- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengenal desa Ngadas Desa Tengger mayoritas Buddha satu-satunya


TS
ariswidyap
Mengenal desa Ngadas Desa Tengger mayoritas Buddha satu-satunya
Quote:
Bagi orang Indonesia, Gunung Bromo merupakan sebuah tempat wisata yang ikonik. Gunung aktif dengan tinggi 2.392 meter, dikelilingi oleh hamparan pasir, serta pemandangan matahari terbit yang spektakular membuat Gunung Bromo memiliki daya tarik tersendiri bagi sejumlah wisatawan lokal maupun mancanegara. Jadi tidak salah apabila Gunung Bromo menjadi destinasi wisata unggulan yang dimiliki oleh Indonesia.
Namun tidak lengkap rasanya apabila membahas Gunung Bromo tanpa mengenal penduduk asli yang hidup di sekitarnya, Suku Tengger. Berbeda dengan penduduk di Jawa Timur kebanyakan, Suku Tengger memiliki kepercayaan, bahasa, serta kebudayaan yang unik dan kontras. Tradisi yang berkembang di kalangan Suku Tengger berkaitan erat dengan Gunung Bromo. Bisa dikatakan, antara Gunung Bromo dengan Suku Tengger memiliki sebuah ikatan mistis yang saling menghidupi satu sama lain.
Terdapat beberapa pandangan yang menjelaskan tentang asal-usul dari nama “Tengger”. Pendapat pertama mengatakan bahwa istilah “Tengger” berarti pegunungan yang notabene menjadi tempat tinggal mereka. Pandangan berikutnya menyatakan bahwa istilah “Tengger” berasal dari kalimat Tenggering Budi Luhur yang berarti budi pekerti yang luhur, menggambarkan watak Suku Tengger yang seharusnya. Hingga pandangan terakhir mengatakan bahwa nama “Tengger” merupakan kata gabungan dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, nama leluhur Suku Tengger.
Di kalangan Suku Tengger sendiri, berkembang sebuah legenda yang menceritakan tentang sejarah leluhur mereka. Tersebutlah Roro Anteng, putri pembesar Kerajaan Majapahit, dan Joko Seger yang merupakan putra dari seorang brahmana. Roro Anteng dan Joko Seger kemudian menikah dan mereka turut menjadi pengungsi di Pegunungan Tengger. Di sanalah kemudian mereka menjadi pemimpin dengan gelar Purbawisesa Mangkurat Ing Tengger. Keturunan dari Roro Anteng dan Joko Seger inilah yang kelak menjadi Suku Tengger di Jawa Timur.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para leluhur Suku Tengger mengungsi dan terisolasi di Pegunungan Tengger. Kondisi mereka yang tidak tersentuh oleh peradaban luar selama bertahun-tahun itulah yang kemudian berdampak pada kondisi sosial Suku Tengger.
Berbeda dengan peradaban Jawa lainnya yang telah didominasi oleh ajaran Islam, Suku Tengger masih mempertahankan kepercayaan para leluhurnya dari Majapahit. Para leluhur Suku Tengger menganut aliran kepercayaan Siwa-Budha yang kemudian berkembang menjadi agama Hindu seperti yang dipegang oleh Suku Tengger kini.
Soal bahasa pun juga demikian. Suku Tengger memiliki dialek yang berbeda dengan Bahasa Jawa yang berkembang di era modern. Mereka masih menggunakan dialek Bahasa Kawi dan terdapat beberapa kosakata Jawa Kuno yang sudah tidak lagi digunakan oleh penutur Bahasa Jawa lainnya. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang Suku Jawa mengalami kesulitan dalam memahami Bahasa Tengger.
Namun tidak lengkap rasanya apabila membahas Gunung Bromo tanpa mengenal penduduk asli yang hidup di sekitarnya, Suku Tengger. Berbeda dengan penduduk di Jawa Timur kebanyakan, Suku Tengger memiliki kepercayaan, bahasa, serta kebudayaan yang unik dan kontras. Tradisi yang berkembang di kalangan Suku Tengger berkaitan erat dengan Gunung Bromo. Bisa dikatakan, antara Gunung Bromo dengan Suku Tengger memiliki sebuah ikatan mistis yang saling menghidupi satu sama lain.
Terdapat beberapa pandangan yang menjelaskan tentang asal-usul dari nama “Tengger”. Pendapat pertama mengatakan bahwa istilah “Tengger” berarti pegunungan yang notabene menjadi tempat tinggal mereka. Pandangan berikutnya menyatakan bahwa istilah “Tengger” berasal dari kalimat Tenggering Budi Luhur yang berarti budi pekerti yang luhur, menggambarkan watak Suku Tengger yang seharusnya. Hingga pandangan terakhir mengatakan bahwa nama “Tengger” merupakan kata gabungan dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, nama leluhur Suku Tengger.
Di kalangan Suku Tengger sendiri, berkembang sebuah legenda yang menceritakan tentang sejarah leluhur mereka. Tersebutlah Roro Anteng, putri pembesar Kerajaan Majapahit, dan Joko Seger yang merupakan putra dari seorang brahmana. Roro Anteng dan Joko Seger kemudian menikah dan mereka turut menjadi pengungsi di Pegunungan Tengger. Di sanalah kemudian mereka menjadi pemimpin dengan gelar Purbawisesa Mangkurat Ing Tengger. Keturunan dari Roro Anteng dan Joko Seger inilah yang kelak menjadi Suku Tengger di Jawa Timur.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para leluhur Suku Tengger mengungsi dan terisolasi di Pegunungan Tengger. Kondisi mereka yang tidak tersentuh oleh peradaban luar selama bertahun-tahun itulah yang kemudian berdampak pada kondisi sosial Suku Tengger.
Berbeda dengan peradaban Jawa lainnya yang telah didominasi oleh ajaran Islam, Suku Tengger masih mempertahankan kepercayaan para leluhurnya dari Majapahit. Para leluhur Suku Tengger menganut aliran kepercayaan Siwa-Budha yang kemudian berkembang menjadi agama Hindu seperti yang dipegang oleh Suku Tengger kini.
Soal bahasa pun juga demikian. Suku Tengger memiliki dialek yang berbeda dengan Bahasa Jawa yang berkembang di era modern. Mereka masih menggunakan dialek Bahasa Kawi dan terdapat beberapa kosakata Jawa Kuno yang sudah tidak lagi digunakan oleh penutur Bahasa Jawa lainnya. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang Suku Jawa mengalami kesulitan dalam memahami Bahasa Tengger.
Quote:

Ngadas adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Terletak 48 km dari kabupaten Malang, Desa Ngadas merupakan desa yang didiami komunitas Suku Tengger. Sebenarnya, desa Suku Tengger sendiri berjumlah 37 desa yang tersebar di 4 kabupaten yang berada di area Bromo-Semeru. Jika di Lumajang, Probolinggo dan Pasuruan, desa Tengger tersebar diberbagai tempat maka tidak demikian dengan di Malang. Ngadas adalah satu-satunya desa Suku Tengger yang berada di Malang.
Awal mula keberadaan desa Ngadas sendiri dimulai tahun 1774. Ketika itu, terdapat seorang seorang tokoh bernama Mbah Sedhek beserta 7 pengikutnya yang membuka Desa Ngadas. Orang-orang Tengger yang mendiami Ngadas sekarang pun merupakan keturunan Mbah Sedhek beserta 7 pengikutnya. Tokoh lain yang turut berperan dalam membangun Desa Ngadas adalah Mbah Kadar,seorang romusha yang dibawa pemerintah kolonial Jepang pada masa Perang Dunia II. Kawasan Ngadas sendiri sebenarnya terdiri dari dusun Jarak Ijo yang berada dibawah serta Desa Ngadas itu sendiri. Uniknya, desa tersebut hanya didiami Suku Tengger dan tidak ada warga yang berstatus sebagai pendatang. Hal tersebut makin diperkuat dengan aturan tak tertulis yang berlaku di Desa Ngadas bahwa tanah yang dimliki Suku Tengger tidak boleh diperjualbelikan.Suku Tengger Ngadas sendiri terkenal sangat ramah terhadap pengunjung yang datang kesana.
Mayoritas penduduk Ngadas bermata pencaharian sebagai petani.Umumnya,mereka memiliki ladang yang tersebar disekitar Desa Ngadas.Hasil andalan pertanian Ngadas berupa kentang dan bawang pre yang dijual ke Batu dan Lawang. Selain itu,warga Ngadas juga terbiasa memiliki ternak yang dikandangkan didekat ladang mereka.
Hal lain yang bisa ditemui ketika berkunjung ke Ngadas,disepanjang jalan banyak dijumpai warga yang memakai sarung yang diikatkan ke badan. Sarung tersebut merupakan ciri khas Suku Tengger Ngadas yang berfungsi untuk mengusir hawa dingin serta agar tidak nyasar sebagaimana pepatah yang berlaku di Ngadas,”ora nyasar ora ndhelurung”. Akibat hawa dingin yang menyelimuti Desa Ngadas pula sehingga rata-rata rumah yang ada disana memiliki tungku yang biasa digunakan untuk menghangatkan badan.
Desa Ngadas sendiri sebenarnya terdiri dari Dusun Jarak Ijo yang berada di bawah dan Desa Ngadas itu sendiri. Desa Ngadas tidak hanya indah secara bentang alam, namun juga keunikan budaya dan keramahan masyarakatnya membuat setiap pengunjung ingin kembali mengunjungi Desa Ngadas. Uniknya, desa tersebut hanya didiami Suku Tengger dan tidak ada warga yang berstatus sebagai pendatang. Bahkan, terdapat aturan tak tertulis yang berlaku di Desa Ngadas bahwa tanah yang dimiliki Suku Tengger tidak boleh diperjualbelikan. Di perkampungan ini banyak kesenian atau atraksi rakyat yang masih terjaga yakni Kuda lumping, Bantengan, dan Kuda Kencak.
Quote:

Desa Ngadas bersemayam di pintu barat Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kawasan yang sudah didiami Suku Tengger selama lebih dari tiga abad. Jika mayoritas desa Tengger yang tersebar di Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo didominasi agama Hindu,tidak demikian di Desa Ngadas.Justru Suku Tengger yang mendiami desa tersebut lebih banyak memeluk BudhaDi dataran tinggi inilah Buddha Jawa Sanyata menancapkan akarnya sebagai sekte Buddha yang terlahir di bumi Jawa. Keyakinan yang baru seumur jagung ini dibentuk oleh kombinasi faktor pergolakan politik, isolasi lanskap, dan ajaran leluhur. “Kudu welas asih marang sepada-pada ning urip, ojo teksio marang sepada-pada ning urip,” jelas Ngatono tentang pilar ahimsa dalam ajaran Buddha Jawa Sanyata. Terjemahannya: “harus saling mengasihi sesama makhluk hidup, jangan semena-mena terhadap makhluk hidup.”

Ngatono, sesepuh dalam majelis Buddha Jawa Sanyata, dengan sarung khas Tengger bermotif kecubung yang merengkuh bahunya. Melalui dialah berkenalan dengan Buddha Jawa Sanyata, sebuah keyakinan minoritas yang merekah di Jawa Timur.
Buddha Jawa Sanyata bisa dibilang adalah sebuah agama “hibrida.” Jawa Sanyata hadir lebih dulu sebagai agama Suku Tengger, semacam kebatinan Kejawen Jawa. Sedangkan Buddha adalah agama “impor” yang didapuk atas tuntutan zaman. Persekutuan iman ini bisa dilacak akarnya pada masa transisi dari rezim Orde Lama ke Orde Baru.
Pada 1965, Indonesia diguncang pergolakan politik. Warga Ngadas yang mengalami momen tersebut merasakan bagaimana Indonesia seolah terbelah antara pemeluk agama dan pendukung komunis yang dianggap ateis. Polemik pun muncul. Agama memiliki definisi yang presisi, begitu pula komunisme, sementara keyakinan-keyakinan lokal semacam Jawa Sanyata berada di daerah abu-abu—tidak ke “kiri” ataupun “kanan.”
Atas tuntutan zaman, penganut Jawa Sanyata kemudian mengambil solusi darurat. “Saat itu, sekitar tahun 1970, kami memutuskan untuk memeluk Buddha. Alasannya jelas, ajaran Jawa Sanyata memang lebih mengarahkan kami untuk memilih ajaran Buddha. Kami juga mengenal sosok Sri Raja Mahadewa Buddha. Dari situlah ajaran Buddha Jawa Sanyata lahir,” ujar Ngatono.
Tanpa disadari, keputusan tersebut memberi keuntungan jangka panjang. Pada 1978, pemerintah melakukan perampingan agama dengan mengakui hanya lima agama resmi: Hindu, Buddha, Katolik, Protestan, dan Islam. Dengan menjadi sekte Buddha, Jawa Sanyata bukan cuma selamat dari cap “komunis,” tapi juga lolos dari stempel “menyimpang.”
Proses peleburan Jawa Sanyata dan Buddha berlangsung pelan. Warga baru mengenal sosok Siddhartha Gautama pada 1992. “Saya masih ingat, tanggal 2 bulan 11 tahun 1992 saya memutuskan untuk menggali ajaran Buddha itu seperti apa,” kenang Ngatono. “Dan selama tiga tahun, dari 1992 sampai 1995, saya mencari informasi bagaimana membentuk kepengurusan organisasi di Walubi Kabupaten Malang, sekalian belajar ajaran darma.”
Latar sejarah yang rumit itu turut membentuk kaidah-kaidah kompleks yang kini dijalankan oleh Buddha Jawa Sanyata. Dalam konsep teologinya, terlihat gamblang beberapa elemen Kejawen masih memberikan warna yang dominan, sementara sentuhan Buddha hadir dalam bentuk terminologi dan filosofi.
Dalam Buddha Jawa Sanyata, Tuhan diberi nama Sang Hyang Wenang ing Jagad. Tapi Dia tidak berdiri tunggal. Umat juga menyembah Eyang Ibu Bumi sebagai sosok yang mengalirkan kesuburan pada bumi. Selain itu, ada Ki Semar dan Sri Raja Mahadewa Buddha (yang kemudian mereka kenal sebagai Siddhartha)—dua figur yang dipandang sebagai pembawa wahyu Tuhan dan guru spiritual yang mengajarkan welas asih.
Iman yang penuh lapisan itu termanifestasi dalam praktik peribadatan. Rabu siang, saya menghadiri prosesi ibadah yang disebut “Reboan.” Warga menghentikan kegiatan berkebun, lalu berduyung-duyun memasuki Wihara Paramitha. Ibadah ini kental nuansa Jawa. Seorang pendeta merapal ayat-ayat Adam Makna (kitab Buddha Jawa Sanyata yang ditulis dalam huruf Hanacaraka) menggunakan irama lantunan mocopat seraya bersujud kepada triumvirat Sang Hyang Wenang ing Jagad, Ki Semar, dan Sang Buddha.
Terlepas dari kompleksitas ajarannya, Buddha Jawa Sanyata mungkin lebih patut dikenal sebagai ajaran yang mewartakan toleransi. Pada pertengahan 1980-an, Islam dan Hindu mulai mengisi ruang-ruang keyakinan di kawasan Tengger. Batas-batas toleransi pun diuji, dan Ngadas berhasil lolos dengan rapor biru. “Jadi kita hidup harus saling menyayangi, dan jangan sampai kebahagiaan manusia terhalang oleh perbedaan” ujar Ngatono.

Umat Buddha Jawa Sanyata percaya, perbedaan diciptakan Tuhan sebagai sumber kebahagiaan, bukan pangkal malapetaka. Di antara para turis yang sibuk memotret sunrise, di antara jip-jip uzur yang menderu di padang pasir, di antara harum edelweiss dan aroma busuk belerang, Bromo ternyata menyimpan petuah penting tentang bagaimana kita menjalankan keyakinan dan mengelola perbedaan.

0
4.7K
Kutip
11
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan