tempat lain bersama dengan teman. Jadi lebih mengetahui beberapa tempat di Kota Malang ini.
Salah satu tugas yang paling berkesan untukku ialah tugas dari mata kuliah dasar broadcasting. Di mana untuk mendapatkan nilai UAS, saya dan beberapa teman kelompok saya diharuskan untuk membuat suatu tanyangan yang menarik. Munculah ide untuk membuat tayangan wisata yang memperlihatkan kawasan-kawasan wisata Kota Malang. Saat itu kami datang ke Alun-alun Kota Wisata Batu untuk mengambil gambar. Di sana kami menaiki bianglala. Selain mengambil gambar, kami juga bermain. Selanjutnya kami ke Paralayang pada Pk. 01.00. Ya, jam satu pagi kami berangkat ke Paralayang dengan tujuan mengambil gambar sunrise. Kami berada di sana sampai Pk. 07.00, lalu kami pulang. Keeskokan harinya kami berangkat menuju Pantai Sendiki yang berada di Malang Selatan. Perjalan jauh namun sangat berkesan bersama dengan teman-teman. Dan dengan itu, berakhirlah cerita semester satu di Kota Malang. Rasa sedih tidak bersama keluarga yang ada diawal semester seolah tidak terasa lagi dengan keseruan-keseruan awal sebagai perantau.
Mulai masuk ke semester dua, aku mulai aktif dalam mengikuti Himpunan Mahasiswa Jurusan atau HMJ, yaitu Himanika (Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi). Selain mengikuti organisasi tersebut, saya juga aktif dalam mengikuti beberapa kepanitiaan di kampus maupun di gereja. Ditambah dengan tugas yang benar-benar tiada habisnya di setiap minggu membuatku merasa sangat lelah, padahal saat itu masih minggu-minggu awal semester dua. Aku mulai merasa down. Aku mulai menangis. Ingin sekali rasanya ku pulang ke Jakarta, tapi tidak mungkin. Perkuliahan baru saja dimulai, tidak mungkin aku kembali secepat itu. Beberapa orang beranggapan kalau aku merasakan yang namanya homesick, yaitu keadaan di mana aku rindu berada di rumah tanpa segala kepadatan kegiatanku seperti di Malang.
Di saat itulah aku merasakan salah satu beratnya menjadi perantau, yaitu kerinduan akan rumah dan keluarga sangat dalam. Namun satu hal yang dapat kupelajari pada saat-saat seperti itu. Apakah kita akan dengan mudahnya ‘minta pulang’ kepada orang tua kita, atau bertahan dan melewati situasi tersebut? Aku memilih pilihan kedua. Pada saat itu aku berpikir bahwa akulah yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Kota Malang, jadi memang sudah seharusnya aku bertahan di sini. Lagipula, kalau aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta dalam waktu dekat, itu hanya membuang-buang uang bukan?
Setelah melewat minggu-minggu awal disemester dua yang cukup menguras sisi emosionalku, aku menjalani semua kegiatanku dengan seimbang. Aku sudah mulai bisa membagi waktu untuk organisasi, kepanitiaan, juga tugas-tugas. Namun ternyata ada kendala lain yang aku rasakan. Dengan mengikuti banyak kegiatan tentunya menguras juga keuanganku. Aku bukanlah anak yang diberikan uang jajan dalam jumlah besar oleh orang tua. Uang jajan yang ku dapatkan saat itu bisa dibilang pas-pasan. Bahkan beberapa teman yang tau nominal uang kirimanku setiap minggu sampai terkejut. “Bagaimana bisa bertahan dengan nominal itu setiap minggunya?” Jawabannya, aku juga tidak tahu. Awal-awal memang cukup. Namun setelah semua hal aku ikuti, nominal tersebut terasa tidak cukup. Inilah masalah terseulit yang dialami para perantau, yaitu kurangnya nominal uang yang ada. Namun begitu, aku juga segan untuk minta tambahan uang sebelum waktunya. Untuk kalian para mahasiswa perantau, percayalah, terlalu banyak kegiatan yang diikuti juga tidak baik untuk kesehatan kantong kalian.

Hari-hari setelah itu aku lewati sampai pada akhir semester dan akhirnya aku kembali ke Jakarta untuk beberapa saat.
Namun liburanku saat itu tidak berlangsung lama. Karena terikat dengan kegiatan kepanitiaan, maka aku diharuskan untuk kembali ke Malang lebih awal dari waktu liburan berakhir. Sebenarnya, liburanku masih tersisa dua minggu lagi, namun apa daya, aku kembali ke Malang untuk mengikuti latihan penerimaan mahasiswa baru. Ya, inilah awal semester tiga ku di Malang.
Semester tiga terasa semakin padat. Mata kuliah yang dipelajari semakin berat, sementara program kerja dan kegiatan lain juga tetap berjalan beriringan. Namun karena aku sudah mengerti membagi waktu, maka aku dapat menjalani semuanya dengan baik. Bahkan disemester tiga ini, ada kecenderungan aku lebih aktif dalam berkegiatan, bukan dalam perkuliahan. Materi yang diajarkan seolah berlalu begitu saja karena aku sudah lelah duluan dengan kegiatan-kegiatan yang kuikuti. Hal ini tentu membawa dampak yang tidak begitu baik bagi nilai akademisku. Terasa sekali bahwa semangat belajarku menurun. Ada rasa tidak enak saat orang tua terus mengingatkan aku untuk tidak terlalu banyak mengambil kegiatan selain perkuliahan, karena itu pasti akan menyita waktuku. Padahal kenyataannya, aku sudah melakukannya, bahkan sedang merasakannya pada saat itu. Sebagai mahasiswa yang memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan, juga sebagai anak yang memiliki tanggung jawab kepada orang tua, hal tersebut sungguh menjadi acuan bagi diriku untuk tetap focus pada perkuliahan, walau sebanyak apapun kegiatan yang aku ikuti.
Memang dalam mengucapkan sesuatu akan terasa lebih mudah, namun tidak dalam praktiknya. Sekitar bulan September, salah satu kepanitiaan yang saya ikuti mengharuskan saya untuk berangkat ke Jogja dalam waktu 5 hari untuk menjalaniroadshow. Ketika aku memberitahu Mama, pertanyaan yang pertama diucapkan ialah, “Apa ini bagian dari akademik mu? Apa ini ada kaitannya dengan nilai?” Seketika aku bingung ingin menjawab apa. Namun aku tetap harus jujur, bahwa perjalanan itu hanya bagian dari kegiatan kepanitiaanku, bukan menjadi bagian dari akademik, atau bahkan mempengaruhi nilaiku. Aku sudah langsung tahu bahwa Mama pasti akan berkata bahwa itu bukanlah hal yang penting untuk aku ikuti, yang terpenting adalah perkuliahaanku. Namun, ya, bagaimana lagi? Aku tetap harus berangkat. Di sisi lain aku berkata ke Mama tentang belum pernahnya aku jalan-jalan jauh selama kuliah dan aku juga belum pernah berkunjung ke Jogja. Jadi, dengan persuasi terus menerus, akhrinya aku diijinkan berangkat ke Jogja. Salah satu keuntungan sebagai perantau ialah jalan-jalan!
Setelah kembali dari Jogja, saya mulai untuk focus kembali ke perkuliahaan. Menjalani kuis serta UTS dengan baik. Dan menyusul dengan UAS. Pada saat minggu UAS, tiba-tiba saya merasa kosong. Saya berpikir, entah apa saja yang saaya sudah pelajari selama satu semester disemester tiga ini? kenapa rasanya sangat sulit untuk menghafal materi yang akan diujian saat UAS? Saya mulai pesimis akan nilai UAS saya, namun saya tetap belajar dan mengerjakan setiap soal UAS saya sampai selesai. Dan benar saja, saat liburan tiba, kami sebagai mahasiswa tetap sibuk menunggu pemberitahuan nilai. Nilai yang saya dapat jauh menurun dari semester dua. Namun itu bukanlah sepenuhnya salahku. Menurutku, ada andil dosen yang memang terkenal ‘pelit nilai’ yang menyebabkan ada satu nilai mata kuliah yang tidak sesuai harapan. Namun tetap saja, yang Mama dan Papa ingin tahu ialah keadaan IP ku. Dan bukannya memberikan kenaikan, aku malah mengalami penurunan IP. Semester tiga ku berakhir dengan sedikit kesedihan.
Memasuki semester empat, aku mengalami kegalauan. Semester empat adalah waktu di mana mahasiswa Ilmu Komunikasi menentukan peminatannya. Bagi kalian yang tidak tahu, di jurusan Ilmu Komunikasi Univeritas Brawijaya terdapat tiga peminatan, yaitu Manajemen Komunikasi Pemasarn, Public Relations, dan Kajian Media. Aku menempatkan pilihanku pada PR dan Kajian Media. Bahkan sampai H-1 penentuan kelas melalui KRS, aku masih belum bisa menentukan pilihanku. Aku masih sibuk bertanya kepada teman-teman, peminatan apa yang sekiranya cocok denganku. Dan keesokan harinya pada saat KRS, akhirnya dengan yakin aku memilih peminatan Kajian Media atas pendapat dan saran teman-temanku.
Saatnya telah tiba untukku mengawali semester empat di Kota Malang. Aku sudah kembali dari Jakarta ke Malang setelah liburan singkat. Dan saat hari Senin datang, aku mulai beraktifitas seperti biasa lagi. Menghadapi perkuliahan dengan berbagai macam tipikal dosen pengampu, kelas baru dengan beberapa teman yang baru juga. Ini adalah salah satu hal yang aku suka dari merantau. Aku bisa mengenal banyak teman yang tidak hanya berasal dari kota yang sama denganku, melainkan berasal dari kota-kota lain yang bahkan berada di luar pulau Jawa. Di semester empat ini juga aku masih tetap melanjutkan organisasiku, dan saat ini aku menjabat sebagai Bendahara 2 di Himanika. Selain itu, aku juga masih aktif dalam kegiatan di gereja. Seolah aku benar-benar tidak bisa melepaskan kegiatanku. Tugas? Tidak perlu ditanya. Mereka datang setiap minggunya tanpa jeda. Namun itu merupakan bagian dari tanggung jawabku yang telah berani mengambil semua kegiatan tersebut, juga tanggung jawab dalam menjalani perkuliahaan.
Ketika muncul pertanyaan, “Bagaimana kamu bisa bertahan berada jauh dari orang tua setiap bulannya?”
Saya akan menjawab bahwa merekalah alasanku bertahan dengan segala rasa rindu dan rasa ingin pulang. Mama, Papa, Abang dan Adikku adalah alasan di mana aku tidak ingin menyia-nyiakan jerih payah mereka. Setiap kali aku berkomunikasi dengan Mama, Mama selalu berkata, “Kita memang bukan berasal dari keluarga yang berlimpah kekayaan, tapi untuk kebutuhan dan pendidikan kalian (anak-anak), Mama dan Papa akan mengusahakan yang terbaik. Pakailah waktu yang ada Sara, selagi Papa dan Mama masih sehat untuk bekerja membiayai kalian.”
Menurutku, itu adalah alasan terkuat yang bisa kusampaikan pada kalian yang membaca cerita ini.
Untuk kalian yang belum penah merasakan menjadi perantau....
Di luar semua kesulitan yang harus dilewati, tentu saja terdapat kesenangan yang akan menjadi kenangan.
Di kota rantau inilah aku belajar menjadi orang yang lebih dewasa dalam mengambil keputusan.
Di kota rantau inilah aku belajar bagaimana membagi waktu dan prioritas.
Di kota rantau inilah aku belajar menghargai uang yang akan kugunakan.
Di kota rantau inilah aku belajar untuk menjaga kepercayaan yang diberikan kepadaku.
Di kota rantau inilah aku mendapatkan banyak teman dan cerita yang mungkin tidak akan ku dapatkan lagi di lain tempat.
Setiap orang dalam kehidupanku di kota ini, setiap orang yang berada dalam masa sedih penrantauanku, merekalah yang membantuku melewatinya, dan setiap orang yang berada dalam masa senang perantauanku, merekalah kenangan terbaik.
Jangan takut ketika waktu mengharuskanmu pergi ke sebrang lautan.
Jangan khawatir ketika waktu memisahkanmu dengan kenyamananmu.
Jangan menolak untuk menjadi dewasa lewat setiap proses.
"Merantaulah.. agar kamu tahu bagaimana rasanya rindu
Merantaulah..agar kamu tahu betapa berharganya waktu bersama keluarga
Dan merantaulah.. agar kamu mengerti alasan menhapa harus kembali.." -nn
Malang, 22 Maret 2018
Diubah oleh saraangelita 22-03-2018 16:15




pakisal212 dan anasabila memberi reputasi
2
1.5K
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan