- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[One Short] Playland


TS
the.collega
[One Short] Playland
Quote:
![[One Short] Playland](https://s.kaskus.id/images/2018/03/10/2385673_20180310041115.jpg)
Quote:
Siang itu, saat matahari sedang senang-senangnya. Orang-orang berlalu-lalang nampak tidak memperdulikannya. Beberapa ada yang menggunakan masker untuk melindungi diri dari serangan udara jahat. Untungnya semua itu tidak dia alami, kebetulan dia bekerja di sebuah tempat penitipan anak. Penitipan anak yang bernama ‘With Smile Daycare’ ini berada di sebuah pusat perbelanjaan. Tujuannya jelas, agar orang tua di sini bisa berbelanja dengan ‘bebas’. Tampaknya kejam tetapi justru peluang ini yang diambil oleh pemilik tempat ini yang sayangnya bukan Justin, dia hanya seorang pegawai di sini.
Dengan setelan seragam yang berwarna cerah dengan rompi khas anak sekolahan dia mengenakannya siang ini, tugasnya mudah. Menjaga anak-anak berada dalam koridor yang benar, sedangkan pegawainya yang lain sibuk menemani anak-anak bermain. Sudah hampir setahun dia bekerja di sana, bukan karena ingin tetapi ketatnya dunia pekerjaan dan susahnya mendapat pekerjaan yang membuatnya terdampar di pekerjaan ini.
Tempat penitipan anak ini layak disebut tempat bermain, mereka mempunyai perosotan yang terbuat dari balon. Belum lagi kolam yang isinya beribu-ribu bola plastik, arena trampolin mini. Bahkan pasir lembut jika seorang anak ingin membuat kastil dari pasir. Belum lagi perpustakaan mini jika anak-anak lebih senang melihat buku bergambar. Kadang Justin bertanya-tanya, kenapa tidak sekalian dibuat taman bermain dibandingkan hanya tempat ‘penitipan anak’. Saat mengawasi sambil berpikir seperti itu sebuah bola terlempar kewajahnya.
“Aduh!” sebuah bola plastik mengenai belakang kepalanya, bola ini seharusnya berada di kolam. “kenapa bisa keluar?” Justin melongok sana-sini, dia tidak menemukan siapa atau penyebab bolanya bisa mengenai wajahnya. Lalu dia berjalan dan mengembalikan bola ini ketempat asalnya yaitu kolam bola.
Justin lalu mulai berkeliling, dia harus terus mengawasi. Pernah suatu ketika ada seorang anak yang sangking gembira membawa satu ember penuh dengan pasir keluar area lalu ember tersebut ditumpahkan ke lantai. Karena hal-hal di luar kendali seperti inilah peran Justin diperlukan. Dia berjalan santai hingga sebuah bola plastik mengenai wajahnya lagi.
“Ouch!” dengan cepat dia melihat kesampingnya, dia tidak melihatnya lagi lalu tarikan lembut dia rasakan dikaki sebelah kirinya. Ada seorang anak yang menarik-narik celananya dan di tangan satunya ada sebuah bola. Akhirnya Justin tahu siapa pelakunya, “ya…ada apa adik kecil?” Justin bertanya lembut kepada anak itu.
Anak kecil itu tidak berkata apa-apa, hanya menyodorkan bola plastik yang ada ditangannya. Lalu Justin mengambilnya namun anak kecil ini tidak memberikannya, cengkraman anak kecil diluar dugaannya.
“Ok…dik, berikan bolanya kepada kakak yah?” anak kecil itu dengan kekuatannya terus menahan agar bolanya tidak diambil oleh Justin. “baiklah…apa yang kamu inginkan?” Justin menyerah karena anak itu tidak mau melepas bolanya.
Anak kecil itu lalu menunjuk ke sebuah tempat, yaitu kolam bola. Justin menjelaskan bahwa dia akan menaruh bolanya ke sana. Anak kecil menggelengkan kepala dan malah menarik celana Justin sambil menunjuk ke area kolam bola.
“Kamu ingin kakak menemanimu bermain?” anak kecil itu mengangguk. Justin melihat rekannya yang lain siapa tahu ada yang bisa menemani anak kecil ini. “um…,” nampaknya semua rekannya sibuk. Dengan terpaksa dia menemani anak itu.
Kolam bolanya juga terbuat dari balon, ada anak tangga kecil untuk memasuki ke dalam kolam. Dalamnya tidak lebih dari penggaris 30 cm. semua sisinya dipasangi jaring halus agar bola-bolanya tidak berceceran keluar. Anak kecil itu langsung menceburkan diri ke kolam. Seakan-akan berenang dalam kolam penuh bola itu, anak kecil itu mengajak Justin ikut masuk.
Tangannya melambai-lambai, Justin pun menurutinya. Tapi dia hanya diam saja, tidak ada niatan untuk bermain bersama anak ini. Lalu raut anak kecil berubah menjadi marah. Dia mulai melempari Justin dengan bola.
“Aw…aw..iya…iya maaf. Ayo kita bermain bersama,” seketika lemparan bola dari anak kecil itu terhenti. “bagaimana?” anak kecil itu memperagakannya. Dia memperagakan gaya berenang. Justin mengikutinya. Ukuran kolam ini cukup luas sehingga Justin dapat menggerakan tangan dan kakinya dengan leluasa. Kebetulan kolam bola juga kebetulan kosong.
Anak kecil itu lalu tertawa melihat tingkah Justin yang seperti anak kecil, Justin lalu berhenti. Dan dia mulai tertawa. Dia baru merasakan hal seperti ini, kenikmatan saat berada di tempat kerja. Karena agak terpaksa, kadang raut muka Justin selalu murung. Walaupun terlihat sedang mengawasi tapi pikirannya berada di tempat lain. Mereka berdua lalu bermain bersama, melempar bola satu sama lain. ‘Berenang’ bersama dalam kolam. Justin lalu merebahkan tubuhnya, dirinya tenggelam dalam kolam bola itu. Yang terlihat hanya wajahnya saja. Tiba-tiba rekannya memanggil, dan Justin izin kepada anak kecil itu untuk menghampiri rekannya.
Rekannya yang memanggil bernama Marie, “Ya Marie, ada apa?” raut wajahnya masih senang.
“Tumben, hari ini kamu tampak sangat bahagia?” lalu Marie menjelaskan tujuannya. “oh iya, bisa tolong temani anak-anak di arena perpustakaan? Sebentar saja...” Marie beralasan perutnya mendadak sakit dan harus ke kamar mandi.
“Tentu saja,” menjawabnya dengan santai. “tapi setelah aku mengajak satu anak kecil di area kolam bola.”
“Anak kecil?” Marie tidak bisa menahannya lagi lalu pergi dengan cepat.
Justin kembali ke area kolam bola, dia melihat dari luar. Sosok anak kecil itu tidak ada, mungkin sedang bersembunyi dalam lautan bola. Justin masuk ke area kolam dan dengan kedua tangannya menyapu seisi kolam. Namun anak kecil itu tetap tidak ada. Karena tidak menemukan anak kecil ini Justin kembali ke area perpustakaan. Anak-anak di sini terlihat sedang melihat-lihat buku bergambar, Justin menceritakan buku itu dan anak-anak mulai menghampirinya.
Saat Marie kembali dia melihat anak-anak duduk dengan rapih mendengarkan Justin yang sedang bercerita. Marie pun kemudian menemani Justin dan ikut bercerita bersamanya. Tidak terasa satu persatu anak dijemput oleh orang tuanya. Lalu saat suasana sedang lengang Marie bertanya kepada Justin.
“Just, tadi kamu bilang anak kecil?”
“Iya, tadi aku menemani anak kecil itu bermain kolam bola. Dia sangat gembira.” Marie malah diam. “ada apa?”
“Sebetulnya, tadi aku melihat kamu bermain sendiri. Tidak ada orang lain selain dirimu di sana.” Perkataan Marie ini mengejutkannya.
Justin menjelaskan ciri-ciri fisik anak kecil ini, memakai sweater biru. Berambut coklat, usianya sekitar lima sampai tujuh tahun. Tapi Marie tetap pada pendiriannya, dia melihat Justin bermain sendirian. Justin terhenyak lalu keluar sebentar dari tempat kerjanya itu, jika bukan anak kecil lalu apa yang dia temani barusan? Pertanyaan itu muncul dibenak Justin. Suasana pusat perbelanjaan ini semakin ramai. Tiba-tiba diseberangnya dia melihat sosok anak kecil tadi, dia duduk di atas pembatas. Justin memintanya tuk turun karena sangat berbahaya, dia bahkan meneriakinya namun anehnya suaranya seperti tidak terdengar oleh orang-orang.
Orang-orang yang melewati anak kecil itu juga tampak acuh. Lalu anak kecil itu dengan menggunakan dua jemarinya mengangkat kedua ujung sisi bibirnya. Sehingga dia nampak tersenyum lebar. Perlahan Justin mulai tersenyum dan anak kecil itu terbang dan menghilang. Justin baru sadar mungkin anak kecil itu adalah malaikat yang mengingkatnya tuk selalu tersenyum dan bergembira di dalam tempat kerjanya. Justin masuk kembali ke tempat kerjanya, dengan senyum dan sikap yang lebih bahagia.
Dengan setelan seragam yang berwarna cerah dengan rompi khas anak sekolahan dia mengenakannya siang ini, tugasnya mudah. Menjaga anak-anak berada dalam koridor yang benar, sedangkan pegawainya yang lain sibuk menemani anak-anak bermain. Sudah hampir setahun dia bekerja di sana, bukan karena ingin tetapi ketatnya dunia pekerjaan dan susahnya mendapat pekerjaan yang membuatnya terdampar di pekerjaan ini.
Tempat penitipan anak ini layak disebut tempat bermain, mereka mempunyai perosotan yang terbuat dari balon. Belum lagi kolam yang isinya beribu-ribu bola plastik, arena trampolin mini. Bahkan pasir lembut jika seorang anak ingin membuat kastil dari pasir. Belum lagi perpustakaan mini jika anak-anak lebih senang melihat buku bergambar. Kadang Justin bertanya-tanya, kenapa tidak sekalian dibuat taman bermain dibandingkan hanya tempat ‘penitipan anak’. Saat mengawasi sambil berpikir seperti itu sebuah bola terlempar kewajahnya.
“Aduh!” sebuah bola plastik mengenai belakang kepalanya, bola ini seharusnya berada di kolam. “kenapa bisa keluar?” Justin melongok sana-sini, dia tidak menemukan siapa atau penyebab bolanya bisa mengenai wajahnya. Lalu dia berjalan dan mengembalikan bola ini ketempat asalnya yaitu kolam bola.
Justin lalu mulai berkeliling, dia harus terus mengawasi. Pernah suatu ketika ada seorang anak yang sangking gembira membawa satu ember penuh dengan pasir keluar area lalu ember tersebut ditumpahkan ke lantai. Karena hal-hal di luar kendali seperti inilah peran Justin diperlukan. Dia berjalan santai hingga sebuah bola plastik mengenai wajahnya lagi.
“Ouch!” dengan cepat dia melihat kesampingnya, dia tidak melihatnya lagi lalu tarikan lembut dia rasakan dikaki sebelah kirinya. Ada seorang anak yang menarik-narik celananya dan di tangan satunya ada sebuah bola. Akhirnya Justin tahu siapa pelakunya, “ya…ada apa adik kecil?” Justin bertanya lembut kepada anak itu.
Anak kecil itu tidak berkata apa-apa, hanya menyodorkan bola plastik yang ada ditangannya. Lalu Justin mengambilnya namun anak kecil ini tidak memberikannya, cengkraman anak kecil diluar dugaannya.
“Ok…dik, berikan bolanya kepada kakak yah?” anak kecil itu dengan kekuatannya terus menahan agar bolanya tidak diambil oleh Justin. “baiklah…apa yang kamu inginkan?” Justin menyerah karena anak itu tidak mau melepas bolanya.
Anak kecil itu lalu menunjuk ke sebuah tempat, yaitu kolam bola. Justin menjelaskan bahwa dia akan menaruh bolanya ke sana. Anak kecil menggelengkan kepala dan malah menarik celana Justin sambil menunjuk ke area kolam bola.
“Kamu ingin kakak menemanimu bermain?” anak kecil itu mengangguk. Justin melihat rekannya yang lain siapa tahu ada yang bisa menemani anak kecil ini. “um…,” nampaknya semua rekannya sibuk. Dengan terpaksa dia menemani anak itu.
Kolam bolanya juga terbuat dari balon, ada anak tangga kecil untuk memasuki ke dalam kolam. Dalamnya tidak lebih dari penggaris 30 cm. semua sisinya dipasangi jaring halus agar bola-bolanya tidak berceceran keluar. Anak kecil itu langsung menceburkan diri ke kolam. Seakan-akan berenang dalam kolam penuh bola itu, anak kecil itu mengajak Justin ikut masuk.
Tangannya melambai-lambai, Justin pun menurutinya. Tapi dia hanya diam saja, tidak ada niatan untuk bermain bersama anak ini. Lalu raut anak kecil berubah menjadi marah. Dia mulai melempari Justin dengan bola.
“Aw…aw..iya…iya maaf. Ayo kita bermain bersama,” seketika lemparan bola dari anak kecil itu terhenti. “bagaimana?” anak kecil itu memperagakannya. Dia memperagakan gaya berenang. Justin mengikutinya. Ukuran kolam ini cukup luas sehingga Justin dapat menggerakan tangan dan kakinya dengan leluasa. Kebetulan kolam bola juga kebetulan kosong.
Anak kecil itu lalu tertawa melihat tingkah Justin yang seperti anak kecil, Justin lalu berhenti. Dan dia mulai tertawa. Dia baru merasakan hal seperti ini, kenikmatan saat berada di tempat kerja. Karena agak terpaksa, kadang raut muka Justin selalu murung. Walaupun terlihat sedang mengawasi tapi pikirannya berada di tempat lain. Mereka berdua lalu bermain bersama, melempar bola satu sama lain. ‘Berenang’ bersama dalam kolam. Justin lalu merebahkan tubuhnya, dirinya tenggelam dalam kolam bola itu. Yang terlihat hanya wajahnya saja. Tiba-tiba rekannya memanggil, dan Justin izin kepada anak kecil itu untuk menghampiri rekannya.
Rekannya yang memanggil bernama Marie, “Ya Marie, ada apa?” raut wajahnya masih senang.
“Tumben, hari ini kamu tampak sangat bahagia?” lalu Marie menjelaskan tujuannya. “oh iya, bisa tolong temani anak-anak di arena perpustakaan? Sebentar saja...” Marie beralasan perutnya mendadak sakit dan harus ke kamar mandi.
“Tentu saja,” menjawabnya dengan santai. “tapi setelah aku mengajak satu anak kecil di area kolam bola.”
“Anak kecil?” Marie tidak bisa menahannya lagi lalu pergi dengan cepat.
Justin kembali ke area kolam bola, dia melihat dari luar. Sosok anak kecil itu tidak ada, mungkin sedang bersembunyi dalam lautan bola. Justin masuk ke area kolam dan dengan kedua tangannya menyapu seisi kolam. Namun anak kecil itu tetap tidak ada. Karena tidak menemukan anak kecil ini Justin kembali ke area perpustakaan. Anak-anak di sini terlihat sedang melihat-lihat buku bergambar, Justin menceritakan buku itu dan anak-anak mulai menghampirinya.
Saat Marie kembali dia melihat anak-anak duduk dengan rapih mendengarkan Justin yang sedang bercerita. Marie pun kemudian menemani Justin dan ikut bercerita bersamanya. Tidak terasa satu persatu anak dijemput oleh orang tuanya. Lalu saat suasana sedang lengang Marie bertanya kepada Justin.
“Just, tadi kamu bilang anak kecil?”
“Iya, tadi aku menemani anak kecil itu bermain kolam bola. Dia sangat gembira.” Marie malah diam. “ada apa?”
“Sebetulnya, tadi aku melihat kamu bermain sendiri. Tidak ada orang lain selain dirimu di sana.” Perkataan Marie ini mengejutkannya.
Justin menjelaskan ciri-ciri fisik anak kecil ini, memakai sweater biru. Berambut coklat, usianya sekitar lima sampai tujuh tahun. Tapi Marie tetap pada pendiriannya, dia melihat Justin bermain sendirian. Justin terhenyak lalu keluar sebentar dari tempat kerjanya itu, jika bukan anak kecil lalu apa yang dia temani barusan? Pertanyaan itu muncul dibenak Justin. Suasana pusat perbelanjaan ini semakin ramai. Tiba-tiba diseberangnya dia melihat sosok anak kecil tadi, dia duduk di atas pembatas. Justin memintanya tuk turun karena sangat berbahaya, dia bahkan meneriakinya namun anehnya suaranya seperti tidak terdengar oleh orang-orang.
Orang-orang yang melewati anak kecil itu juga tampak acuh. Lalu anak kecil itu dengan menggunakan dua jemarinya mengangkat kedua ujung sisi bibirnya. Sehingga dia nampak tersenyum lebar. Perlahan Justin mulai tersenyum dan anak kecil itu terbang dan menghilang. Justin baru sadar mungkin anak kecil itu adalah malaikat yang mengingkatnya tuk selalu tersenyum dan bergembira di dalam tempat kerjanya. Justin masuk kembali ke tempat kerjanya, dengan senyum dan sikap yang lebih bahagia.
Diubah oleh the.collega 10-03-2018 16:15


anasabila memberi reputasi
1
625
Kutip
0
Balasan


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan