- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
NANTI #SFTHChallenge


TS
dany.jazzle
NANTI #SFTHChallenge

NANTI - #SFTHChallenge
Quote:
1
Jumat, 1 Januari 1999. Aku duduk termenung di bawah balkon yang megah yang lama tidak terawat. Detemani 2 bungkus rokok yang hampir kuhabiskan dalam waktu kurang dari 5 jam, rasanya masih kuingat. Dada gemetar, tubuh serasa tidak bertulang, lemas. Sungguh kacau perasaanku waktu itu. Lama juga ternyata aku termenung di sini.
Dari belakang, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.
“Den, sekarang sudah waktunya berangkat meeting, semua pakaian dan perlengkapannya sudah Bibi siapkan.”
“Oh, ba- baik, baik Bi. Terima kasih ya.” Jawabku terkejut.
“Kok Raden Bibi amati akhir-akhir ini sering melamun?”
“Oh tidak apa-apa Bi,” aku menjawabnya pelan.
Sambil mengusap air mataku, aku membalikkan badan dan berlari kecil ke kamar mandi untuk bersiap-siap. “Aku harus bisa!” bisikku lirih. Setelah selesai membersihkan diri, aku mencoba untuk menenangkan hatiku. Setelah perasaanku sudah mulai tengan, aku mengganti baju dengan setelan jas abu-abu pemberian ayahku yang telah disiapkan Bibi Darti.
Bibi Darti begitu setia dengan keluarga ini. Bibi Darti sudah bekerja sejak aku dilahirkan. Jadi hampir 24 tahun beliau bekerja di sini. Beliau yang mengasuhku dan merawatku, sampai-sampai Bibi Darti sudah aku anggap menjadi Ibuku sendiri. Beliau begitu perhatian dan sayang terhadapku.
“Bi, Reno berangkat dulu!”
“Hati-hati ya den!” Sahutnya.
“Tentu Bibi.” sambil masuk ke mobil BMW Seri 3 318i abu-abu milik ayahku.
Quote:
2
Di tengah perjalanan aku berbelok di ujung perempatan Jalan Ismail 34. Kisahku dimulai dari sini. Lia Cafe. Tempat favoritku. Tempatnya nyaman dan memiliki smoking area. Jadi aku bisa bertahan di sini berjam-jam sambil merokok sebanyak yang aku mau. Minggu lalu aku iseng menulis ceritaku dalam sebuah kertas yang sengaja aku tinggal di meja. Keesokan harinya saat aku kembali berkunjung, waiter memberikan sepucuk surat dari anonim yang membalas curhatanku. Jawabannya begitu asyik, sungguh menghibur dan menenangkan di tengah-tengah kepedihanku. “Baru kali ini aku memiliki teman yang tidak ada di depanku, tapi begitu nyata rasanya”.
Sejak kejadian itu, memang aku merasa tidak memiliki apa-apa lagi. Aku lebih memilih menyendiri dan menghindari keramaian, seakan takut kalau saja berteman dengan orang baru, aku akan dikecewakan dengan perasaan kehilangan ini lagi. Tapi berbeda ceritanya sekarang. Terhitung sejak minggu lalu aku memiliki teman ‘main’ baru yang peduli terhadapku. Begitu juga hari ini, aku menanti jawaban dari teman curhat penaku yang suratnya kemarin baru saja aku balas dan kutinggalkan di atas meja. Tapi sayangnya setelah berjam-jam di sini, waiter tidak juga menghampiriku.
“Mbak!” Panggilku kepada salah satu waiter.
“Iya mas, ada yang bisa saya bantu?”
“Mbak, apa ada titipan surat untuk saya?” tanyaku tak sabar.
“Maaf mas, surat yang mana ya? Sepertinya tidak ada mas.”
“Itu, surat kertas yang Mbak Desti kasi ke saya kemarin.”
“Oh sebentar mas, saya tanyakan langsung sama mbak Desti dulu ya mas.”
“Oke mbak. Tolong ya mbak. Terima kasih”
Tak lama kemudian mbak Desti datang dan tersenyum kepadaku.
“Maaf mas, ada yang bisa saya bantu?”
“Mbak Desti, ada titipan surat untuk saya lagi nggak?”
Sambil matanya melirik ke atas, mengingat-ingat. Mbak Desti menjawab, “Oh maaf mas Reno, sepertinya belum ada.”
“Gitu ya, oke deh kalau begitu tidak apa-apa mbak. Besok saja saya mampir ke sini lagi. Terima kasih banyak ya mbak.”
Quote:
3
Setibanya di rumah, aku langsung disambut oleh Bibi Darti dengan ayam goreng spesial kesukaanku. Sambil dipandu duduk di meja makan, jas abu-abu yang tadinya aku pakai, dibantunya untuk melepaskannya.
“Pasti Raden capek ya?” “Ya iyalah capek kan habis kerja seharian.” Jawab Bi Darti.
“Bibi ini gimana sih, tanya-tanya sendiri, malah dijawab-jawab sendiri.” Jawabku sambil tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Bibi Darti yang menghiburku.
“Hehe maaf Den, takut salah tanya.”
“Bibi sudah seperti keluarga sendiri, jadi tidak usah sungkan-sungkan. Kayak baru kenal aja Bi.” Jawabku meyakinkannya.
Sambil melahap potongan dada ayam kesukaanku dan ditemani nasi putih hangat, aku bertanya.
“Bibi yang bikin ini? Kok persis kaya mama yang bikin rasanya?”
“Iya Den, ini bumbu yang mamamu ajarkan ke Bibi.” “Sebenarnya resep masakan ini ingin sekali diwariskan kepada anaknya. Tapi sayangnya anak cowok satu-satunya nggak tertarik di dunia masak-memasak. Sambel racikannya luar biasa enaknya kan? Bibi saja mengakuinya.”
“Mmmm. Iya bi.” Jawabku tersenyum pilu mendengarnya.
“Mamamu dulu cerita Den. Maaf ya kalau menyinggung perasaan Raden. Beliau bilang, kalau Reno tidak memiliki skill apa-apa akan bingung juga kalau nanti beranjak dewasa. Gimana cari uangnya, gimana nafkahin keluarganya.”
“Iya bi, dulu memang waktu seakan Reno buang-buang. Reno lebih memilih main nitendo daripada belajar, seolah-olah dengan bermain game bisa menghasilkan banyak uang. Reno disuruh belajar bisnis nggak mau, diajarin ternak, Reno bilang nggak bakat. Semua serba tersedia yang bikin Reno terlena. Banyak hal yang Reno lewatkan ya bi. Bahkan waktu mama papa nggak ada, Reno juga seolah ngga peduli.”
“Nggak papa le, sekarang kan kamu sudah berubah jadi lebih baik. Penyesalan memang hadir di belakang. Kejadian itu bukan akhir dari segalanya kan Reno. Kamu harus bisa bangkit dan semangat lagi. Kamu anak satu-satunya kebanggaan mereka lo!” Bibi Darti menatapku.
Tak kuasa melihat bibi berkata sambil memandangiku, refleks aku langsung memeluknya. Tidak kusangka aku bisa se-mellow ini. Tubuhku yang terlihat kekar dan garang, ternyata memiliki sisi lemah. Sekarang yang ku miliki hanya Bibi Darti dan Teman curhat penaku. Aku tidak akan mengecewakan mereka, khususnya Bibi Darti yang selalu mensupportku dari dulu.
“Bi, maaf ya dulu Reno sering tidak sopan ke Bibi.”
“Tidak apa-apa den.” Sahutnya cepat.
“Maafin Reno yang selalu pukul-pukul kepala bibi waktu Reno Kecil. Ngomongnya kurang ajar, bentak bibi, dan nyuruh-nyuruh bibi seenaknya.”
Bibi Darti diam dan tidak menjawab permohonan maafku. Bibi Darti makin memelukku erat seolah-olah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku mengerti Bibi Darti memaafkanku, tapi aku tidak mau berhenti sampai di sini. Aku harus bisa membahagiakan Bibi Darti, janjiku.
Quote:
4
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bibi membangunkanku.
“Den bangun. Sudah siang. Itu ada surat dari pak pos.”
“Bi, masih jam berapa ini?”
“Sudah jam 8 le. Waktunya bangun berkangkat kerja ke kantor.”
“Yaampun Bi, Reno pikir masih jam 5.” Balasku kemudian langsung melompat dari tempat tidur.
“Ya sudah sana siap-siap. Itu sudah Bibi siapkan jas sama sepatunya.” Sambil memberikan sepucuk surat dari pak pos.
Dengah hati-hati aku buka surat tersebut yang isinya:
“Reno, temui aku di tempat biasa pukul 8 pagi.”
Surat tersebut sontak membuatku terkejut mengapa surat ini bisa nyasar sampai ke sini. Bagaimana dia tahu alamat rumahku. Apa dia membuntutiku sampai ke sini. Merinding sih, tapi tanpa pikir panjang lagi, dengan sigap aku meraih alat mandiku untuk segera bersiap. Setelah mandi dan memakai pakaianku, segera aku bergegas berangkat menuju tempat pertemuan kami, Lia Cafe.
“Bi, Reno berangkat kerja dulu”
“Iya Den, hati-hati. Semangat kerjanya.”
“Pastinya!” Sahutku sambil mengerutkan dahi karena merasa berdosa terus membohongi Bi Darti.
Pertanyaan terbesarku sampai saat ini yaitu, sampai kapan aku membohongi Bi Darti yang dengan tulus mendoakanku setiap pagi saat aku pamit pergi bekerja. Sampai kapan aku menutupi kalau perusahaan yang Alm. Papa kelola sudah bangkrut semenjak beliau meninggal? Sampai kapan aku menjual barang-barang peninggalan orang tuaku untuk membayar gaji bulanan Bi Darti. Jika aku tidak menggajinya, tidak mungkin dia akan bertahan di rumah. Begitu takutnya aku kehilangan Bi Darti. Ternyata begini rasanya mencintai.
Quote:
5
Waktu menunjukkan pukul 8:47 saat aku tiba di Lia Cafe. Sudah cukup terlambat aku tiba di sini, pasti dia sudah pergi, pikirku. Ku tengok kanan dan kiri, tidak ada tanda-tanda seseorang yang hadir untuk menemuiku. Pegawai cafe juga masih bersiap-siap dan belum melayaniku, maklum cafe baru saja buka.
“Pagi Mas Reno!” Sahut Mbak Desti sambil tersenyum lebar.
“Mbak yang ngundang saya kemari ya?” Tanyaku penasaran.
“Maaf mas, ngundang apa ya?” Dia keheranan.
“Yang kirim surat ke rumah saya, trus ngajak ketemuan di sini itu Mbak Desti bukan?”
“Mana mungkin saya bisa kirim surat ke rumahnya mas, kita saja baru ketemu beberapa minggu lalu.”
“Kalau gitu, tadi jam 8 ada orang yang datang ke sini nyariin saya nggak mbak?”
“Tadi pagi ya? Mmmm... Sepertinya ada mas. Sebentar saya tanya teman-teman yang lain.”
Mbak Desti pergi, lalu tak lama berselang, dia kembali lagi sambil menyodorkan amplop surat berpita emas ke arahku.
“Katanya temen-temen yang lain, tadi pagi ada yang titipin ini mas. Tapi pas mau tanya namanya, tiba-tiba dia menghilang.”
“Lah, kok bisa? Ciri-cirinya gimana?”
“Nah itu yang kurang tahu mas. Tadi yang dapet titipan ini pak satpam yang jaga malam mas.”
“Yah sayang banget. Tapi terima kasih ya mbak Desti.” Menutup pembicaraan.
Sayang sekali pikirku. Aku ingin sekali bertemu dengan sahabatku itu. Kupandangi suratnya, di amplop surat tertulis. “Teruntuk sobat baikku, Reno, kalau kamu menerima pesan ini simpan saja dan jangan dibuka! Kamu akan mengetahui waktu yang tepat untuk membukanya kelak. Tetap berusaha menjadi yang terbaik. Jangan membuang waktumu sia-sia di tempat ini. Lakukan yang kamu bisa. Jangan kecewakan aku.” Hatiku semakin kacau. Sebenarnya apa yang dunia inginkan terhadapku.
Aku tersadar, waktu terus berjalan. Menghisap rokok dan minum kopi di sini sama sekali tidak memantuku menyelesaikan permasalahan yang terus bergelut di kepalaku. Andai saja ada malaikat penolong untuk menjadikanku kaya hari ini, pasti aku akan bahagia sekali. Tapi sayang itu hanyalah sebuah mimpi di siang bolong yang tidak mungkin terjadi.
Di tengah-tengah lamunanku, datanglah 2 orang berpakaian rapi duduk di sebelah mejaku. Mereka bersalaman akrab sekali. Penasaran dengan apa yang sedang mereka lakukan di sini, aku berpura-pura membaca koran sambil menguping apa yang mereka bicarakan. Mereka menggebu-gebu membicarakan bisnis kuliner yang akan mereka bangun bersama. Mereka berbicara dengan mata mereka berbinar-binar, seakan bisnis yang direncanakan sudah berhasil mendapatkan untung puluhan juta.
Aku jadi teringat dengan almarhum orang tuaku. Keduanya adalah seorang pengusaha sebelum kecelakaan pesawat yang menewaskan mereka beberapa minggu lalu. Ayahku dahulu adalah seorang pemilik percetakaan kertas, sedangkan Ibuku adalah pemilik kedai ayam goreng terenak di kota ini yang pada akhirnya harus tutup karena tidak ada yang mengurus sejak mereka pergi.
Sebenarnya sejak dulu aku disuruh untuk belajar bagaimana cara berbisnis oleh Ayah dan Ibuku, namun aku selalu menolak. Aku lebih memilih hidup dengan duniaku sendiri, bermalas-malasan, menghabiskan uang Ayah dan Ibuku yang akhirnya hanya bisa aku sesali sekarang. “Nak, ayo bangun! Belajar!” itu adalah perkataan Ibuku setiap hari yang selalu aku lewatkan. “Nanti ma!” Jawabku otomatis keluar dari mulutku. Menyesal, menyesal dan menyesal.
Tapi tiba-tiba aku teringat oleh catatan di amplop surat yang baru saja aku terima. Lakukan apa yang kamu bisa! Tulisan tersebut mengingatkanku oleh perkataan Ibuku. Ibuku pernah berkata bahwa, tidak ada yang mustahil, semua bisa kamu lakukan asalkan kamu mau melakukannya.
Tersadar dari lamunanku, aku segera meringkas barang-barangku dan kemudian bergegas pulang.
Quote:
6
Sesampai di rumah, Bi Darti menyapaku.
“Kok pulangnya cepat Den? Ini baru jam 11. Biasanya jam 3 an loh?”
“Bi, tolong ajari saya bikin ayam goreng resepnya mama”
Bi Darti mengerutkan dahi keheranan dan menjawab,
“Raden kesambet ya? Kok tumben sekali?”
“Iya Bi, saya lagi kesambet.” Jawabku singkat, sambil menggandeng Bi Darti ke dapur.
Di dapur, Bi Darti mengeluarkan alat masak dan bumbu-bumbu yang sudah tersedia. Bi Darti dengan penuh semangat menjelaskan bagaimana cara membuat ayam goreng yang mama ajarkan kepada beliau. Setelah kurang lebih 2 jam kami berkutat di dapur, akhirnya selesai juga pelajaran hari ini.
“Bagaimana Bi, masakanku?”
“Mmmppp... Ini lebih enak dari ayam goreng Bibi.”
“Ah, masa Bi? Bibi bohong. Pasti Bibi hanya menyenangkanku saja.”
“Nggak Den, Bibi serius. Sepertinya kamu memiliki bakat turunan dari Mama kamu.”
“Wah, yakin ini enak Bi?” Mataku berbinar.
Bibi tidak menjawab karena mungkin keasyikan menyantap ayam goreng buatanku.
Sesudah merapikan lagi dapur yang sedikit berantakan, aku langsung keluar rumah dan menstarter motor jadul ayahku.
“Loh-loh, Raden mau ke mana?”
“Ke pasar bi!”
“Loh ngapain?”
Belum sempat menjawab pertanyaan Bi Darti, motorku sudah melaju kencang meninggalkan rumah.
Sesampainya di pasar, aku langsung memborong beberapa potong ayam dan bumbu-bumbu rahasia yang Bi Darti ajarkan kepadaku tadi. Setelah lengkap belanjaanku, kusempatkan untuk mampir ke toko emas yang hanya berjarak puluhan meter di samping pedagang ayam tempatku berbelanja. Sambil memantabkan niatku, aku mengeluarkan beberapa cincin dan kalung emas peninggalan Ibuku dan menawarkannya kepada pegawai toko tersebut untuk kugadaikan.
“Maafkan aku Ma, Pa. Aku melakukan ini demi kebaikanmu.” Kataku dalam hati. Setelah mendapatkan harga yang pas, aku langsung pulang dan berjanji dalam hatiku, akan kugunakan uang ini sebagai modal usaha memulai bisnis baruku.
Quote:
7
Singkat cerita, menjalankan bisnis ini ternyata tidak mudah. Jatuh bangun tetap aku lalui dengan penuh semangat dan optimis. Suatu ketika aku berpikir, mungkin kepergian Ayah dan Ibuku sudah ditakdirkan Tuhan. Kalau saja mereka masih hidup sekarang, aku tidak akan sekuat ini. Tentu Ayah dan Ibuku akan bangga, kepergiannya menjadi arti dan menginspirasi orang yang dia cintai. Aku bersyukur Tuhan begitu baik kepadaku. Tiap harinya aku mendapatkan pelajaran baru. Waktu yang dahulu aku sia-siakan akan aku tebus sekarang!
Sudah 3 tahun aku bergelut di bidang kuliner. Bermula dari hanya memiliki 1 cabang, sekarang aku bisa membuka 7 cabang dan memiliki beberapa pegawai. Meskipun warung yang aku bangun tidak terlalu besar dan megah, akhirnya, aku bisa sedikit tersenyum lega. Dengan bermodalkan hasil menggadaikan emas orang tuaku dulu, usahaku sudah terlihat hasilnya. Sudah saatnya akan kugunakan sebagian hasil dari keuntunganku untuk menebus emas yang dulu aku gadaikan! Ini kupersembahkan padamu Pa, Ma. Terima kasih Bi Darti yang juga sudah mendukungku selama ini.
Quote:
8
Selasa, 14 Februari 2006 bencana kembali menghampiriku. Pagi itu aku menemukan Bi Darti terjatuh terkapar di dapur saat menyiapkan makan pagiku. Aku berusaha membantu semampunya sambil menelpon ambulans. Beberapa menit kemudian tim dokter datang, tapi sayangnya mereka menyatakan Bi Darti sudah meninggal. Sesaat sebelumnya, aku menyampaikan maafku kepadanya karena selama ini aku membohonginya dengan berpura-pura menjadi bos di perusahaan Papa. Bi Darti tersenyum dan berkata:
“Tugasku sudah selesai nak. Kamu anak yang baik. Jangan sia-siakan waktumu lagi.”
Bagaikan baru saja menerima pundi-pundi berlian, tapi seakan lenyap begitu saja. Hampir pecah kepalaku atas seluruh drama ini di hidupku.
“Tapi aku bersyukur pernah mengenalmu Bi Darti.”
Kuhubungi keluarga Bi Darti, dan segera mengurus pemakamannya.
Setelah melaksanakan pemakaman Bi Darti, tiba-tiba aku teringat atas surat yang beberapa tahun lalu aku dapatkan di cafe. Aku segera pulang ke rumah dan melihat apa sebenarnya isi dari surat tersebut.
“Halo Reno, ini Bibi Darti. Sedih rasanya menulis surat perpisahan ini. Maafkan atas kesalahan bibi selama mendampingimu ya nak. Satu yang perlu kamu tahu. Aku sudah mengganggapmu sebagai anakku sendiri. Terima kasih atas perubahan sikapmu, perjuanganmu untuk berbohong dariku dan kegigihanmu untuk memulai hidup baru lagi. Aku sangat memahami itu sulit Reno, tapi kamu menyelesaikannya dengan baik. Aku selalu mendoakanmu saat kamu pergi dari rumah dan berharap kamu mendapatkan sesuatu yang baru saat pulang. Aku senang saat kamu bertanya mengenai resep ayam goreng Mamamu kemarin. Oh ya, satu lagi. Buka lemari Bibi, di sana ada uang gaji bibi yang kamu beri selama kamu bohong sama Bibi. Bibi mengembalikannya padamu. Meskiput sedikit, gunakan uang itu untuk tambahan modal usahamu nanti.”
“Bagaimana Bi Darti bisa memprediksi masa depanku, dengan surat masa depan ini?” Aku masih belum percaya. Aku mencintaimu Bi Darti. :”(
Quote:
Terinspirasi dari [URL="https://www.S E N S O R/book/show/11924352-madre"]Madre - Dee Lestari[/URL]


anasabila memberi reputasi
1
845
Kutip
1
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan