Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Sebagai Perusahaan Kita kan Ingin Survive
 Setiap kali menunjukkan tren bullish [harga menanjak] pemerintah mengendalikan harga batu bara dalam negeri lewat skema Domestic Market Obligation (DMO).  Saat ini, harga batu bara melambung hingga US$100 per ton, naik hampir 100% dari sebelumnya, yang US$50-US$60 per ton. Kondisi ini tentu akan membebani PLN yang merupakan pemasok listrik untuk rakyat. Soalnya sebagian besar pembangkit listrik mereka menggunakan bahan bakar batu bara. Pada sisi lain, pemerintah berusaha memastikan tidak ada kenaikan tarif dasar listrik. Untuk itu DMO-lah yang diberlakukan.
Setelah melobi satu per satu perusahaan batubara raksasa dan melewati proses panjang yang sangat diwarnai polemik, pemerintah akhirnya memutuskan membandrol DMO US$70 per ton,  yang berlaku mulai Januari 2018 hingga Desember 2019.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia yang mewakili 92 produsen, termasuk para raksasa, menganggap penentuan harga DMO untuk PLN masih menyisakan masalah. Ihwal hal itu, berikut ini pandangan Direktur Eksekutif  [url=http://asosiasi%20pertambangan%20batu%20bara%20indonesia/][color=#85ba41][b]Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia[/b][/color][/url] (PBI),  Supriatna Sahala yang disampaikannya ke Law-justice.co.

Alat berat sedang bekerja (foto: Swa)
Harga batu bara melonjak. Bagaimana APBI menyikapinya?
Batu bara itu satu komodit yang istilahnya free commodity. Tidak seperti minyak, di sektor ini tidak pernah ada kartel yang dapat menentukan harga. Di dalam negeri ada asosiasi tapi kami tidak bisa menentukan harga. Asosiasi hanya berperan sebagai komunikator. Jika ada peraturan pemerintah yang kami anggap tidak nyaman, maka itu yang kami  komunikasikan. Kalau soal harga, sesama anggota yang bersaing dalam menentukannya.
Apakah di seluruh dunia juga seperti itu—tidak ada kartel?
Iya, tidak ada. Batubara itu sebetulnya komoditas yang locally sifatnya. Hingga kini dari sekitar 7,5 miliar ton total produksi dunia. Yang diperdagangkan secara internasional hanya 950 juta ton;  sisanya dipakai untuk kebutuhan dalam negeri. Cina misalnya. Mereka memproduksi 3,7 milar ton. Dipakai untuk kebutuhan dalam negeri 4 miliar;  artinya ada defisit 300 juta ton. Bahkan sekarang mereka mulai mengurangi konsumsi batu bara dan menggantinya dengan gas.
India memproduksi 600 juta ton. Kebutuhan dalam negerinya 750 juta ton. Defisit 150 juta ton. Sementar itu Amerika, produksinya 950 juta ton, dibakar di dalam negeri 850 juta ton. Kelebihan 100 juta ton. Itulah yang mereka ekspr ke Jepang dan Eropa.

Mendulang kekayaan bumi (foto: Liputan6)
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia situasinya justru terbalik. Itu menandakan industrialisasinya belum mature, belum tumbuh. Kalau negera yang industrinya sudah maju maka batu bara akan mereka pakai sendiri.
Artinya sejak dulu, batu bara memang bukan komoditi yang diperdagangkan secara internasional. Dulu itu penentuan harga bersifat lokal saja. Standar harga baru diterapkan tahun  2000-an ke sini. Negara-negara yang kelebihan batu bara itu, selain kita,  ada juga Australia dan Afrika Selatan. Negara lain malah kekurangan.  
Afrika Selatan sama kondisinya seperti kita.  Hampir 90% batu bara mereka diekspor. Australia berlebih karena jumlah penduduknya kecil, yakni 25-27 juta orang;  demand di dalam negeri belum besar. Malam hari di Australia itu gelap, karena rasio penduduk dengan luas wilayah kecil sekali.
Kebutuhan batu bara dalam negeri akan naik seiring dengan program listrik 35.000 MW Presiden Joko Widodo. Betulkah demikian?
Mari kita hitung. Untuk menghasilkan  setiap 1.000 Megawatt perlu 4 juta ton batu bara per tahun. Kalau ada rencana menghasilakn 20.000 MW, berarti ada permintaan tambahan 80 juta ton batu bara per tahun. Artinya, itu pun  masih belum menyerap  ½ dari total kapasitas produksi yang 460 juta ton.
Sekarang kapasitas produksi dalam negeri bisa sampai 460 juta ton tanpa ada penambahan capital expenditure. Program 20.000 MW Presiden Jokowi,  konsumsi batu baranya masih kurang dari 200 juta ton. Ke mana sisanya? Terpaksa kita ekpsor.
Kita sebenarnya lebih senang menjual batu bara di dalam negeri karena sebetulnya peraturan pemerintah menguntungkan produsen asal harganya sesuai HPB [[url=http://harga%20patokan%20batubara/][color=#85ba41]harga patokan batubara[/color][/url]];  tidak boleh lebih rendah.
Masalahnya, banyak mesin [industri atau pembangkit listrik] yang ada di Indonesia sekarang tidak cocok kalau menggunakan batu bara kita. Batu bara kita paling cocok untuk India. Di sana mereka blending untuk kebutuhan PLTU-nya. Karena sulfurnya rendah, abunya rendah, batu bara kita matching dengan standar India.
Bagaimana dengan harga yang dimaui PLN?
Problem sekarang terkait PLN,  ada di harga.  Sampai sekarang belum ada kesepakatan tentang harga batu bara jika dijual untuk kebutuhan pembangkit listrik milik PLN. Jadi pembangkit yang di luar mine mouth[mulut tambang] milik produsen batu bara, listriknya umumnya dipakai untuk kebutuhan sendiri.
Sampai saat ini PLN masih mengatakan mereka akan membeli batu bara sesuai Harga Batu Bara Acuan [HBA]  saat harga murah. Jadi, kalau harga sedang murah saya pakai HBA. Tapi saat harga naik, PLN akan membeli  batu bara dengan harga batas bawah (floor price). Tapi, apakah case-nya selalu demikian? Belum tentu juga.
Problemnya, PLN itu dikontrol DPR. Lain halnya kalau kita bicara B to B [business to business] dengan swasta. Misalnya,  kita jualan ke  PT Tambangraya Megah (TMB) atau Japan Power. Harga bisa kita hedgingartinya kalau harganya naik ke US$100 per ton you beli US$80, kalau turun ke US$50, you bayar US$70 saja. Sebagai perusahaan kita kan ingin survive, artinya kalau rugi dibagi, untung pun dibagi. Harusnya kan seperti itu...

Pelabuhan 'emas hitam' (foto: Tambang.co.id)
Tapi kalau urusannya dengan pemerintah sulit. Ketika harga batu bara naik, misalnya sampai US$100 per ton, PLN bisa kami berikan dispensasi membeli batu bara dengan harga US$80. Tapi itu pun sulit terjadi. Karena masih membebankan PLN sebagai pemasok listrik buat rakyat. Apalagi PLN tidak mudah untuk menaikkan tarif listrik.
Karena menterinya nanti bakal disoal DPR…..
Tidak menaikan harga listrik di saat harga batu bara dunia meningkat memang jadi dilema tersendiri. Makanya dalam sistem demokrasi, subsidi itu tidak cocok. Kalau di negara yang full demokrasi seperti di AS, pasar saja yang menentukan. Kalau pemerintah mau memberikan subsidi, jangan minta ke perusahaan.
Kita sih, sebagai pihak swasta lebih memilih menggunakan harga pasar saja, market price. Lalu bagaimana pemerintah mau menolong rakyatnya? Ya, keluarkan dana saja dari pajak. Subsisi itu selalu diambil dari situ. Jadi jangan minta begini: subsidinya dibatasi. Artinya kalau harga batu bara naik sampai $70, masih bisa bayar;  tapi kalau harganya bergerak naik lagi lebih dari itu, ya PLN rugi, katanya. Kemudian mereka mohon pada kita (swasta) supaya bisa memberi harga hanya 85%. Itu sama saja artinya: kalau harga naik, keuntungan kita bagi. Tapi kalau turun kan mustinya kita bagi dua juga, dong. Karena keadilan itu pun dilindungi dalam konstitusi. Keadailan bagi semua pihak.
Seluruh tambang, kalau supply untuk kebutuhan dalam negeri, harganya itu harus 85% dari HPB [Harga Patokan Batubara]. Untuk listrik OK.  Tapi bagaimana kalau harga batu bara sedang rendah: apakah bisa ditentukan harganya 15% dari floor price? Kan kita sama-sama ingin survive. Kalau PLN, masih ada negara yang menopangnya;  kalau kita (swasta) rugi, ya akan bangkrut.
Jadi menurut saya cara yang fair itu berdasarkan hitungan cost plus. Tidak keberatan kalau mau diaudit cost kita. Silahkan audit, beri jaminan 15%.  Adil kan? Kalau PLN inginnya 10% aja. Sementara menurut kita itu tidak menarik karena: buat apa kita capek mengeruk, costly, belum lagi risiko di lapangan: diterkam harimau, digigit nyamuk, susah-susah kalau hasilnya hanya 10% dari investasi. Investasikan saja di corporate bond. PLN keluarkan corporat bond 10%. Artinya segala sesuatu harus make sense [masuk akal].  Anggota APBI itu ada 92 perusahaan tapi memproduksi kurang lebih 85%. Yang besar-besar pasti anggota kita. Pendirinya adalah yang 7 pemegang kontrak karya generasi pertama.

Tongkang menghela (foto: APBI)
Apakah perusahaan-perusahaan batu bara yang besar mulai melirik proyek PLTU?
Sekarang arahnya, perusahaan batubara yang besar-besar diminta untuk mendirikan PLTU supaya batu baranya matching dengan mesin pembangkitnya. Grup besar yang sudah mengarah ke sana adalah Adaro. Mereka sudah jelas akan membangun PLTU Batang 2.000 MW. Kemudian PT Bukit Asam. Mereka menyatakan akan mentransformasikan diri menjadi perusahaan listrik. Dalam beberapa tahun ke depan mereka proyeksikan revenue  akan lebih besar dari sektor listrik.
Selain itu ada Berau, Tobabara Group. Yang belum mengarah ke sana itu Group Bakrie. Mereka belum berpikir ada ide baru.  Hampir semua yang besar-besar punya pemikiran ke situ dan banyak mengikuti tender yang diadakan PLN.

Sumber: www.law-justice.co
0
567
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan