- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Adik Sultan HB X: Kami Sudah Tak Peduli Siapa Calon Raja Yogya


TS
b.l.a.c.k.27
Adik Sultan HB X: Kami Sudah Tak Peduli Siapa Calon Raja Yogya
Adik Sultan HB X: Kami Sudah Tak Peduli Siapa Calon Raja Yogya
Reporter: Pribadi Wicaksono (Kontributor)
Editor: Juli Hantoro
Sabtu, 10 Februari 2018 11:06 WIB

GBPH Prabukusumo. TEMPO/Arif Wibowo
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah hampir tiga tahun perseteruan dalam lingkungan internal keraton Yogya berlangsung sejak Raja Keraton Sri Sultan Hamengku Buwono X mengumumkan sabda raja pertengahan 2015 silam.
Sabda raja Sultan HB X itu oleh para keluarga keraton lain khususnya para pangeran keturunan HB IX dianggap menyalahi paugeran atau tata adat keraton.
Sabda raja Sultan HB X itu antara lain mengganti gelar raja dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono. Serta mengangkat putri sulung HB X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai putri mahkota dengan mengganti namanya menjadi GKR Mangkubumi.
Baca juga: Enggan Ikut Prosesi Bersama, Adik Sultan HB X: Kami Masih Menjauh
“Kami (para pangeran dari HB IX) sudah sepakat, Ngarso Dalem (HB X) mau berbuat apa saja monggo, silahkan saja,” ujar adik tiri Sultan HB X, Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Prabukusumo di Yogya, Kamis 8 Februari 2018.
Bahkan jika Sultan HB X akan mengangkat putri sulungnya sebagai raja keraton pun, Prabu dan para pangeran lain sudah tak peduli. “ Mau sekarang njumenengke (menobatkan) Pembayun (menjadi raja keraton) pun juga silahkan saja, walau tahu itu jelas melanggar paugeran,” ujar Prabu.
Prabukusumo menuturkan ia dan pangeran lain dari kelima permaisuri HB IX sudah lelah dan memilih diam sekarang. Prabukusumo mengatakan pihaknya tak mau lagi terus berbenturan menghadapi sikap HB X dengan sabda rajanya yang sudah dinilai merusak tatanan paugeran keraton itu.
“Kalau kami nuruti jengkel terus, nanti yang stroke malah kami, padahal kami mencoba mengarahkan di jalan yang benar,” ujar Prabu.
Sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan sepenuhnya uji materi terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang membuka peluang gubernur Yogya dari kalangan perempuan, para pangeran lain pun juga terus memilih diam.
Meski Prabu menilai putusan MK itu keputusan kekanak-kanakan dan tak masuk akal karena mengabaikan pendapat masukan dari para pangeran keraton lain yang menilai bahwa gubernur perempuan sulit diwujudkan.
Sebab pengisian jabatan gubernur DIY yang tertuang dalam UU Keistimewaan secara tak langsung terikat ketentuan paugeran keraton yang mensyaratkan raja dari kalangan laki-laki. Dalam UU Keistimewaan menegaskan gubernur DIY tak lain raja bertahta keraton.
Prabu menuturkan MK memang membolehkan gubernur DIY perempuan. Namun anehnya dalam UU Keistimewaan itu tak diubah ketentuan lainnya bahwa yang berhak menjadi gubernur DIY adalah raja bertahta di keraton yang bergelar sultan. Sultan sendiri merujuk seorang laki-laki. “Putusan MK itu seperti orang sedang melepas kepalanya tapi terus memegangi ekornya,” ujar Prabu.
Prabu menuturkan meski keputusan suksesi keraton menjadi hak prerogatif Sultan bertahta, namun Prabu menegaskan hak itu tak bisa dipakai ketika melanggar paugeran yang berlaku.
Baca juga: GKR Hemas Bicara Soal Raja Perempuan di Keraton Yogyakarta
“Seperti presiden punya hak prerogatif tapi hak itu tak boleh melanggar konstitusi, begitu pula sultan dengan hak prerogatifnya tak bisa melanggar paugeran adat,” ujarnya.
Prabu sendiri mengaku meski ia dinilai para pangeran lain yang paling berpeluang menggantikan Sultan HB X sesuai paugeran, namun dirinya tak mau ambil pusing.
"Kalau saya prinsipnya yang saya lakukan tidak harus dengan jabatan, siapapun yang jadi raja berikutnya saya manut saja, asal tetap sesuai paugeran," ujar Prabu.
https://nasional.tempo.co/read/10593...lon-raja-yogya
Reporter: Pribadi Wicaksono (Kontributor)
Editor: Juli Hantoro
Sabtu, 10 Februari 2018 11:06 WIB

GBPH Prabukusumo. TEMPO/Arif Wibowo
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah hampir tiga tahun perseteruan dalam lingkungan internal keraton Yogya berlangsung sejak Raja Keraton Sri Sultan Hamengku Buwono X mengumumkan sabda raja pertengahan 2015 silam.
Sabda raja Sultan HB X itu oleh para keluarga keraton lain khususnya para pangeran keturunan HB IX dianggap menyalahi paugeran atau tata adat keraton.
Sabda raja Sultan HB X itu antara lain mengganti gelar raja dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono. Serta mengangkat putri sulung HB X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai putri mahkota dengan mengganti namanya menjadi GKR Mangkubumi.
Baca juga: Enggan Ikut Prosesi Bersama, Adik Sultan HB X: Kami Masih Menjauh
“Kami (para pangeran dari HB IX) sudah sepakat, Ngarso Dalem (HB X) mau berbuat apa saja monggo, silahkan saja,” ujar adik tiri Sultan HB X, Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Prabukusumo di Yogya, Kamis 8 Februari 2018.
Bahkan jika Sultan HB X akan mengangkat putri sulungnya sebagai raja keraton pun, Prabu dan para pangeran lain sudah tak peduli. “ Mau sekarang njumenengke (menobatkan) Pembayun (menjadi raja keraton) pun juga silahkan saja, walau tahu itu jelas melanggar paugeran,” ujar Prabu.
Prabukusumo menuturkan ia dan pangeran lain dari kelima permaisuri HB IX sudah lelah dan memilih diam sekarang. Prabukusumo mengatakan pihaknya tak mau lagi terus berbenturan menghadapi sikap HB X dengan sabda rajanya yang sudah dinilai merusak tatanan paugeran keraton itu.
“Kalau kami nuruti jengkel terus, nanti yang stroke malah kami, padahal kami mencoba mengarahkan di jalan yang benar,” ujar Prabu.
Sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan sepenuhnya uji materi terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang membuka peluang gubernur Yogya dari kalangan perempuan, para pangeran lain pun juga terus memilih diam.
Meski Prabu menilai putusan MK itu keputusan kekanak-kanakan dan tak masuk akal karena mengabaikan pendapat masukan dari para pangeran keraton lain yang menilai bahwa gubernur perempuan sulit diwujudkan.
Sebab pengisian jabatan gubernur DIY yang tertuang dalam UU Keistimewaan secara tak langsung terikat ketentuan paugeran keraton yang mensyaratkan raja dari kalangan laki-laki. Dalam UU Keistimewaan menegaskan gubernur DIY tak lain raja bertahta keraton.
Prabu menuturkan MK memang membolehkan gubernur DIY perempuan. Namun anehnya dalam UU Keistimewaan itu tak diubah ketentuan lainnya bahwa yang berhak menjadi gubernur DIY adalah raja bertahta di keraton yang bergelar sultan. Sultan sendiri merujuk seorang laki-laki. “Putusan MK itu seperti orang sedang melepas kepalanya tapi terus memegangi ekornya,” ujar Prabu.
Prabu menuturkan meski keputusan suksesi keraton menjadi hak prerogatif Sultan bertahta, namun Prabu menegaskan hak itu tak bisa dipakai ketika melanggar paugeran yang berlaku.
Baca juga: GKR Hemas Bicara Soal Raja Perempuan di Keraton Yogyakarta
“Seperti presiden punya hak prerogatif tapi hak itu tak boleh melanggar konstitusi, begitu pula sultan dengan hak prerogatifnya tak bisa melanggar paugeran adat,” ujarnya.
Prabu sendiri mengaku meski ia dinilai para pangeran lain yang paling berpeluang menggantikan Sultan HB X sesuai paugeran, namun dirinya tak mau ambil pusing.
"Kalau saya prinsipnya yang saya lakukan tidak harus dengan jabatan, siapapun yang jadi raja berikutnya saya manut saja, asal tetap sesuai paugeran," ujar Prabu.
https://nasional.tempo.co/read/10593...lon-raja-yogya
0
4.2K
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan