Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Pemerintah Didesak Tinjau Ulang; Saatnya Nasionalisasi
Seolah tak pernah lelah,  Serikat Pekerja (SP) Jakarta International Container Terminal ([url=http://jict/][color=#85ba41]JICT[/color][/url]) kembali berseru. Mereka mendesak  agar perpanjangan kontrak pengelolaan korporasi itu oleh investor asing ditinjau kembali. Sejumlah kejanggalan dalam proses perpanjangan kontrak ini memang telah diungkap,  setidaknya oleh dua lembaga tinggi negara: DPR dan BPK.
“Parlemen dan pemerintah dibikin ribut. Solusinya, putus kontrak Hutchison. Berikan kesempatan ke asing menggarap pelabuhan lain saja. Kedaulatan pelabuhan menjadi hal yang tidak bisa ditawar,” demikian bunyi seruan SP JICT yang terima Law-justice.co Jumat (9/3).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lewat Pansus Pelindo II, menyatakan telah menemukan setidaknya empat persoalan besar di Pelindo, termasuk perpanjangan pengelolaan PT JICT. Perikatan itu  antara PT Pelindo II dengan perusahaan asal Hong Kong, Hutchison Port Holdings Limited (HPH).

Kesibukan keseharian di pelabuhan (foto: BUMN.co.id)
Panitia khusus (pansus) [url=http://pelindo%20ii/][color=#85ba41]Pelindo II [/color][/url]yang bekerja sejak 13 Oktober hingga 15 Desember 2015 hingga 15 Desember menyatakan  perpanjangan kontrak JICT telah melanggar UU Nomor 19/2003 yang mewajibkan setiap perusahaan memasukkan rencana (perpanjangan kontrak) dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggran Perusahaan (RKAP). Yang terjadi, rencana tersebut tidak pernah diinformasikan secara terbuka kepada pemangku kepentingan.
“Pansus Pelindo II mendapatkan fakta bahwa baik Menteri Negara BUMN maupun Direktur Utama Pelindo II telah bertindak dengan tidak memenuhi azas-azas umum pemerintahan yang baik,” demikian bunyi penggalan laporan Pansus Pelindo II, DPR.
Ironisnya, Dirut Pelindo saat itu [url=http://rj%20lino/][color=#85ba41]RJ Lino[/color][/url] menyangkal telah melakukan pelanggaran UU. Dalam laporan pantia angket DPR RI tentang Pelindo II yang disampaikan dalam Sidang Paripurna DPR Kamis (17/12/2015) disebutkan bahwa: Dirut Pelindo II, RJ Lino sendiri mengatakan tidak tahu harus tunduk ke UU yang mana. Yang terpenting, menurut dia, perpanjangan kontrak JICT secara de facto dan pembayaran telah terjadi, secara de jure, proses legal dilakukan belakangan.
Lino menganggap hal tersebut sebagai base practices dalam business to business. Sikap Lino bahkan didukung  oleh konsultan asing, Deutsche Bank, yang juga berperan sebagai kreditor. Meski jelas indikasi sikap Meneg BUMN dan Dirut Pelindo II merupakan perbuatan melawan hukum yang berlaku.
Aksi unjuk rasa pegawai JICT (foto: Harianterbit)
“Jadi sebenarnya  tidak ada alasan hukum yang [bisa] membenarkan kontrak dengan Hutchison diperpanjang. Melanjutkan kontrak dimaksud hanya akan memberi peluang Presiden masuk dalam ruang melawan hukum,” kata ekonom Ichsanuddin Noorsy.
Pada Desember 2017 Pansus Pelindo II juga mengeluarkan rekomendasi yang telah diserahkan ke pemerintah. Isinya? “Pansus sangat merekomendasikan pembatalan perpanjangan kontrak JICT 2015-2038 antara Pelindo II dan HPH karena terindikasi kuat telah merugikan negara dengan menguntungkan pihak asing serta telah terjadi strategic transfer pricing pada kontrak Pelindo II dan HPH 1999-2019 dan karenanya kontrak ini putus dengan sendirinya, tanpa perlu Indonesia membayar termination value. Kembalikan JICT ke pangkuan ibu pertiwi di tahun 2016, dengan pengelolaan yang berkiblat pada konstitusi negara kita sendiri, UUD 1945.”
Nyatanya hingga kini rekomendasi Pansus Pelindo II tak pernah dilaksanakan. Ini berarti ada pelanggaran UU MD3. Sehingga wajar jika Serikat Pekerja JICT terus menyerukan agar pemerintah meninjau  kembali perpanjangan kontrak pengelolaan JICT oleh investor asing demi sebuah kepatutan hukum. Meskipun mereka kerap menjadi sasaran kampanye hitam dan menerima intimidasi.
“Selama 19 tahun Hutchison menggarap JICT dengan pendapatan rata-rata 3-4 triliun rupiah per tahun dan jelas sangat berambisi memperpanjang kontraknya yang akan habis tahun 2019. Parlemen dan pemerintah dibikin ribut. Solusinya, putus kontrak Hutchison. Berikan kesempatan asing menggarap pelabuhan lain,” ujar Hazris saat menggelar doa bersama ratusan pekerja di gedung sekretariat JICT, Jakarta, Rabu (7/3/2018).

Kedamaian yang tercabik kemudian (foto: Okozone)
Selain itu menurut laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diterima Law-justice.co, penyimpangan yang dilakukan direksi terkait  perpanjangan kontrak pengelolaan JICT mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp. 4,08 triliun yang berasal dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerjasama pengelola dengan PT JICT.
“Jadi ini bukan xenophobia. Ini adalah investasi sebagai kejahatan keuangan untuk melakukan akumulasi modal. Itu wujud keserakahan total. Investasi yang seperti ini yang patut ditolak,” kata Ichsanuddin Noorsy.
Sementara itu para pekerja yang tergabung dalam Serikat Pekerja JICT menyatakan siap bila JICT dikembalikan pengelolaannya 100% ke Pelindo II.
Hazris menyatakan kedaulatan pelabuhan di suatu negara menjadi hal yang tidak bisa ditawar dan pemerintah harus konsisten. “Jadi, kalau memang JICT bagian dari Pelindo II dan negara ini, percayakanlah kepada putra putri bangsa. Pelindo III saja sudah nasionalisasi TPS Surabaya dari Dubai. Pekerja sangat konsisten memperjuangkan nasionalisasi JICT."

Sumber: www.law-justice.co
0
651
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan