Halo teman-teman semua,
Bagaimana kabarnya, semoga harimu menyenangkan selalu ya.
Sering kan dapat teman yang gampang terbawa perasaan atau mungkin bahasa klasiknya mudah marah dan merajuk. Ternyata sifat mudah marah dan mudah merajuk ini bukan sesuatu yang mudah di ubah. Hal ini saya katakan atas pengalaman langsung.
Saya punya seorang teman perempuan di Kampus saya. Kami sudah berteman selama kurang lebih tiga tahun hingga lulus S1. Dia adalah orang yang baik dan solutif. Hanya saja yang sering dia ceritakan adalah bahwa betapa sering dia merasakan sakit hati kepada teman-teman yang lain. Bahkan kepada saya, dia pernah mengatakan bahwa saya sering berkata kasar padanya dan menyinggung perasaanya.
Rasa yang dia gunakan terlalu dalam dan sering membuat kita merasa sangat bersalah. Dia sering memposisikan saya menjadi orang yang salah, mungkin jika diibaratkan di persidangan, saya adalah Tersangka dan beliau adalah Korban. Mungkin ada yang pernah mengalami hal serupa dengan saya angkat kakinya ... Uuppss angkat tangan maksudnya
Nah, berbanding terbalik dengan sikapnya, jika mengirim pesan dia sering bernada kasar, sering tanpa menggunakan emotikon yang telah disediakan untuk mewakili perasaan si pengirim dan kalau beliau ingin minta tolong via pesan sering terkesan perintah karena tidak ada kata tolong di depannya. Kalau saya ingatkan, kembali lagi dia ngambek.
Nah setelah sering merasa menjadi orang yang jahat dan selalu berakhir dengan meminta maaf dan menjadikan diri yang hina ini sebagai tersangka, akhirnya saya merasa bosan.
Iya bosan donk, secara sebagai makhluk sosial kita punya banyak teman lain dan sering berkomunikasi dengan banyak orang. Akan ada banyak perbandingan yang bisa kita lakukan sehingga membuat orang tersebut menjadi tidak ada apa-apanya di mata kita. Hati-hati ya, ini adalah penyakit hati yang menjadikan kita merasa lebih baik dari pada orang lain. Ini bahaya dan merupakan salah satu cara Syetan yang terkutuk menggoda kita.
Akhirnya saya menjadi lebih menjaga jarak dari teman tersebut. Akan tetapi ketika saya menjaga jarak terasa ada yang hilang, tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang tidak punya kecerdasan emosional yang baik, karena saya hanya menghindari masalah tanpa menyelesaikannya.
Akhirnya dalam pertapaan saya mencari kitab suci ke Barat Daya, saya menemukan solusi terbaik untuk permasalahan ini. Saya menyadari beberapa hal :
1. Teman saya tidak menyadari bahwa dia salah
2. Teman saya tidak menyadari bahwa dia sedang mengintimidasi saya
3. Teman saya tidak mengetahui bahwa saya menjadi merasa bersalah
4. TEman saya tidak ingat bahwa dia pernah marah kepada saya
5. Ternyata perasaan bersalah itu adalah respon saya terhadap perlakuan seseorang, karena saya adalah orang yang responsif, saya cenderung mengikuti sikap dan sifat lawan saya berkomunikasi.
Setelah mengetahui fakta-fakta di atas, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil sikap sebagai solusi.
1. Mendiaminya ketika dia marah
2. Tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi, tetap seperti biasa
3. Tetap menegurnya jika dia mulai mengetik pesan yang bernada kasar
4. Memahami bahwa ada tipe orang yang butuh waktu lama dan dalam keadaan marah untuk menyadari kesalahannya
5. Merenungi kesalahan saya dalam bercanda atau mengingatkan yang akhirnya juga mampu menjadi alarm bagi diri saya pribadi.
Dari ketiga hal tersebut akhirnya saya menemukan kedamaian dalam hati ketika dia kumat dan dia selalu kembali normal setelah beberapa hari. Setelah menegurnya, dia pasti marah. Tapi waktu meninggalkan masa lalu, begitupun kemarahan yang hilang dengan sendirinya.
The last akhirnya saya menyadari bahwa tidak ada kebetulan ataupun kesalahan dalam hidup ini. Teman seperti ini dikirimkan kepada saya agar saya bisa menjadi sosok yang dewasa dan lebih banyak lagi mendengar.
Semoga kita selalu bisa mengambil hikmah dan berfikiran positif dalam mengisi hari-hari yang indah ini.