Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

azizm795Avatar border
TS
azizm795
Harga Batu Bara Melaju tapi Pengusaha Justru Galau
 Ketika harga batu bara terus membaik pemerintah justru berancang-ancang mengeluarkan segera aturan membandrol komoditas itu dengan harga khusus, bukan harga pasar, terutama untuk jenis yang dibutuhkan sektor energi.
Sejak akhir tahun lalu harga batu bara menjalani reli panjang dan saat ini bertengger di atas US$ 100 per metrik ton. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Harga Batubara Acuan (HBA) pada Maret 2018 naik 1,16% dari HBA Februari 2018 yang US$ 101,86 per ton.
Namun kabar baik ini ternyata tidak membuat pengusaha senang. Kebanyakan mereka mengeluhkan pembatasan harga penjualan batu bara ke pasar dalam negeri yang diwajibkan pemerintah, atau Domestic Market Obligation (DMO). Menurut mereka harga itu seringkali tidak adil.

Kegiatan di pelabuhan batu bara (foto: Tambang.co.id)
Supply untuk dalam negeri itu [harganya]   dibandrol 85% dari HPB [Harga Patokan Batubara]. Kalau floor price sedang rendah apakah PLN mau membeli 15% lebih tinggi dari harga pasar? Belum tentu. Padahal mekanisme ini perlu agar kita tidak rugi dan bangkrut,” kata Supriatna Suhala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI).
PLN ingin harga batu bara DMO ditetapkan sebesar biaya produksi ditambah selisih  15-25% untuk produsen. Alasannya, pembangkit listrik membutuhkan bahan bakar yang harganya efisien dan terjamin agar dapat memproduksi listrik dengan tarif yang terjangkau masyarakat. Sebagai catatan,  60% pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero) bertenaga batu bara.
Sayang, usulan PLN telah ditolak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan.  "Saya tidak punya pandangan yang sama. Cost plus margin itu konsep usang, tidak mendorong efisiensi di kedua belah pihak. Kalau kayak gitu, nanti cost-nya dibikin tinggi," ujar dia saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (28/9).
Harga yang  cost plus margin, dalam pandangan dia, tidak mendorong produsen batu bara maupun PLN untuk efisien. Kalau ditetapkan seperti itu, produsen batu bara tidak akan berupaya menurunkan biaya produksi. Di sisi lain   PLN juga tak terdorong untuk memangkas biaya operasi.
Pemerintah tentu memiliki kepentingan mematok harga batu bara DMO sedemikian rupa agar pasokan batu bara di dalam negeri untuk pembangkit saja; dengan begitu tidak memengaruhi harga listrik.
Hingga saat ini belum ada titik temu skema acuan penetapan harga penjualan batu bara ke pasar dalam negeri. Yang pasti, kisruh penetapan batasan harga batu bara DMO ini telah memukul harga saham emiten produsen komoditas tersebut, terutama mereka yang porsi penjualan domestiknya tinggi. Soalnya penetapan harga di bawah harga pasar itu akan mengurangi potensi pendapatan para emiten.
Mengontrol PLN
Menuntut PLN membeli batubara mengikuti harga pasar yang fluktuatif, tentu sulit. Pemisahan harga jual untuk pasar domestik dan ekspor sudah benar karena itu berarti pemerintah secara rasional mengelola sumberdaya alam untuk kepentingan rakyat. Tinggal bagaimana merumuskan agar harga DMO benar-benar fair baik bagi pengusaha maupun PLN.

Truk raksasa (foto:Swa)
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo mengatakan pada dasarnya persoalan harga batu bara domestik terkait dengan visi jangka panjang, sehingga mestinya sudah ditetapkan di waktu yang jauh sebelum Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mendominasi bauran energi di Tanah Air. Apalagi kinerja PLN diawasi DPR.
PLN tidak bisa bekerja berdasarkan bisnis murni. Jadi, mereka tidak boleh menaikkan tarif listrik begitu saja mengikuti kenaikan harga batu bara. Setiap kenaikan tarif dasar listrik (TDL) harus mendapat persetujuan dari DPR dan diumumkan kepada masyarakat. Kebijakan kenaikan TDL harus terlebih dahulu dikonsultasikan dan mendapatkan persetujuan DPR. Artinya jika harga batu bara naik sementara tarif listrik tetap maka jumlah subsidi yang harus diberikan pun tentunya bertambah.
Seorang mantan pejabat yang kini mengurusi sektor batubara mengatakan subsidi sebenarnya kurang cocok diterapkan di negara dengan sistem demokrasi. Terjadinya distorsi harga antara pasar dalam negeri dan pasar global merupakan hasil kebijakan intervensi atas harga pasar.  Seharusnya subsidi bukan diminta dari swasta.
“Pemerintah kalau mau mebsubsidi rakyat ya jangan minta ke perusahaan. Biarkan pihak swasta beroperasi sesuai mekanisme pasar. Kalau pemerintah mau menolong rakyatnya, ya pemerintah ambil dana keluarkan dari pajak saja,” ujar dia.
Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas Alfred Nainggolan mengatakan, penetapan harga ini bisa berdampak negatif terhadap perusahaan batu bara yang menyuplai produk ke PLN, seperti Adaro Energy (ADRO), Indo Tambangraya Megah (ITMG), dan Bukit Asam (PTBA). "Margin laba mereka jadi turun karena saat ini harga batu bara di pasar spot sedang bagus," katanya  ke Kontan, Senin (26/2).
Pemerintah condong memenuhi keinginan PLN agar harga DMO ditetapkan di kisaran US$ 70 per ton. Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menilai  harga khusus untuk pembangkit listrik PLN masih jauh di bawah HBA. "Apalagi dibandingkan harga pasar internasional, harga batubara DMO adalah sesuatu yang baru," terangnya kepada Kontan,  Jumat (2/3).
Anomali
Indonesia merupakan salah satu produsen sekaligus eksportir  batu bara terbesar di dunia. Ini ciri negara yang industrialisasinya belum matang karena sesungguhnya komoditi ini prioritasnya untuk kebutuhan lokal. Artinya, ia baru diekspor setelah keperluan dalam negeri terpenuhi; jika kurang maka negara tersebut akan mengimpor dari negara produsen yang kelebihan produksi. Negara-negara yang industrinya berkembang pesat baru akan mengimpor manakala  pasokan batu bara domestiknya kurang.   Data menunjukan saat ini produk batu bara dunia  7,5 miliar ton tetapi yang diperdagangkan di pasar internasional hanya 950 juta ton; sisanya terserap untuk kebutuhan dalam negeri.

Tongkang (foto: Berita Satu)
Cina, misalnya, memproduksi sekitar 3,7 miliar ton sementara  kebutuhan dalam negerinya 4 milar ton. Jadi,  defisit 300 juta ton. Itulah yang mereka impor dari negara-negara seperti Indonesia. Demikian juga yang terjadi di India. Negara tersebut memproduksi 600 juta ton batu bara. Konsumsinya  750 juta ton. Defisit yang 150 juta ton ditutupinya dengan membeli dari negara-negara produsen. Amerika Serikat (AS) juga seperti itu. Negara adi daya tersebut memproduksi 950 juta ton. Dipakai di dalam negeri 850 juta. Kelebihan sekitar 100 juta mereka ekspor ke Jepang dan Eropa.
Di Indonesia keadaannya terbalik. Sepanjang tahun lalu, realisasi produksi batu bara nasional 461 juta ton. Sebanyak 364 juta ton diekspor, sementara sisanya yang 97 juta ton dipasok untuk dalam negeri. Pada tahun ini pemerintah membatasi produksi 485 juta ton, atau naik 5% dari realisasi produksi tahun lalu. Dengan jumlah tersebut DMO tahun ini bisa mencapai kisaran 121 juta ton.

Sumber: www.law-justice.co
0
1.3K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan