- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gubernur NTB Ajak Masyarakat Aceh Jaga Ulama


TS
ntapzzz
Gubernur NTB Ajak Masyarakat Aceh Jaga Ulama

Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr TGH Muhammad Zainul Majdi menyampaikan kuliah umum dengan tema "Kepemimpinan Ulama" di kampus UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Jumat (2/3). SERAMBI/HARI MAHARDHIKA
Quote:
BANDA ACEH - Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Zainul Majdi yang lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru Bajang (TGB) mengajak masyarakat Aceh untuk terus bersama-sama menjaga ulama. Terutama karena, menurutnya, ulama merupakan sumber ilmu pengetahuan dan sebagai penerang yang memiliki fungsi relaksasi sosial karena bisa menenangkan umat.
Demikian, antara lain, dikatakan TGB saat diwawancarai Serambi seusai ia memberikan kuliah umum bertema ‘Kepemimpinan Ulama’ di Auditorium Ali Hasjmy, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Jumat (2/3).
TGB datang ke Aceh kemarin dalam rangkaian safari dakwahnya yang difasilitasi oleh Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh. Ia akan berada di Aceh hingga Minggu (4/3).
“Kewajiban kita semua untuk menjaga para ulama, karena para ulama itu sumber ilmu pengetahuan, tidak ada masyarakat bisa maju kecuali sumber ilmu pengetahuan itu dilindungi dan dijaga,” kata Tuan Guru Bajang kepada Serambi.
Selain itu, katanya, ulama adalah katup pengaman terhadap kohesivitas sosial, karena ulama cenderung menyerukan kepada hal baik, soal kedamaian, keamanan, dan saling memaafkan. Bahkan, ulama kerap menjadi tempat mengadu bagi sebagian orang tatkala dirundung suatu masalah. “Saat seseorang sudah begitu tertekan, lalu mendengar petuah ulama, maka masalah akan hilang. Itu tadi, ulama memiliki fungsi relaksasi sosial,” katanya.
Ditanya lebih lanjut, bagaimana dengan para ulama yang mulai berafiliasi ke jalur politik tertentu, TGB menjawab itu tidak ada persoalan, karena politik itu bukanlah wadah yang buruk. “Politik wadah yang netral, bergantung apa isi di dalamnya. Diisi racun, matilah kalau kita minum. Diisi air zamzam, ya segar dan sehat kita. Menurut saya, politik itu wadah pengabdian,” tukas TGB.
Sebelumnya, dalam sesi kuliah umum, TGB juga berbicara banyak soal kepemimpinan ulama, termasuk dinamika saat ini, terkait isu politik, nasional, keislaman, dan isu ulama beserta pengaruhnya dalam politik di Indonesia.
TGB mengatakan, dulu saat NKRI belum terbentuk, di bawah nama Nusantara, masyarakat Indonesia dikenal kuat nilai-nilai keagamaan atau keislamannya. Hal itu pula, katanya, yang membuat penjajah tak bisa langsung melumpuhkan para pahlawan Indonesia yang berada di garda terdepan untuk menyelamatkan Tanah Air ini. Akhirnya, cara utama yang dilakukan para penjajah adalah dengan melumpuhkan kelompok-kelompok keagamaan dengan berbagai persepsi.
“Meniupkan persepsi bahwa para ahli agama tidak layak memimpin, hanya mereka para penjajahlah yang pas untuk memerintah. Ketika umat mulai berhimpun untuk membangun kekuatan politik dan membangun kekompakan umat dengan satu tujuan, para penjajah mencoba menghancurkannya,” ujar TGB.
Jadi, katanya, jika saat ini ada persepsi bahwa antara agama dan politik harus dipisahkan, antara ulama dengan kepemimpinan pemerintah harus dibatasi, itu adalah bagian dari warisan persepsi para penjajah. “Jangan kita tunduk pada persepsi atau anggapan yang dibangun itu. Kalau kita mau ikuti anggapan, mari kita ikuti anggapan diri kita, anggapan yang memang kebutuhan dan hajat kita sebagai bangsa,” sebutnya.
Hal penting lainnya yang disampaikan TGB dalam kuliah umum kemarin adalah masyrakat Acehatau generasi muda Aceh harus sadar bahwa mewarisi nilai-nilai keislaman, kepahlawanan, dan nasionalisme tinggi dari para penduhulu. “Anda-anda ini mewarisi cara berjuang para pendahulu, mereka menggabungkan nilai-nilai kebaikan sehingga kemudian diakui sebagai pahlawan,” katanya.
TGB juga mengingatkan para generasi muda Aceh untuk tidak larut dalam pola pikir orang-orang yang mempertentangkan nasionalisme dan keislaman, keacehan dengan keindonesiaan, keacehan dan keislaman. “Semuanya bisa hidup dalam satu raga, satu napas. Saling bersinergi itulah yang membentuk ketangguhan dan kepahlawanan para pejuang Aceh dahulu,” ujar TGB.
Aceh, lanjut TGB, adalah salah satu provinsi yang sepatutnya menjadi contoh bagi provinsi lain di Indonesia, termasuk provinsi yang ia pimpin (NTB). Aceh adalah contoh hidup dari resiliensi atau kemampuan beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit sekalipun. “Setelah diguncang bencana hebat, konflik, dan hal lainnya, ternyata masyarakat Aceh berhasil ke luar dengan lebih kokoh, dan ini tentu saja jadi pelajaran bagi siapa pun,” pungkasnya.
Kedatangan TGB ke UIN Ar-Raniry kemarin disambut Wakil Rektor III, Prof Dr Syamsul Rijal MAg, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr Khairuddin MAg, para dosen, dan ribuan mahasiswa UIN Ar-Raniry. Hadir mendampingi TGB, Ketua IKAT Aceh, Tgk HM Fadhil Rahmi Lc.Sumber
Demikian, antara lain, dikatakan TGB saat diwawancarai Serambi seusai ia memberikan kuliah umum bertema ‘Kepemimpinan Ulama’ di Auditorium Ali Hasjmy, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Jumat (2/3).
TGB datang ke Aceh kemarin dalam rangkaian safari dakwahnya yang difasilitasi oleh Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh. Ia akan berada di Aceh hingga Minggu (4/3).
“Kewajiban kita semua untuk menjaga para ulama, karena para ulama itu sumber ilmu pengetahuan, tidak ada masyarakat bisa maju kecuali sumber ilmu pengetahuan itu dilindungi dan dijaga,” kata Tuan Guru Bajang kepada Serambi.
Selain itu, katanya, ulama adalah katup pengaman terhadap kohesivitas sosial, karena ulama cenderung menyerukan kepada hal baik, soal kedamaian, keamanan, dan saling memaafkan. Bahkan, ulama kerap menjadi tempat mengadu bagi sebagian orang tatkala dirundung suatu masalah. “Saat seseorang sudah begitu tertekan, lalu mendengar petuah ulama, maka masalah akan hilang. Itu tadi, ulama memiliki fungsi relaksasi sosial,” katanya.
Ditanya lebih lanjut, bagaimana dengan para ulama yang mulai berafiliasi ke jalur politik tertentu, TGB menjawab itu tidak ada persoalan, karena politik itu bukanlah wadah yang buruk. “Politik wadah yang netral, bergantung apa isi di dalamnya. Diisi racun, matilah kalau kita minum. Diisi air zamzam, ya segar dan sehat kita. Menurut saya, politik itu wadah pengabdian,” tukas TGB.
Sebelumnya, dalam sesi kuliah umum, TGB juga berbicara banyak soal kepemimpinan ulama, termasuk dinamika saat ini, terkait isu politik, nasional, keislaman, dan isu ulama beserta pengaruhnya dalam politik di Indonesia.
TGB mengatakan, dulu saat NKRI belum terbentuk, di bawah nama Nusantara, masyarakat Indonesia dikenal kuat nilai-nilai keagamaan atau keislamannya. Hal itu pula, katanya, yang membuat penjajah tak bisa langsung melumpuhkan para pahlawan Indonesia yang berada di garda terdepan untuk menyelamatkan Tanah Air ini. Akhirnya, cara utama yang dilakukan para penjajah adalah dengan melumpuhkan kelompok-kelompok keagamaan dengan berbagai persepsi.
“Meniupkan persepsi bahwa para ahli agama tidak layak memimpin, hanya mereka para penjajahlah yang pas untuk memerintah. Ketika umat mulai berhimpun untuk membangun kekuatan politik dan membangun kekompakan umat dengan satu tujuan, para penjajah mencoba menghancurkannya,” ujar TGB.
Jadi, katanya, jika saat ini ada persepsi bahwa antara agama dan politik harus dipisahkan, antara ulama dengan kepemimpinan pemerintah harus dibatasi, itu adalah bagian dari warisan persepsi para penjajah. “Jangan kita tunduk pada persepsi atau anggapan yang dibangun itu. Kalau kita mau ikuti anggapan, mari kita ikuti anggapan diri kita, anggapan yang memang kebutuhan dan hajat kita sebagai bangsa,” sebutnya.
Hal penting lainnya yang disampaikan TGB dalam kuliah umum kemarin adalah masyrakat Acehatau generasi muda Aceh harus sadar bahwa mewarisi nilai-nilai keislaman, kepahlawanan, dan nasionalisme tinggi dari para penduhulu. “Anda-anda ini mewarisi cara berjuang para pendahulu, mereka menggabungkan nilai-nilai kebaikan sehingga kemudian diakui sebagai pahlawan,” katanya.
TGB juga mengingatkan para generasi muda Aceh untuk tidak larut dalam pola pikir orang-orang yang mempertentangkan nasionalisme dan keislaman, keacehan dengan keindonesiaan, keacehan dan keislaman. “Semuanya bisa hidup dalam satu raga, satu napas. Saling bersinergi itulah yang membentuk ketangguhan dan kepahlawanan para pejuang Aceh dahulu,” ujar TGB.
Aceh, lanjut TGB, adalah salah satu provinsi yang sepatutnya menjadi contoh bagi provinsi lain di Indonesia, termasuk provinsi yang ia pimpin (NTB). Aceh adalah contoh hidup dari resiliensi atau kemampuan beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit sekalipun. “Setelah diguncang bencana hebat, konflik, dan hal lainnya, ternyata masyarakat Aceh berhasil ke luar dengan lebih kokoh, dan ini tentu saja jadi pelajaran bagi siapa pun,” pungkasnya.
Kedatangan TGB ke UIN Ar-Raniry kemarin disambut Wakil Rektor III, Prof Dr Syamsul Rijal MAg, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr Khairuddin MAg, para dosen, dan ribuan mahasiswa UIN Ar-Raniry. Hadir mendampingi TGB, Ketua IKAT Aceh, Tgk HM Fadhil Rahmi Lc.Sumber
TGB.ID#TGBuntukIndonesia

Diubah oleh ntapzzz 03-03-2018 09:36
0
988
Kutip
10
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan