- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Apakah Terpidana Mati Sempat Merasakan Sakit Sesaat Setelah Dipancung? Ini Jawabannya


TS
tanah.deli
Apakah Terpidana Mati Sempat Merasakan Sakit Sesaat Setelah Dipancung? Ini Jawabannya
tribun news
Mar 20, 2018 1:55 PM

Cakrawala News
TRIBUNJOGJA.com - Eksekusi mati dengan cara dipancung merupakan salah satu metode eksekusi yang banyak dipilih.
Terutama karena pertimbangan bahwa metode inilah yang paling cepat membunuh seseorang atau dalam bahasa lainnya, hukuman ini dianggap 'lebih manusiawi' lantaran terpidana mati tak akan merasa kesakitan.
Itu pula yang mendasari lahirnya sebuah alat eksekusi mati yang disebut Guillotine yang diciptakan oleh Joseph-Ignace
Guillotine, bersama dengan insinyur Jerman Tobias Schmidt pada abad 17.
Guillotine digunakan semasa revolusi perancis, menggantikan alat eksekusi mati sebelumnya yang dianggap sangat tidak
manusia yakni roda penghancur. Karena roda penghancur lebih mirip sebagai alat penyiksaan daripada alat untuk eksekusi
mati.
Pada tanggal 10 Oktober 1789, dokter Joseph-Ignace Guillotin mengusulkan kepada Majelis Nasional bahwa hukuman mati harus
dilaksanakan dengan metode pemenggalan kepala. Terdakwa harus langsung mati, tanpa merasakan sakit terlebih dahulu.
Dari situlah muncul alat penggal Guillotine.
Namun pertanyaannya, seberapa cepat kematian itu datang? Jika kepala sudah terputus, apakah seseorang masih bisa melihat
atau atau merasakan sakit?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, banyak ahli yang merujuk pada sebuah catatan sejarah yang paling terkenal yakni ketika
pelaksanaan eksekusi mati terhadap wanita bernama Charllotte Corday pada 17 Juli 1793.
Dalam berbagai sumber disebutkan bahwa setelah pisau itu jatuh dan memenggal kepala Corday, salah satu asisten algojo
mengangkatnya dan menepuk pipinya. Menurut saksi mata, mata Corday berpaling untuk melihat pria itu dan wajahnya berubah
menjadi ekspresi amarah.
Setelah insiden ini, orang-orang yang dieksekusi oleh guillotine selama Revolusi dilaporkan pernah mengedipkan matanya
yang terjadi hingga 30 detik.
Kisah lain yang sering diceritakan tentang apa yang terjadi setelah kepala terpenggal berasal dari tahun 1905. Seorang
Dokter Prancis Dr. Gabriel Beaurieux menyaksikan pemenggalan kepala seorang pria bernama Languille.
Dia menulis bahwa segera sesudahnya, "kelopak mata dan bibir terpidana terlihat bergerak, bekerja dalam kontraksi berirama
yang tidak teratur selama sekitar lima atau enam detik."
Kemudian Dr Beaurieux memanggil nama terpidana mati hingga tiga kali.
Respon panggilan pertama, kelopak mata Languille perlahan-lahan terangkat, tanpa kontraksi spasmodik. Ini juga terjadi
pada panggilan kedua. Namun pada panggilan ketiga, sudah tidak ada reaksi sama sekali.
Kisah-kisah itu tampaknya memberikan kepercayaan pada gagasan bahwa seseorang masih merasa sadar begitu kepalanya
terpenggal, meskipun hanya beberapa detik saja.
Namun, sebagian besar dokter modern percaya bahwa reaksi yang dijelaskan di atas sebenarnya merupakan gerakan otot - otot
yang refleksif, bukan merupakan gerakan yang secara sadar dilakukan atau bukan merupakan gerakan yang disengaja.
Karena pada dasarnya, otak langsung mengalami koma dan mulai mati begitu tidak ada suplai oksigen.
Dr. Harold Hillman dalam how stuff works science mengatakan bahwa kesadaran akan langsung hilang dalam waktu 2 sampai 3
detik begitu otak terputus dari tulang belakang.
Jadi tidak sepenuhnya mustahil bagi seseorang untuk tetap sadar setelah dipenggal kepalanya meskipun hanya sekejap.
"Kematian terjadi karena pemisahan otak dan sumsum tulang belakang, setelah transeksi jaringan sekitarnya. Ini pasti
menyebabkan nyeri yang amat sangat meski dalam waktu yang sangat singkat," katanya.
Itulah alasan kenapa Guillotine kemudian tak digunakan di banyak negara. (*)
http://jogja.tribunnews.com/amp/2018...ini-jawabannya

0
3.7K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan