- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai yang Nyaris Punah


TS
dewaagni
Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai yang Nyaris Punah
Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai yang Nyaris Punah
HERITAGE GIFFAR
SABTU, 24 SEPTEMBER 2016 03:00 AM 1280
SPORTOURISM-- Orang Mentawai mendiami empat pulau besar, yakni Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora. Mereka tinggal di hutan tropik yang lebat, yang belum pernah atau sudah sejak lama tidak ditebang manusia.
Dari deretan pegunungan yang membujur di tengah-tengah keempat pulau tadi, mengalirlah puluhan air sungai dengan derasnya. Jika kita lihat dari laut, maka kepulauan Mentawai seolah tak berpenghuni, karena hanya pantai kosong dan deretan pohon-pohon kelapa.

Kebanyakan warga Suku Mentawai tinggal di kampung-kampung. Kampung tersebut terletak di pinggir sungai di pedalaman, walau ada pula yang letaknya di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai lima wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu rumah adat yang besar atau Uma.
Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan megah. Panjang Uma mencapai hingga 25 meter dan lebarnya berkisar 10 meter. Kerangka Uma terbuat dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu.
Fungsi Uma sendiri sebagai balai pertemuan umum untuk upacara dan pesta adat bagi anggota-angotanya yang semuanya masih terikat hubungan kekerabatan menurut adat.
Masyarakat Mentawai masih amat tertutup sampai sekarang, adat istiadat juga masih menghiasi hidup orang. Pelanggaran adat tidak hanya menyebabkan seseorang akan dikucilkan, tapi juga akan dikenakan sanksi adat atau tulon. Mereka adalah cerminan orang-orang yang menjunjung tinggi adat-istiadat dari nenek moyang.
Agama Suku Mentawai
Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik, dan sebagian beragama Protestan, Islam, atau Bahai. Namun demikian, sebagaian penduduk Mentawai masih tetap memegang teguh religinya yang asli, yaitu Arat Sabulungan.
Arat berarti adat, Sa berarti seikat dan bulungan berarti daun. Disebut Sabulungan karena dalam setiap acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan Sang Maha Kuasa atau disebut sebagai Ulau Manua (Tuhan).
Pada dasarnya Sabulungan mengajarkan keseimbangan antara alam dan manusia. Kepercayaan itu mengajarkan bahwa manusia harus memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya.

Dalam kepercayaan suku Mentawai, daun atau lebih luasnya lagi pohon atau hutan merupakan tempat bersemayam bagi para dewa yang harus dihormati. Jika tidak, maka malapetakalah yang akan ditemui. Ada tiga dewa yang dihormati dalam ajaran Sabulungan. Pertama Tai Kalelu, yakni dewa hutan dan gunung. Pesta adat sebelum berburu selalu dipersembahkan kepada dewa ini.
Kedua adalah Tai Leubagat, yang merupakan dewa laut. Ketiga yaitu Tai Kamanua, yang merupakan dewa langit sang pemberi hujan dan kehidupan.
Dahulu Arat Sabulungan dijadikan sebagai norma dalam penentuan segala hubungan manusia dengan alam dan dalam hubungan batin dengan Tuhannya. Alam sangat dihormati oleh suku Mentawai, begitu juga dengan hewan. Mereka percaya bahwa semua itu ada pemiliknya yang mempunyai kekuatan yang sangat besar, yang jika diganggu akan mendatangkan bencana.
Rasa persaudaraan ketika masyarakat Mentawai masih menganut Arat tersebut sangatlah dekat. Bagi siapa saja yang melanggar Arat akan dijatuhi hukuman yang ditentukan dalam musyawarah Uma. Mereka berkeyakinan bahwa jika ada salah satu yang melanggar maka semua akan terkena dampaknya.
Kebudayaan yang punah
Seiring pengaruh yang masuk dari luar, baik di masa penjajahan atau setelah kemerdekaan Indonesia, Arat Sabulungan tidak bisa dilakukan lagi dalam bentuk formal. Arat Sabulungan dianggap sebagai kepercayaan yang sesat, bahkan segala atribut mereka dibakar dan dimusnahkan.
Padahal yang mereka sembah adalah pengusa langit dan bumi yang tidak kelihatan, yang di sejumlah agama disebut Tuhan. Saat pemerintah hanya menetapkan lima agama yang boleh dianut oleh masyarakat, akhirnya perlahan-lahan kepercayaan ini hilang.
Pada tahun 1950-an kehancuran Arat Sabulungan semakin menjadi karena gencarnya agama-agama masuk ke Mentawai. Pada mulanya masyarakat Mentawai menolak dengan keras bahkan melakukan perlawanan fisik dengan kedatangan agama tersebut. Mereka beranggapan bahwa mereka sudah mempunyai agama yang dijadikan pegangan hidup.
Beberapa penduduk ditangkap dan dipenjarakan untuk memaksa agar orang Mentawai meninggalkan Arat Sabulungan dan menganut agama yang masuk. Betapa suramnya masa itu, masyarakat ketakutan dalam menjalankan ritualnya karena tak ada belas kasihan bagi mereka yang menjalankan kepercayaannya. Pemaksaan itulah yang menghancurkan kepercayaan suku Mentawai, baik dari simbol maupun dari nilai luhur yang ada padanya.
Peradaban Mentawai dihancurleburkan oleh kepercayaan baru tersebut. Sayang sebenarnya, agama baru telah menghancurkan budaya dan kearifan lokal tersebut. Yang lebih mengerikan, generasi muda Mentawai yang kehilangan identitas akan keaslian suku mereka.
Beruntung Mentawai bagian Siberut masih gigih mempertahankan kepercayaan dan nilai itu. Mereka setengah mati mempertahankan Arat Sabulungan yang diyakininya. Namun, di Mentawai bagian selatan, seperti Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora, nilai luhur tradisi Arat Sabulungan telah menipis. [ ]
https://sportourism.id/heritage/arat...g-nyaris-punah
0
2.2K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan