Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
PLTU Batang, Proyek Ambisius Adaro di Bisnis Kelistrikan
 Kiprah pertama Adaro di bisnis listrik adalah pembangunan Pembangkit Lisrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 2x30 Megawatt untuk keperluan internal perusahaan. Lokasinya di mulut tambang PT Adaro Indonesia di Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pembangunannya selesai pada 2012. Proyek ini digarap anak usahanya, PT Makmur Sejahtera Wisesa. Sebagian besar listrik yang dihasilkan dimanfaatkan untuk kebutuhan internal perusahaan, sebagian kecil lainnya dipakai untuk penerangan jalan dan kebutuhan masyarakat sekitar yang disalurkan melalui PLN. Proses pembangunan PLTU ini relatif mulus.
Tak berhenti sampai di situ,  Adaro terus melakukan ekspansi di bisnis listrik. Hal ini sesuai dengan impian menjadi pemain utama di sektor kelistrikan. Untuk mewujudkan ambisi itu  mereka kemudian menggandeng Electric Power Development Co Ltd (J-Power) dan Itochu Corporation (Itochu) dari Jepang untuk membentuk sebuah konsorsium bernama PT Bhimasena Power Indonesia (BPI).
Adaro Power menguasai 34% saham BPI, sisanya 34% dan 32% masing-masing dimiliki J-Power dan Itochu. Konsorsium ini kemudian mengikuti tender pembangunan PLTU Batu bara terbesar se-Asia Tenggara berkapasitas 2x1.000 MW yang berlokasi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dengan nilai investasi US$4.2 miliar. Tujuan pembangunan PLTU adalah mengamankan pasokan listrik khususnya di Pulau Jawa.
Presiden Joko Widodo di PLTU Batang (foto: Kompas)
BPI pun dinyatakan menang tender. Penandatanganan kontrak penunjukan BPI sebagai pelaksana proyek dilakukan pada 6 Oktober 2011 di kantor Kementrian Koordinator Perekonomian di Jakarta,  dihadiri Menko Perekonomian pada waktu itu, Hatta Rajasa, Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, Direktur PLN Dahlan Iskan,  dan Komisaris Utama PT BPI, Andre J. Mamuaya.
[url=http://pltu%20batang/][color=#85ba41]PLTU Batang[/color][/url] merupakan proyek PLTU terbesar dalam sejarah PLN karena saat ini yang terbesar, ada di Paiton dan Tanjung Jati,  hanya berkapasitas 660 Megawatt. PLTU Batang juga merupakan proyek Independent Power Producer (IPP) pertama yang berhasil ditandatangani dengan skema Build-Operate-Transfer bermasa konsesi 25 tahun.
Proyek yang digadang menjadi showcase skema kerjasama pemerintah-swasta di era SBY ternyata mangkrak 4 tahun. Persoalan utamanya adalah pembebasan lahan.  
Tersendat
Sebenarnya pada 2011 Bupati Batang telah mengeluarkan surat izin pembangunan PLTU di atas lahan 226 hektar yang mencakup lebih dari 3 desa. Namun untuk bisa menggunakannya BPI harus membebaskan lahan milik warga terlebih dahulu. Persoalannya kemudian, menurut Adaro,  muncul banyak makelar tanah,  baik preman maupun tokoh masyarakat yang ingin mengeruk keuntungan. Akibatnya harga tanah melonjak puluhan kali lipat dari Rp.8.000 per m2 menjadi Rp.400.000 per m2. Selain itu ada pula warga yang tak sudi menjual tanahnya. Mereka bersikukuh ingin mempertahankan lahan pertaniannya sebagai sumber penghidupan. Hal yang wajar, tentunya.

Mega proyek lstrik,  lama mangkrak (foto: Nusantaranews)
Urusan pembebasan tanah yang berlarut-larut akhirnya menghambat pelaksanaan proyek yang semula ditargetkan rampung pada 2016. Target operasi akhirnya diundur sampai 2020. Pemenang tender dianggap belum juga memenuhi syarat pembiayaan. Akibatnya dana dari pemberi pinjaman pun tak kunjung cair. Sudah 4  kali tenggat waktu perpanjangan pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan komitmen pembiayaan (financial closing) dilakukan mulai 2012 sampai 2015. Gagalnya BPI memenuhi tenggat waktu financial closing karena masyarakat menolak memberikan lahannya. . 
Proyek  senilai $4,2 miliar ini mendapat pembiayaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) serta sindikasi perbankan internasional lainnya. JBIC terkenal ketat soal aturan dan tegas dalam memberikan dana pinjaman. Banyak yang mereka syaratkan dalam pencairan pinjaman. Semua perizinan, isi kontrak, status lahan, dan reputasi lahan akan diteliti dengan saksama sebelum komitmen pembiayaan (financial closing) disetujui. Mereka selalu menginginkan kepastian jika proyek tersebut jalan tanpa adanya gangguan. Saking telitinya,  sampai klausal kontrak akan dilihat kalimat per kalimat serta titik-komanya. Biasanya mereka juga punya konsultan khusus untuk menilai. Semua itu dilakukan demi memastikan bebas gangguan selama proyek berjalan; dengan begitu uangnya akan kembali.
Belum lagi urusan teknis seperti pemesanan bilier, generator, dan mesin peralatan untuk pembangkit lainnya. JBIC akan menghitung betul, misalnya,  apakah generator yang150 ton bisa diangkut dari pelabuhan sampai lokasi pembangkit listrik. Cukup kuatkah jalan di lintasan yang akan dilalui, itu pertanyaan kuncinya. Ribet, bukan? Sebab ituah financial closing memakan banyak waktu.
Pelanggaran HAM
Salah satu juga yang tak kalah penting untuk diperhatikan oleh perusahaan peminjam dana adalah pelanggaran HAM. Itu sebabnya JBIC mengutus 8 perwakilannya ke Kabupaten Batang pada 29 September 2015 untuk memastikan proses pembebasan tanah dilakukan dengan baik. Mereka pun kaget mendapatkan fakta bahwa ada juga cara tak manusiawi dilakukan saat pembebasan lahan.

Rakyat menolak PLTU Batang (foto: Aktual)
Para warga menceritakan bagaimana proses pembebasan lahan dilakukan mulai dari pemaksaan hingga penganiayaan. Ada dari mereka yang dipukul, diintimidasi,  bahkan dipenjara agar mau menjual tanahnya. Demikianpun,  pembebasan tanah rupanya tak kunjung selesai. Perusahaan hanya mampu membebaskan lahan 120 hektar dari total 226 hektar.
BPI akhirnya kewalahan dan mengaku tak sanggup menghadapi penolakan luar biasa dari warga setempat. Keluhan yang kerap disampaikan kepada pemerintah pada waktu itu pun tak kunjung bersolusi. Akhirnya BPI membuat pernyataan resmi ketidaksanggupannya memebebaskan lahan untuk PLTU; itu diumumkan pada 27 Juni 2014.
Intervensi Jokowi
Lalu terjadi pergantian pemerintahan. Presiden terpilih Joko Widodo-lah yang kemudian aktif berinisiatif mendorong percepatan pembangunan PLTU Batang,  sejak Januari 2015. Hal ini sejalan dengan program pemerintah menyediakan listrik 35.000 MW dalam 5 tahun ke depan yang bakal meningkatkan kontribusi pihak swasta secara signifikan, dalam hal ini Independent Power Producer (IPP). PLN sendiri tidak akan mampu melaksanakan seluruh program. Kontribusi swasta diharapkan akan bergerak dari 15% menjadi 32% pada 2019 dan 41% pada 2024. PLTU Batang dimasukkan ke daftar mega proyek pembangkit 35.000 MW.
Presiden kemudian memanggil Presiden Direktur PT Adaro Energy, Garibaldi Thohir, atau yang akrab disapa Boy Thohir. Pebisnis terkemuka itu pun memanfaatkan kesempatan ini untuk membeberkan bagaimana sulitnya membebaskan lahan di lokasi pembangunan pembangkit listrik tersebut.

Menentang 'PLTU Jahat' (foto: Metrosemarang)
Sebulan berselang ia dipanggil kembali ke Istana bersama rekannya dari Jepang. Dalam pertemuan itu Presiden menghadirkan sejumlah menteri dan pejabat terkait termasuk Kepala Bappenas, Menteri BUMN, dan Dirut PT PLN. Di hadapan tetamunya, Jokowi menelepon Menteri Agraria dan memberi instruksi agar urusan pembebasan lahan segera selesai. Sejak itu Boy setiap bulan bolak-balik ke Istana Negara untuk bertemu Presiden yang selalu menanyakan kemajuan PLTU Batang.
Sejak Februari 2015 tugas pembebasan tanah dialihkan ke PLN selaku perusahaan negara yang bisa menggunakan UU Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Tujuannya,  supaya misi itu bisa dilakukan lebih cepat.
Dengan menggunakan UU, masyarakat tak akan punya pilihan selain melepaskan lahannya dengan sukarela. Seperti halnya PLN, pemerintah juga aktif terlibat dalam pembebasan lahan. Lewat SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/35 tahun 2015 tentang “Persetujan penetapan lokasi pengadaan tanah sisa lahan seluas 125.146 m2 yang diperuntukkan bagi unit Induk Pembangunan VII PT PLN”.
Terbukti peran aktif Presiden berbuah positf. Hanya dalam tempo kurang dari setahun, tepatnya pada akhir 2015, seluruh proses pembebasan lahan yang menghambat proyek ini selesai; tinggal merampungkan komitmen pembiayaannya saja.
Saat berkunjung ke Jepang, Presiden Joko Widodo ditanyai PM Shinzo Abe soal perkembangan PLTU Batang. Jokowi mengatakan tugasnya, membebaskan tanah,  sudah beres. Ia balik  menagih janji kapan financial closingnya bisa diselesaikan.  Akhirnya pendandatangan kontrak pendanaan (financial closing)  terlaksana pada 9 Juni 2016. Pengerjaan proyek itu pun berlanjut.

Sumber: www.law-justice.co
0
2.4K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan