- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sukses yang Memudar di Pinggiran Kota Garut


TS
nitadanie
Sukses yang Memudar di Pinggiran Kota Garut

Assalamualaikum wrwb.
Selamat datang di Thread saya yang baik hati ini.
Gan dan Sista,
Perkenalkan saya Nita. Ibu saya asli Padang, Bapak saya Asli Garut.
Saya lahir, tinggal dan dibesarkan disebuah desa, namanya ds.sukaraja, Kecamatan Banyuresmi, Garut, jawa barat. Desa yang letaknya di antara bukit-bukit perkebunan. Tanahnya subur banget gansis. Menanam tumbuhan apa aja bakalan selalu tumbuh.
saya tidak akan menceritakan bagaimana sukses yang ideal di kota saya, atau sukses yang seperti apa yang jadi tolak ukur di kota saya.
Disini saya mau cerita tentang arti sukses yang saya lihat, saya dengar dan saya rasakan berdasarkan fakta yang ada di desa saya yang tercinta ini dari jaman kakek saya, orang tua saya, sampe jaman saya sendiri.
Dalam kamus besar bahasa indonesia, sukses diartikan sebagai keberhasilan atau beruntung.
Sukses juga bisa memiliki banyak definisi tergantung setiap pandangan manusia. Bagi saya sendiri, sukses itu artinya berhasil mencapai suatu tujuan yang sudah direncanakan.
Lalu, apa yang terjadi ketika kita sudah sukses mencapai tujuan itu?
Kita pasti akan mempunyai tujuan selanjutnya.
Selama kita hidup, tujuan pasti akan selalu ada bukan? Jadi menurut saya sukses itu nggak ada ujungnya selama kita masih bernyawa dan waras pastinya. hehe
Quote:
Sukses di jaman Kakek Saya.

Menurut cerita dari kakek saya, desa ini dulunya mirip seperti hutan. Belum banyak pemukiman dan Penduduknya juga belum sebanyak sekarang. Orang yang terbilang sukses saat itu pun masih sangat sedikit.
Yang disebut sukses jaman itu, adalah orang yang punya lahan pertanian banyak, rumahnya gedong (bangunan semen). Soalnya jaman dulu rumah warga di desa saya rata-rata bilik (dari anyaman bambu), mereka menjadi tempat bernaung bagi Warga sekitar untuk mencari nafkah dengan menjadi buruh di lahan ‘orang yg sudah sukses’ itu.
Bayaran yang diterima sebagai seorang buruh yaitu hanya dikasih beras 2 cangkir per hari dan uang Rp. 200,-.
Warga di desa saya, adalah warga yang suka bekerja keras, dan tentu semua pasti mempunyai tujuan yang jelas dari setiap langkah yang di ambil. Hasil dari bekerja sebagai buruh, tak hanya di gunakan untuk makan. Tapi juga di tabung untuk membeli lahan pertanian. Berharap supaya keseluruhan dari hasil dari keringat masuk ke kantong sendiri.
(sayaberfikir, dari uang ratusan rupiah bisa jadi lahan. Emezing banget lah)

Bagaimana dengan pendidikan?
waktu itu didesa saya hanya ada sekolah SR (sekolah Rakyat). Itu pun masih banyak yang putus sekolah GanSis. Yang tamat SR pun kalo lanjut ke smp, mereka mesti pergi ke kota, dengan berjalan kaki sekitar 3 kilo meter. Selain itu, biaya untuk lanjut ke smp terbilang mahal disamping penghasilan warga didesa saya yang buat makan aja susah. sehingga para orang tua memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya ke SMP.
Jadi sudah nggak aneh kalo waktu itu anak perempuan ketika tamat SD sudah dinikahkan. Dan anak laki-laki tidak jauh berbeda dari nasib orang tuanya. Yaitu menjadi buruh.
“meski lambat seperti siput, tapi siput tak pernah mundur” .begitu kakek saya bilang saat dia cerita. Lambat laun perekonomian warga di desa saya meningkat. Hampir semua warga sudah memiliki lahan sendiri. Jika sudah punya lahan sendiri, meskipun nggak punya uang setidaknya mereka tak pernah kelaparan. Anak yang nggak tamat SD pun sudah jarang. Minimal ijazah SD mah udah punya lah.
hehe
jadi sukses di generasi kakek saya adalah ketika sebuah keluarga sudah mempunyai lahan sendiri untuk bertani, anak-anak mereka disekolahkan, dan mempunyai rumah sendiri untuk yang baru berumah tangga (alias nggak numpang di rumah mertua)

sumber foto https://harimauberekorbabi.wordpress.com
Menurut cerita dari kakek saya, desa ini dulunya mirip seperti hutan. Belum banyak pemukiman dan Penduduknya juga belum sebanyak sekarang. Orang yang terbilang sukses saat itu pun masih sangat sedikit.
Yang disebut sukses jaman itu, adalah orang yang punya lahan pertanian banyak, rumahnya gedong (bangunan semen). Soalnya jaman dulu rumah warga di desa saya rata-rata bilik (dari anyaman bambu), mereka menjadi tempat bernaung bagi Warga sekitar untuk mencari nafkah dengan menjadi buruh di lahan ‘orang yg sudah sukses’ itu.
Bayaran yang diterima sebagai seorang buruh yaitu hanya dikasih beras 2 cangkir per hari dan uang Rp. 200,-.
Warga di desa saya, adalah warga yang suka bekerja keras, dan tentu semua pasti mempunyai tujuan yang jelas dari setiap langkah yang di ambil. Hasil dari bekerja sebagai buruh, tak hanya di gunakan untuk makan. Tapi juga di tabung untuk membeli lahan pertanian. Berharap supaya keseluruhan dari hasil dari keringat masuk ke kantong sendiri.
(sayaberfikir, dari uang ratusan rupiah bisa jadi lahan. Emezing banget lah)

Bagaimana dengan pendidikan?
waktu itu didesa saya hanya ada sekolah SR (sekolah Rakyat). Itu pun masih banyak yang putus sekolah GanSis. Yang tamat SR pun kalo lanjut ke smp, mereka mesti pergi ke kota, dengan berjalan kaki sekitar 3 kilo meter. Selain itu, biaya untuk lanjut ke smp terbilang mahal disamping penghasilan warga didesa saya yang buat makan aja susah. sehingga para orang tua memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya ke SMP.
Jadi sudah nggak aneh kalo waktu itu anak perempuan ketika tamat SD sudah dinikahkan. Dan anak laki-laki tidak jauh berbeda dari nasib orang tuanya. Yaitu menjadi buruh.
“meski lambat seperti siput, tapi siput tak pernah mundur” .begitu kakek saya bilang saat dia cerita. Lambat laun perekonomian warga di desa saya meningkat. Hampir semua warga sudah memiliki lahan sendiri. Jika sudah punya lahan sendiri, meskipun nggak punya uang setidaknya mereka tak pernah kelaparan. Anak yang nggak tamat SD pun sudah jarang. Minimal ijazah SD mah udah punya lah.

jadi sukses di generasi kakek saya adalah ketika sebuah keluarga sudah mempunyai lahan sendiri untuk bertani, anak-anak mereka disekolahkan, dan mempunyai rumah sendiri untuk yang baru berumah tangga (alias nggak numpang di rumah mertua)
Quote:
Itu jaman kakek saya Gansis.
lalu gimana sukses dijaman orang tua saya waktu masih muda?

Berkat kerja keras para kakek dan para buyut didesa saya, para orang tua sudah lumayan hidup enak. Terbebas dari buta huruf, dan memiliki pendidikan yang lumayan, meski rata-rata cuma sampai SMP. ke depanya mereka cuma tinggal melanjutkan bertani di lahan warisan kakek dan buyut. Ada juga yang menikah dengan warga dari desa lain, sehingga profesi baru mulai bermunculan di desa saya. Mulai dari pekerja bengkel, pekerja bangunan, supir truk, pedagang terus apa lagi ya, pokonya mulai tercampur dan banyak kemajuan.. wkwkw.
Alhamdulillah juga waktu itu orang-orang yang kuliah keluar kota, setelah lulus kembali desa dengan membawa banyak perubahan dan kemajuan. Sudah ada yang menjadi bidan, guru, kepala sekolah, perawat,ada juga yang bekerja menjadi pegawai desa kemudian di angkat menjadi PNS. Berkat kepintaran orang-orang itu juga desa saya mendapatkan banyak bantuan dari pemerintah, seperti pengecoran jalan, pembuatan saluran air bersih dari gunung, serta pembuatan drainase. Yah pokonya kampung saya saat itu banyak berubah.
Bukan hanya itu aja GanSis, para petani di desa saya juga memiliki lebih banyak pilihan untuk menentukan kemana mereka akan menjual hasil panen. Karena sebelumnya mereka hanya menjual pada satu bandar. Waktu itu para petani sudah bisa mengirim barangnya langsung ke kota, seperti ke daerah bandung, bekasi, dan cibitung. Dengan bantuan truk milik seorang petani yang sudah sangat sukses di desa saya.
Pengiriman hasil panen ke kota, membuat desa saya semakin terbuka dan memiliki banyak relasi ke daerah luar. Sehingga jalan untuk mencari pekerjaan ke kota terbuka lebar untuk pemuda-pemuda di desa saya. kebanyakan sih mereka bekerja di pasar sebagai penjaga lapak, jualan rokok asongan, atau langsung mencoba berdikari membuka lapak sendiri. (btw, setelah bapak saya lulus sd, doi langsung merantau ke bekasi menjadi pedagang rokok asongan di pasar).
Dengan gigih, para pemuda tersebut mengumpulkan banyak uang, dan kembali ke desa untuk membeli tanah dan mobil atau membuka usaha sendirii. Banyak juga pemuda yang kemudian sukses di kota memiliki lapak sendiri dan menetap disana.
Saat itu yang di pandang sukses adalah orang-orang yang sudah punya banyak tanah, memiliki mobil, dan mempunyai usaha sendiri serta bergelar haji Gansis.
(mendengar cerita dari bapak saya, saya jadi sangat bersyukur hidup di jaman sekarang

)
lalu gimana sukses dijaman orang tua saya waktu masih muda?

sumber foto : hape ane
Berkat kerja keras para kakek dan para buyut didesa saya, para orang tua sudah lumayan hidup enak. Terbebas dari buta huruf, dan memiliki pendidikan yang lumayan, meski rata-rata cuma sampai SMP. ke depanya mereka cuma tinggal melanjutkan bertani di lahan warisan kakek dan buyut. Ada juga yang menikah dengan warga dari desa lain, sehingga profesi baru mulai bermunculan di desa saya. Mulai dari pekerja bengkel, pekerja bangunan, supir truk, pedagang terus apa lagi ya, pokonya mulai tercampur dan banyak kemajuan.. wkwkw.
Alhamdulillah juga waktu itu orang-orang yang kuliah keluar kota, setelah lulus kembali desa dengan membawa banyak perubahan dan kemajuan. Sudah ada yang menjadi bidan, guru, kepala sekolah, perawat,ada juga yang bekerja menjadi pegawai desa kemudian di angkat menjadi PNS. Berkat kepintaran orang-orang itu juga desa saya mendapatkan banyak bantuan dari pemerintah, seperti pengecoran jalan, pembuatan saluran air bersih dari gunung, serta pembuatan drainase. Yah pokonya kampung saya saat itu banyak berubah.
Bukan hanya itu aja GanSis, para petani di desa saya juga memiliki lebih banyak pilihan untuk menentukan kemana mereka akan menjual hasil panen. Karena sebelumnya mereka hanya menjual pada satu bandar. Waktu itu para petani sudah bisa mengirim barangnya langsung ke kota, seperti ke daerah bandung, bekasi, dan cibitung. Dengan bantuan truk milik seorang petani yang sudah sangat sukses di desa saya.
Pengiriman hasil panen ke kota, membuat desa saya semakin terbuka dan memiliki banyak relasi ke daerah luar. Sehingga jalan untuk mencari pekerjaan ke kota terbuka lebar untuk pemuda-pemuda di desa saya. kebanyakan sih mereka bekerja di pasar sebagai penjaga lapak, jualan rokok asongan, atau langsung mencoba berdikari membuka lapak sendiri. (btw, setelah bapak saya lulus sd, doi langsung merantau ke bekasi menjadi pedagang rokok asongan di pasar).
Dengan gigih, para pemuda tersebut mengumpulkan banyak uang, dan kembali ke desa untuk membeli tanah dan mobil atau membuka usaha sendirii. Banyak juga pemuda yang kemudian sukses di kota memiliki lapak sendiri dan menetap disana.
Saat itu yang di pandang sukses adalah orang-orang yang sudah punya banyak tanah, memiliki mobil, dan mempunyai usaha sendiri serta bergelar haji Gansis.

(mendengar cerita dari bapak saya, saya jadi sangat bersyukur hidup di jaman sekarang




Quote:
Sukses di jaman saya waktu masih sekolah 

GanSis,
(saya jd teringat jaman waktu saya masih kecil banget. pas saya di ajak ke PLN buat bayar listrik. Di loket pembayaran ada tulisan “KASIR” Bapak saya bilang.
“Kalo bisa mah nanti udah gede jadi kasir aja ya kerja nya enak di bagian keuangan, pasti gajinya gede”)
mungkin saat itu di mata bapak saya jadi kasir adalah kerjaan yang sangat membanggakan gan sis hehehe
Setiap orang tua selalu ingin nasib anak nya lebih baik dari mereka. Jaman saya masih kecil orang tua Saya selalu bilang, “jangan jadi petani kaya bapak, Jadi petani itu capek, mesti panas-panasan di kebun, nyabutin rumput, nyangkul tanah, mesti kotor-kotoran. Penghasilan juga bergantung sama musim dan keberuntungan”
Kayaknya bukan hanya orang tua saya aja yang bilang seperti itu ke anaknya. Mungkin orang tua yang lain pun memliki harapan yang sama untuk anaknya.
Kadang saya suka berfikir, apa yang salah dengan jadi petani? Apa yang salah dengan kotor-kotoran?. Ya mungkin yang salah emang penghasilanya nggak sebesar orang yang gajinya UMR per bulan. Tapi kenapa jangan jadi petani? Semua orang mencari uang bukanya untuk makan? Untuk beli rumah juga kan?
Yang saya rasakan juga, Jadi petani itu nggak pernah kelaparan, nggak susah tidur, saya nggak pernah merasa bahwa hidup saya kurang dengan bapak seorang petani. Ya tapi mau gimana lagi, waktu itu saya sudah terdoktrin untuk tidak menjadi seorang petani juga seperti nenek dan bapak saya. hehe
...
Dalam beberapa tahun, desa saya berkembang sangat pesat. karena pemikiran warga mulai banyak terbuka dengan pendidikan. Yayasan tempat saya belajar ngaji mulai berkembang mendirikan MTs dan MA, sehingga anak-anak di desa saya hampir semuanya lanjut sekolah. Meskipun masih ada beberapa teman SD dan SMP saya di nikahkan saat masih sekolah. (emang jodohnya deket sih, hehe
)
***
Setiap manusia pasti punya cita-cita. ketika tujuan atau cita-cita itu tercapai, barulah di sebut sukses bukan? . Tak terkecuali saya
. Dulu saya memiliki cita-cita yang sering bergonta-ganti. Hehe 
bukanya saya plin-plan, dulu saya hanya terbawa arus dari film-film yang saya tonton. Mulai dari pengen jadi cewek kantoran, guru tk, polwan, terus apa lagi ya, sampe saya lupa sangking sering nya berubah.
Saya jadi inget saat saya SMp, waktu itu saya dan teman-teman sekelas dikasih tugas menulis tentang cita-cita oleh guru BK. Saat itu saya menulis bahwa saya ingin jadi seorang ibu rumah tangga saja. Teman-teman saya ada yang ingin jadi pegawai pabrik, ada yang ingin jadi penyanyi dangdut, ada yang ingin jadi guru, ada juga yang ingin jadi profesor (ini cita-citanya si peringkat 1 pastinya). Tapi kebanyakan teman-teman saya memilih untuk menjadi pegawai pabrik. Dan mungkin itulah pandangan sukses menurut sebagian besar teman sekelas saya saat itu.
Loh, kok pegawai pabrik disebut cita-cita?
Jadi gini Gan Sis, jaman saya sekolah dulu, anak-anak di desa saya belum begitu banyak tahu tentang hal-hal yang ada di luaran sana. Internet belum masuk, saluran tv masih terbatas. Facebook pun belum ada yang punya. Pembelajaran TIK disekolah juga masih sekedar teori jadi nggak tau yang namanya google atau yutub.
Di daerah sini, orang-orang yang tidak memilih utuk menjadi petani bekerja sebagai buruh pabrik di daerah bandung. Sehingga yang menjadi contoh sukses saat itu adalah orang-orang yang sudah bekerja di pabrik. Orang-orang yang sudah bisa nyicil motor juga alat elektronik lainya, yang dandananya pun sudah kekota-kotaan gitu.
Di tambah lagi sekarang di dekat desa saya sudah dibangun pabrik yang sangat besar. Butuh tenaga kerja baru setiap bulanya. Sehingga hampir tidak ada pengangguran di desa saya sekarang.
Yang saya sayangkan adalah pabrik tersebut di bangun diatas lahan pertanian warga desa saya, yang dulunya adalah ladang. Saya selalu bertanya-tanya, kenapa ladangnya mesti di jual untuk di bangun pabrik ? dan membiarkan anak cucunya bekerja sebagai buruh pabrik?
Hal itu membuat saya berfikir lagi, kenapa nggak ada yang bercita-cita menjadi petani? Apakah petani tidak masuk kedalam jajaran orang sukses? ...


sumber gambar : otosia.com
GanSis,
(saya jd teringat jaman waktu saya masih kecil banget. pas saya di ajak ke PLN buat bayar listrik. Di loket pembayaran ada tulisan “KASIR” Bapak saya bilang.
“Kalo bisa mah nanti udah gede jadi kasir aja ya kerja nya enak di bagian keuangan, pasti gajinya gede”)

mungkin saat itu di mata bapak saya jadi kasir adalah kerjaan yang sangat membanggakan gan sis hehehe
Setiap orang tua selalu ingin nasib anak nya lebih baik dari mereka. Jaman saya masih kecil orang tua Saya selalu bilang, “jangan jadi petani kaya bapak, Jadi petani itu capek, mesti panas-panasan di kebun, nyabutin rumput, nyangkul tanah, mesti kotor-kotoran. Penghasilan juga bergantung sama musim dan keberuntungan”
Quote:
(keberuntungan yang di maksud : hasil panen banyak dan harga jual mahal). Soalnya biasanya yang di alami petani itu begini : hasil banyak tapi harga jual murah. saat harga jual mahal tapi dapat hasil panen sedikit.
Kayaknya bukan hanya orang tua saya aja yang bilang seperti itu ke anaknya. Mungkin orang tua yang lain pun memliki harapan yang sama untuk anaknya.
Kadang saya suka berfikir, apa yang salah dengan jadi petani? Apa yang salah dengan kotor-kotoran?. Ya mungkin yang salah emang penghasilanya nggak sebesar orang yang gajinya UMR per bulan. Tapi kenapa jangan jadi petani? Semua orang mencari uang bukanya untuk makan? Untuk beli rumah juga kan?
Yang saya rasakan juga, Jadi petani itu nggak pernah kelaparan, nggak susah tidur, saya nggak pernah merasa bahwa hidup saya kurang dengan bapak seorang petani. Ya tapi mau gimana lagi, waktu itu saya sudah terdoktrin untuk tidak menjadi seorang petani juga seperti nenek dan bapak saya. hehe
...
Dalam beberapa tahun, desa saya berkembang sangat pesat. karena pemikiran warga mulai banyak terbuka dengan pendidikan. Yayasan tempat saya belajar ngaji mulai berkembang mendirikan MTs dan MA, sehingga anak-anak di desa saya hampir semuanya lanjut sekolah. Meskipun masih ada beberapa teman SD dan SMP saya di nikahkan saat masih sekolah. (emang jodohnya deket sih, hehe

***
Setiap manusia pasti punya cita-cita. ketika tujuan atau cita-cita itu tercapai, barulah di sebut sukses bukan? . Tak terkecuali saya



Saya jadi inget saat saya SMp, waktu itu saya dan teman-teman sekelas dikasih tugas menulis tentang cita-cita oleh guru BK. Saat itu saya menulis bahwa saya ingin jadi seorang ibu rumah tangga saja. Teman-teman saya ada yang ingin jadi pegawai pabrik, ada yang ingin jadi penyanyi dangdut, ada yang ingin jadi guru, ada juga yang ingin jadi profesor (ini cita-citanya si peringkat 1 pastinya). Tapi kebanyakan teman-teman saya memilih untuk menjadi pegawai pabrik. Dan mungkin itulah pandangan sukses menurut sebagian besar teman sekelas saya saat itu.
Loh, kok pegawai pabrik disebut cita-cita?
Jadi gini Gan Sis, jaman saya sekolah dulu, anak-anak di desa saya belum begitu banyak tahu tentang hal-hal yang ada di luaran sana. Internet belum masuk, saluran tv masih terbatas. Facebook pun belum ada yang punya. Pembelajaran TIK disekolah juga masih sekedar teori jadi nggak tau yang namanya google atau yutub.
Di daerah sini, orang-orang yang tidak memilih utuk menjadi petani bekerja sebagai buruh pabrik di daerah bandung. Sehingga yang menjadi contoh sukses saat itu adalah orang-orang yang sudah bekerja di pabrik. Orang-orang yang sudah bisa nyicil motor juga alat elektronik lainya, yang dandananya pun sudah kekota-kotaan gitu.

Di tambah lagi sekarang di dekat desa saya sudah dibangun pabrik yang sangat besar. Butuh tenaga kerja baru setiap bulanya. Sehingga hampir tidak ada pengangguran di desa saya sekarang.
Yang saya sayangkan adalah pabrik tersebut di bangun diatas lahan pertanian warga desa saya, yang dulunya adalah ladang. Saya selalu bertanya-tanya, kenapa ladangnya mesti di jual untuk di bangun pabrik ? dan membiarkan anak cucunya bekerja sebagai buruh pabrik?
Hal itu membuat saya berfikir lagi, kenapa nggak ada yang bercita-cita menjadi petani? Apakah petani tidak masuk kedalam jajaran orang sukses? ...
Quote:
Sekarang
Maju dan semakin maju. Itu yang sekarang di alami desa saya Gansis, yang dulunya kebanyakan petani, sekarang satu-persatu orang-orang mulai meninggalkan pekerjaan tersebut. Entah mungkin karena capek, ataukah bosan, dan ingin mencoba hal-hal yang lebih menjanjikan dari segi perekonomian. Perlahan-lahan identitas desa saya sebagai desa para petani pun mulai pudar.
Para orang tua yang dulunya mengumpulkan ratusan rupiah untuk membeli lahan pertanian harus merelakan ketika tanah yang di wariskan kepada anak-anak mereka dijual dengan alasan sudah tidak ada lagi yang mau mengurus lahannya. atau mungkin Karena menjadi petani bukan lah hal yang menjanjikan. Mungkin juga karena orang kota yang mulai masuk dan menjamah tanah-tanah di desa saya untuk pembangunan. Dan dengan berbagai cara mempengaruhi orang-orang di desa saya untuk menjual lahanya. (entahlah)
Saya selalu berfikir, kenapa? Apa yang salah dengan bertani, menanam apa yang bisa di makan dan di jual? Kenapa tanah yang bertahun-tahun menghidupi dan menyekolahkan orang-orang yang sudah sukses di desa saya mesti hilang dalam sekejap di tukar dengan uang ratusan juta yang mungkin akan segera habis dalam beberapa tahun.
Ini penampakan desa saya sekarang :

Saya bangga sekaligus sedih.
Itu yang saya rasakan kalau mengingat cerita dari kakek dan bapak saya tentang riwayat desa saya.
Saya bangga dengan segala pencapaian desa saya. Mulai dari pembangunan sekolah, jaringan internet, pembangunan jalan, terbukanya lapangan kerja dengan di bangunya pabrik, serta warga yang pemikiranya sudah jauh lebih maju. Setiap anak sudah memiliki kesadaran bahwa pendidikan itu penting. Sudah banyak anak-anak yang semangat untuk lanjut sekolah ke perguruan tinggi. Sudah jarang juga anak perempuan yang dinikahkan dibawah umur.
Tapi saya juga sedih, ketika perlahan-lahan tidak ada lagi orang yang mau bertani. Saya sedih ketika mereka menjual lahan yang dulunya sangat sulit di dapatkan, Saya sedih ketika melihat desa saya yang sudah tidak hijau lagi, saya sedih ketika bangunan pabrik sudah berdiri dengan megah, namun pasir terus dikeruk sampai habis.
Entah , siapa yang mulai dan gimana hal itu bisa dimulai, mungkin sejak 4 atau 5 tahun lalu, sejak pembukaan lahan di Tutugan untuk dijadikan lahan galian pasir. Sejak dibangunnya sebuah pabrik yang otomatis banyak membutuhkan pasir untuk mendirikan bangunan. Sejak saat itu pula minimarket dan kos-kosan menjamur di desa saya.
mungkin cucu-cucu saya nanti tidak pernah tahu bahwa dulunya di belakang rumah saya ada sebuah bukit.
Gansis,
mungkin saya hanyalah anak kecil yang nggak tau apa-apa,
saya nggak ngerti apa yang ada di fikiran orang lain,
saya nggak ngerti apa yang jadi tujuan orang lain.
jadi apa yang arti kesuksesan pada jaman sekarang di desa saya?
entahlah sudah terlalu banyak jenis kesuksesan dimasa yang sekarang ini sampe saya bingung mau ngambil kesimpulan
apa.



Maju dan semakin maju. Itu yang sekarang di alami desa saya Gansis, yang dulunya kebanyakan petani, sekarang satu-persatu orang-orang mulai meninggalkan pekerjaan tersebut. Entah mungkin karena capek, ataukah bosan, dan ingin mencoba hal-hal yang lebih menjanjikan dari segi perekonomian. Perlahan-lahan identitas desa saya sebagai desa para petani pun mulai pudar.
Para orang tua yang dulunya mengumpulkan ratusan rupiah untuk membeli lahan pertanian harus merelakan ketika tanah yang di wariskan kepada anak-anak mereka dijual dengan alasan sudah tidak ada lagi yang mau mengurus lahannya. atau mungkin Karena menjadi petani bukan lah hal yang menjanjikan. Mungkin juga karena orang kota yang mulai masuk dan menjamah tanah-tanah di desa saya untuk pembangunan. Dan dengan berbagai cara mempengaruhi orang-orang di desa saya untuk menjual lahanya. (entahlah)
Saya selalu berfikir, kenapa? Apa yang salah dengan bertani, menanam apa yang bisa di makan dan di jual? Kenapa tanah yang bertahun-tahun menghidupi dan menyekolahkan orang-orang yang sudah sukses di desa saya mesti hilang dalam sekejap di tukar dengan uang ratusan juta yang mungkin akan segera habis dalam beberapa tahun.
Ini penampakan desa saya sekarang :

Sumber foto: hape temen saya
Saya bangga sekaligus sedih.
Itu yang saya rasakan kalau mengingat cerita dari kakek dan bapak saya tentang riwayat desa saya.
Saya bangga dengan segala pencapaian desa saya. Mulai dari pembangunan sekolah, jaringan internet, pembangunan jalan, terbukanya lapangan kerja dengan di bangunya pabrik, serta warga yang pemikiranya sudah jauh lebih maju. Setiap anak sudah memiliki kesadaran bahwa pendidikan itu penting. Sudah banyak anak-anak yang semangat untuk lanjut sekolah ke perguruan tinggi. Sudah jarang juga anak perempuan yang dinikahkan dibawah umur.
Tapi saya juga sedih, ketika perlahan-lahan tidak ada lagi orang yang mau bertani. Saya sedih ketika mereka menjual lahan yang dulunya sangat sulit di dapatkan, Saya sedih ketika melihat desa saya yang sudah tidak hijau lagi, saya sedih ketika bangunan pabrik sudah berdiri dengan megah, namun pasir terus dikeruk sampai habis.
Entah , siapa yang mulai dan gimana hal itu bisa dimulai, mungkin sejak 4 atau 5 tahun lalu, sejak pembukaan lahan di Tutugan untuk dijadikan lahan galian pasir. Sejak dibangunnya sebuah pabrik yang otomatis banyak membutuhkan pasir untuk mendirikan bangunan. Sejak saat itu pula minimarket dan kos-kosan menjamur di desa saya.
mungkin cucu-cucu saya nanti tidak pernah tahu bahwa dulunya di belakang rumah saya ada sebuah bukit.
Gansis,
mungkin saya hanyalah anak kecil yang nggak tau apa-apa,
saya nggak ngerti apa yang ada di fikiran orang lain,
saya nggak ngerti apa yang jadi tujuan orang lain.
jadi apa yang arti kesuksesan pada jaman sekarang di desa saya?
entahlah sudah terlalu banyak jenis kesuksesan dimasa yang sekarang ini sampe saya bingung mau ngambil kesimpulan
apa.



Diubah oleh nitadanie 03-03-2018 01:49
1
2.1K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan