- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[ #SFTHChallenge ] Rumah Nomor 22


TS
almiraqq
[ #SFTHChallenge ] Rumah Nomor 22
![[ #SFTHChallenge ] Rumah Nomor 22](https://s.kaskus.id/images/2018/02/06/3200297_20180206102751.jpg)
Rumah Nomor 22
Quote:
Mobil keluargaku berhenti di depan sebuah rumah di ujung gang. Rumah itu dominan berwarna putih dan beberapa pohon yang tak terlalu tinggi di luar pagar menaungi teras dari ganasnya matahari Surabaya.
“Assalamualaikum..” ucapku sambil membuka kunci pintu dengan perlahan.
Lalu langkah kaki sayup-sayup menyambutku.
“Siapa? Kinan ya?” terdengar suara berat dari balik pintu.
“Iya nih, Pak. Ini Kinan sama Bapak dan Ibu” jawabku sambil mempersilakan keluargaku duduk di ruang tamu sekedar untuk mengaso.
Bapak bersantai di ruang tamu ditemani Pak Gatot dan Bu Sih sementara aku dibantu ibu mengepak sisa barang untuk dipindah ke bagasi mobil. Aku menyusul ke ruang tamu, setelah memastikan tidak ada lagi barang yang tertinggal.
“Kami sekeluarga sangat berterima kasih. Mohon maaf apabila ada salah dan sudah merepotkan, khususnya si Kinan selama di sini ya, Pak.” pamit Bapak sementara aku hanya menunduk menatap lantai lekat-lekat seolah mereka akan kabur.
“Justru saya yang harusnya berterima kasih, Kinan mau tinggal di sini. Saya ada temannya, saya berharapnya kita tetap menjaga silaturahmi. Kinan kalau main ke Surabaya, jangan lupa mampir kesini ya.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Keluargaku dan juga aku berdiri, kami berpamitan. Aku sempat memeluk Bu Sih dan memberi bingkisan kenang-kenangan. Terakhir, aku menyalami dan menempelkan punggung tangan Pak Gatot ke dahiku. Dia meraih wajahku lalu mencium pipiku. Dari sudut mataku terlihat Bu Sih mengusap air matanya dengan punggung tangannya yang gemuk itu.
Selesai melipat toga dan kebayaku, aku menatap ke luar jendela. Sungguh suasana jadi melankolis. Aku hanyut dalam lamunan sampai semua menjadi gelap.
“Assalamualaikum..” ucapku sambil membuka kunci pintu dengan perlahan.
Lalu langkah kaki sayup-sayup menyambutku.
“Siapa? Kinan ya?” terdengar suara berat dari balik pintu.
“Iya nih, Pak. Ini Kinan sama Bapak dan Ibu” jawabku sambil mempersilakan keluargaku duduk di ruang tamu sekedar untuk mengaso.
Bapak bersantai di ruang tamu ditemani Pak Gatot dan Bu Sih sementara aku dibantu ibu mengepak sisa barang untuk dipindah ke bagasi mobil. Aku menyusul ke ruang tamu, setelah memastikan tidak ada lagi barang yang tertinggal.
“Kami sekeluarga sangat berterima kasih. Mohon maaf apabila ada salah dan sudah merepotkan, khususnya si Kinan selama di sini ya, Pak.” pamit Bapak sementara aku hanya menunduk menatap lantai lekat-lekat seolah mereka akan kabur.
“Justru saya yang harusnya berterima kasih, Kinan mau tinggal di sini. Saya ada temannya, saya berharapnya kita tetap menjaga silaturahmi. Kinan kalau main ke Surabaya, jangan lupa mampir kesini ya.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Keluargaku dan juga aku berdiri, kami berpamitan. Aku sempat memeluk Bu Sih dan memberi bingkisan kenang-kenangan. Terakhir, aku menyalami dan menempelkan punggung tangan Pak Gatot ke dahiku. Dia meraih wajahku lalu mencium pipiku. Dari sudut mataku terlihat Bu Sih mengusap air matanya dengan punggung tangannya yang gemuk itu.
Selesai melipat toga dan kebayaku, aku menatap ke luar jendela. Sungguh suasana jadi melankolis. Aku hanyut dalam lamunan sampai semua menjadi gelap.
Spoiler for Part 1:
Surabaya, Oktober 2013
“Ras, ikut aku yuk. Survey kos di Jalan Pucang.” ajakku pada Raras seusai menemaninya bimbingan skripsi.
Aku celingukan di depan gerbang putih dengan lonceng yang cukup besar tergantung di sela pagar. Pintu berderit, seorang perempuan sekitar umur 40an mengenakan daster dan kerudung muncul dari balik pintu langsung mempersilakan masuk.
‘Saya Kinan yang tanya-tanya tentang Kosan lewat telepon kemarin, Buk.” aku menjabat tangannya diikuti Raras.
‘Oh, iya Mba Kinan. Silakan masuk, mari duduk sini.” sambut Ibu-ibu berdaster tadi.
Aku dan Raras mengekor di belakang Ibu-ibu berdaster yang membukakan pintu ruang tamu. Kami duduk di sofa kusam yang berdebu. Ruang tamu sesak dengan sofa yang berjejalan. Pintu di depanku perlahan terbuka, seorang lelaki tambun mamakai kaos oblong dan sarung berjalan dari arah dalam rumah sambil menggerayang benda-benda di sekitarnya. Kulitnya kuning langsat, wajahnya bersih dengan kumis yang dicukur rapi. Rambutnya gondrong dan ikal, ia kuncir ala kadarnya.
“Saya Kinan, Pak. Ini ada teman saya namanya Raras.”
“Iya, Mba. Saya Pak Gatot. Susah nggak nyari alamatnya?”
Pak Gatot menjelaskan faslitas-fasilitas apabila jadi indekos di rumahnya. Sementara mataku gatal menatapi foto-foto yang ada di sekellingku satu per satu. Seperti potret anak kecil yang berseragam taman kanak-kanak, anak perempuan kecil itu bersama wanita yang cocok menjadi ibunya, aku sempat bertanya-tanya apakah itu putri Pak Gatot? Tetapi kenapa fotonya tidak bersama Ibu-ibu berdaster?
“Mbak Kinan, saya ini buta tetapi nggak dari kecil. Saya buta karena sakit diabetes.” tutur Pak Gatot.
“Saya di sini tinggal sendiri, kadang ditemani Sih. Dia asisten pribadi saya.” tambahnya.
Seperti bisa membaca pikiranku, Pak Gatot mengatakan tanpa kupinta. Aku manggut-manggut. Kemudian Pak Gatot menawarkan untuk menengok calon kamarku. Aku berjalan mengikuti Ibu-ibu berdaster --yang ternyata namanya adalah Bu Sih. Kami harus melewati lorong yang agak gelap. Fasilitasnya sama dengan kos saat itu namun kondisi kamarnya jauh lebih buruk.
“Kamu kok bisa tahu kos ini sih, Kin?” tanya Raras sambil naik ke motorku.
“Tahu lah, dari internet Ras..” jawabku sambil nyengir.
“Bapaknya gokil ya..” kata Raras setengah berteriak di tengah padatnya lalu lintas.
Spoiler for Part 2:
AKU merebahkan di kamarku yang baru setelah selesai menata semua barangku.
“Kinan…” suara berat Pak Gatot.
“Kinan..” panggilnya lagi.
“Ya Pak?” jawabku dengan malas namun kupaksakan karena harus bersikap dengan baik.
“Boleh duduk di sini? Aku nggak bisa tidur..” pinta Pak Gatot yang jalan sambil meraba dinding lorong sebelum masuk ke kamarku. Dia menyadari pintuku sedang terbuka dan segera saja duduk di antara gawang pintu.
Kami lebih sering diam dan aku lebih sering mendengarkan, apabila Pak Gatot mulai ingin tahu hidupku paling kujawab dengan sekenanya. Mungkin karena masih awal ya, jadi masing-masing merasa canggung. Lagian baru kali ini aku punya Bapak atau Ibu Kos yang sangat terbuka.
“Jangan dikunci ya, Kinan. Biar Bapak kalau butuh apa-apa saat malam hari, jadi lebih mudah soalnya Bu Sih sedang pulang. Badanku juga agak nggak enak.”
“Oh, iya Pak..” jawabku.
Pak Gatot seringkali memintaku untuk tidak mengunci pintu, sayangnya aku bukan tipe orang yang terbiasa tidak mengunci pintu kamar saat tidur. Biasanya Pak Gatot ke kamarku untuk memastikan obat yang harus dia minum, kalau tidak ya dia kesepian dan mengajak ngobrol tentang apapun.
Ohya, 3 bulan atau 4 bulan berikutnya aku memutuskan untuk berhenti dari kerja paruh waktu karena ingin fokus menyelesaikan skripsi. Berhubung ingin lebih hemat, aku memutuskan boyongan ke kamar kosong yang ada di dalam rumah Pak Gatot. Meskipun kamarnya lebih sempit, tapi setidaknya lebih bersih.
Rutinitas pagiku setelah pindah ke kamar dalam --yang letaknya ada di dekat dapur-- adalah membantu Pak Gatot untuk menyeduh kopi jahe kesukaannya lalu dilanjut dengan membereskan kamar, menyapu lantai kamarku sekaligus seisi rumah.
Semenjak aku tinggal di kamar dalam, interaksiku dengan Pak Gatot semakin intens. Karena beliau menganggapku tidak lagi sebagai anak yang indekos dengan pemilik indekos tetapi sebagai teman dan keluarga. Buktinya, aku sering dipanggil untuk makan bersama dengan Bu Sih juga meskipun dengan lauk pauk seadanya.
“Kinan…” suara berat Pak Gatot.
“Kinan..” panggilnya lagi.
“Ya Pak?” jawabku dengan malas namun kupaksakan karena harus bersikap dengan baik.
“Boleh duduk di sini? Aku nggak bisa tidur..” pinta Pak Gatot yang jalan sambil meraba dinding lorong sebelum masuk ke kamarku. Dia menyadari pintuku sedang terbuka dan segera saja duduk di antara gawang pintu.
Kami lebih sering diam dan aku lebih sering mendengarkan, apabila Pak Gatot mulai ingin tahu hidupku paling kujawab dengan sekenanya. Mungkin karena masih awal ya, jadi masing-masing merasa canggung. Lagian baru kali ini aku punya Bapak atau Ibu Kos yang sangat terbuka.
“Jangan dikunci ya, Kinan. Biar Bapak kalau butuh apa-apa saat malam hari, jadi lebih mudah soalnya Bu Sih sedang pulang. Badanku juga agak nggak enak.”
“Oh, iya Pak..” jawabku.
Pak Gatot seringkali memintaku untuk tidak mengunci pintu, sayangnya aku bukan tipe orang yang terbiasa tidak mengunci pintu kamar saat tidur. Biasanya Pak Gatot ke kamarku untuk memastikan obat yang harus dia minum, kalau tidak ya dia kesepian dan mengajak ngobrol tentang apapun.
Ohya, 3 bulan atau 4 bulan berikutnya aku memutuskan untuk berhenti dari kerja paruh waktu karena ingin fokus menyelesaikan skripsi. Berhubung ingin lebih hemat, aku memutuskan boyongan ke kamar kosong yang ada di dalam rumah Pak Gatot. Meskipun kamarnya lebih sempit, tapi setidaknya lebih bersih.
Rutinitas pagiku setelah pindah ke kamar dalam --yang letaknya ada di dekat dapur-- adalah membantu Pak Gatot untuk menyeduh kopi jahe kesukaannya lalu dilanjut dengan membereskan kamar, menyapu lantai kamarku sekaligus seisi rumah.
Semenjak aku tinggal di kamar dalam, interaksiku dengan Pak Gatot semakin intens. Karena beliau menganggapku tidak lagi sebagai anak yang indekos dengan pemilik indekos tetapi sebagai teman dan keluarga. Buktinya, aku sering dipanggil untuk makan bersama dengan Bu Sih juga meskipun dengan lauk pauk seadanya.
Spoiler for Part 3:
AKU mengupas bawang merah di dapur, sedangkan ibuku meniriskan sayur. Memasak dengan ibu adalah ritual ketika pulang di akhir pekan. Di sela memasak kami bisa bercanda dan membicarakan apa saja.
“Gimana kos yang baru? Betah?” tanya Ibu.
‘Ya, betah-betah aja, Bu.” jawabku seadanya.
“Tahu nggak sih Bu, Pak Gatot itu ternyata dicerai istrinya dan anaknya ikut dengan ibunya. Istrinya kerja di salah satu BUMN. Bisa masuk situ karena campur tangan Pak Gatot. Kasihan ya Bu..”
“Ee.. terus sekarang tinggal sendirian dong?”
“Ya ada Ibu Sih yang nemani tapi ya ndak sepanjang hari. Bu Sih biasanya pulang pas sore, balik kesitu besok paginya.”
“Kesibukannya Pak Gatot ngapain aja, Kin?”
“Biasaya sih ada panggilan buat mendongeng di acara gitu, kalau nggak gitu ngajarin mendongeng mahasiswa-mahasiswi Psikologi. Selain itu ya di rumah, Bu. Kadang ada
pertemuan, teman-temannya datang terus bahas apapun setelah itu makan bareng.”
“Kapan-kapan lah Ibu dan Bapak main kesana ya, sekalian jenguk kamu..”
Ibu acap kali menyediakan oleh-oleh khusus yang harus aku bawa setiap balik ke Surabaya, untuk Pak Gatot dan Bu Sih katanya. Sekadar balas budi karena aku sering numpang makan di rumahnya.
Selain sering dikasih makan, asyiknya kamar di dalam adalah jauh lebih hemat dari segi harga sewanya. Nggak enaknya adalah ruang privasiku menyempit, aku pun kurang leluasa apabila mengajak teman singgah di kosan. Rasanya segan untuk terbahak-bahak, karena pendengaran Pak Gatot yang sensitif. Ia tak begitu suka dengan kegaduhan. Pernah sekali ada temanku, si Hera yang berkunjung ke kosan untuk memberikan titipanku namun dia mengguncang pagar sekali supaya aku lekas keluar kos. Malanya langsung memanggilku seperti guru BP memanggil murid karena sudah melakukan kenakalan. Ia berkeluh kesah tentang temanku yang kurang santun dan bla..bla..bla. Lagi-lagi aku hanya menanggapinya dengan cengiran sambil meminta maaf untuk mencairkan suasana.
“Gimana kos yang baru? Betah?” tanya Ibu.
‘Ya, betah-betah aja, Bu.” jawabku seadanya.
“Tahu nggak sih Bu, Pak Gatot itu ternyata dicerai istrinya dan anaknya ikut dengan ibunya. Istrinya kerja di salah satu BUMN. Bisa masuk situ karena campur tangan Pak Gatot. Kasihan ya Bu..”
“Ee.. terus sekarang tinggal sendirian dong?”
“Ya ada Ibu Sih yang nemani tapi ya ndak sepanjang hari. Bu Sih biasanya pulang pas sore, balik kesitu besok paginya.”
“Kesibukannya Pak Gatot ngapain aja, Kin?”
“Biasaya sih ada panggilan buat mendongeng di acara gitu, kalau nggak gitu ngajarin mendongeng mahasiswa-mahasiswi Psikologi. Selain itu ya di rumah, Bu. Kadang ada
pertemuan, teman-temannya datang terus bahas apapun setelah itu makan bareng.”
“Kapan-kapan lah Ibu dan Bapak main kesana ya, sekalian jenguk kamu..”
Ibu acap kali menyediakan oleh-oleh khusus yang harus aku bawa setiap balik ke Surabaya, untuk Pak Gatot dan Bu Sih katanya. Sekadar balas budi karena aku sering numpang makan di rumahnya.
Selain sering dikasih makan, asyiknya kamar di dalam adalah jauh lebih hemat dari segi harga sewanya. Nggak enaknya adalah ruang privasiku menyempit, aku pun kurang leluasa apabila mengajak teman singgah di kosan. Rasanya segan untuk terbahak-bahak, karena pendengaran Pak Gatot yang sensitif. Ia tak begitu suka dengan kegaduhan. Pernah sekali ada temanku, si Hera yang berkunjung ke kosan untuk memberikan titipanku namun dia mengguncang pagar sekali supaya aku lekas keluar kos. Malanya langsung memanggilku seperti guru BP memanggil murid karena sudah melakukan kenakalan. Ia berkeluh kesah tentang temanku yang kurang santun dan bla..bla..bla. Lagi-lagi aku hanya menanggapinya dengan cengiran sambil meminta maaf untuk mencairkan suasana.
Spoiler for Part 5:
PAK GATOT adalah perokok aktif, pernah suatu malam Pak Gatot mengetuk pintu kamarku untuk menermaninya berjalan kaki ke toko kelontong terdekat. Kami berjalan perlahan, karena tangan kirinya memegang tongkat lalu tangan kanannya ada atas bahu kiriku. Berjalan kaki bersamanya sangat melatihku untuk jadi pribadi yang lebih sabar. Langkahku harus melambat menyesuaikan langkahnya, selain itu harus memberi aba-aba apabila ada polisi tidur dan sebagainya.
Apabila senggang, aku sering menemani Pak Gatot untuk jalan kaki di pagi hari, bahkan diajak ke pusat perbelanjaan belanja kebutuhan bulanan. Pak Gatot termasuk orang yang cukup aktif di komunitasnya, jadi sesekali ada acara makan bersama di rumahnya. Aku pun dengan senang hati membantu Bu Sih untuk memasak dan menyiapkan makanan.
Lucu sekali ketika para tunanetra ini berkumpul, bertukar kabar tanpa harus berhadapan. Karena mereka duduk kurang beraturan, makan pun begitu. Mereka tetap ceria dan tak ingin dianggap berbeda, buktinya mereka tak gagap teknologi. Handphone mereka lebih canggih karena setiap memencet tombol akan ada suara perempuan yang akan memandu. Salute!
“Besok sibuk nggak? Kalau nggak sibuk, ikut aku ya, Kin.” ajak Pak Gatot.
“Nggak sibuk kayaknya, Pak. Memangnya mau kemana?” tanyaku.
“Ada pentas ke kampusmu, ada undangan.”
Itu adalah pertama kali aku ikut Pak Gatot dan Bu Sih saat ada undangan pentas. Sebelumnya Pak Gatot meminta tolong aku menjadi operatornya, namun seringnya aku makan gaji buta. Karena kurang koordinasi, aku pernah mengacaukan pentasnya gara-gara musik yang kuputar sempat tersendat.
Pak Gatot dan Bu Sih sudah kuanggap sebagai keluarga. Selama ini aku tak pernah memusingkan sebenarnya hubungan mereka seperti apa, sampai Bu Sih sering kali berkeluh kesah tentang perilaku suaminya yang sangat kasar ke Pak Gatot. Mereka berdua tak segan membeberkan cerita pribadinya padaku.
Saking sudah merasa akrab, Pak Gatot sempat merengek minta dibonceng naik motorku. Awalnya karena penasaran saja seberapa tangguh motorku saat membonceng Pak Gatot. Kami biasanya pergi tak jauh dari kos. Paling hanya membeli rokok kemudian berkeliling kompleks. Apabila kami sedang berdua, pinta Pak Gatot suka aneh-aneh. Seperti ingin meraba wajahku, karena ia ingin sekali membayangkan bagaimana rupaku.
Makin lama aku merasa ada yang berubah dari sosok Pak Gatot. Suatu malam, saat aku mengantarnya membeli rokok. Ia duduk di belakangku dengan kedua tangan bertumpu pada kedua bahuku. Semakin lama, aku merasa tubuhnya semakin condong ke depan dan itu cukup membuatku risih.
Apabila senggang, aku sering menemani Pak Gatot untuk jalan kaki di pagi hari, bahkan diajak ke pusat perbelanjaan belanja kebutuhan bulanan. Pak Gatot termasuk orang yang cukup aktif di komunitasnya, jadi sesekali ada acara makan bersama di rumahnya. Aku pun dengan senang hati membantu Bu Sih untuk memasak dan menyiapkan makanan.
Lucu sekali ketika para tunanetra ini berkumpul, bertukar kabar tanpa harus berhadapan. Karena mereka duduk kurang beraturan, makan pun begitu. Mereka tetap ceria dan tak ingin dianggap berbeda, buktinya mereka tak gagap teknologi. Handphone mereka lebih canggih karena setiap memencet tombol akan ada suara perempuan yang akan memandu. Salute!
“Besok sibuk nggak? Kalau nggak sibuk, ikut aku ya, Kin.” ajak Pak Gatot.
“Nggak sibuk kayaknya, Pak. Memangnya mau kemana?” tanyaku.
“Ada pentas ke kampusmu, ada undangan.”
Itu adalah pertama kali aku ikut Pak Gatot dan Bu Sih saat ada undangan pentas. Sebelumnya Pak Gatot meminta tolong aku menjadi operatornya, namun seringnya aku makan gaji buta. Karena kurang koordinasi, aku pernah mengacaukan pentasnya gara-gara musik yang kuputar sempat tersendat.
Pak Gatot dan Bu Sih sudah kuanggap sebagai keluarga. Selama ini aku tak pernah memusingkan sebenarnya hubungan mereka seperti apa, sampai Bu Sih sering kali berkeluh kesah tentang perilaku suaminya yang sangat kasar ke Pak Gatot. Mereka berdua tak segan membeberkan cerita pribadinya padaku.
Saking sudah merasa akrab, Pak Gatot sempat merengek minta dibonceng naik motorku. Awalnya karena penasaran saja seberapa tangguh motorku saat membonceng Pak Gatot. Kami biasanya pergi tak jauh dari kos. Paling hanya membeli rokok kemudian berkeliling kompleks. Apabila kami sedang berdua, pinta Pak Gatot suka aneh-aneh. Seperti ingin meraba wajahku, karena ia ingin sekali membayangkan bagaimana rupaku.
Makin lama aku merasa ada yang berubah dari sosok Pak Gatot. Suatu malam, saat aku mengantarnya membeli rokok. Ia duduk di belakangku dengan kedua tangan bertumpu pada kedua bahuku. Semakin lama, aku merasa tubuhnya semakin condong ke depan dan itu cukup membuatku risih.
Spoiler for Part 6:
‘Kinan, sibuk nggak?”
“Emm, biasa saja Pak. Kenapa?”
“Bantu aku merangkai gelang dong.”
Lantas aku mengakhiri aktivitas terakhirku dan beranjak. Aku bersila tak jauh dari Pak Gatot. Dia memberiku instruksi untuk memotongkan senar dan merangkai ulang gelang.
“Yah, begini lah aku mengisi waktu luang. Aku suka pakai gelang dan kalung, ya namanya juga seniman.” katanya.
Sejujurnya aku paling malas kalau disuruh merangkai kalung atau gelang, alasannya karena aku kurang telaten. Kegiatan yang monoton kerap membuatku mengantuk. Tetapi demi menjaga perasaan Pak Gatot, aku lakukan.
Setelah menyelesaikan rangkaian gelang, Pak Gatot menahanku untuk tidur di kamar. Ia memintaku menemaninya untuk tidur di ruang televisi. Di sana ada dua kasur yang digelar di depan televisi.
“Aduh, harus banget saya tidur di depan Pak?” tanyaku.
“Iya, nemani aku Kinan.”
“Saya nggak biasa kalau nggak tidur di kamar, Pak” aku mencoba mengelak.
“Ayo lah, temani aku Kin.”
“Ya..yaa.. Oke.” jawabku dengan berat hati.
Meskipun Pak Gatot dan aku sudah cukup akrab, namun ada perasaan cemas saat aku tidur dalam 1 ruangan dengan lelaki yang masih terasa asing. Akhirnya aku tidur dengan memeluk semprotan obat nyamuk. Jaga-jaga kalau Pak Gatot macam-macam. Aku tak bisa tidur nyenyak dan akhirnya tengah malam aku berjingkat-jingkat menuju kamar.
“Kamu semalam pindah ke kamar jam berapa, Kin?” tanya Pak Gatot saat aku menyodorkan kopi jahe.
“Hehe.. iya, saya pindah ke kamar sebelum shubuh kayaknya. Habis nggak bisa tidur, Pak.”
“Emm, biasa saja Pak. Kenapa?”
“Bantu aku merangkai gelang dong.”
Lantas aku mengakhiri aktivitas terakhirku dan beranjak. Aku bersila tak jauh dari Pak Gatot. Dia memberiku instruksi untuk memotongkan senar dan merangkai ulang gelang.
“Yah, begini lah aku mengisi waktu luang. Aku suka pakai gelang dan kalung, ya namanya juga seniman.” katanya.
Sejujurnya aku paling malas kalau disuruh merangkai kalung atau gelang, alasannya karena aku kurang telaten. Kegiatan yang monoton kerap membuatku mengantuk. Tetapi demi menjaga perasaan Pak Gatot, aku lakukan.
Setelah menyelesaikan rangkaian gelang, Pak Gatot menahanku untuk tidur di kamar. Ia memintaku menemaninya untuk tidur di ruang televisi. Di sana ada dua kasur yang digelar di depan televisi.
“Aduh, harus banget saya tidur di depan Pak?” tanyaku.
“Iya, nemani aku Kinan.”
“Saya nggak biasa kalau nggak tidur di kamar, Pak” aku mencoba mengelak.
“Ayo lah, temani aku Kin.”
“Ya..yaa.. Oke.” jawabku dengan berat hati.
Meskipun Pak Gatot dan aku sudah cukup akrab, namun ada perasaan cemas saat aku tidur dalam 1 ruangan dengan lelaki yang masih terasa asing. Akhirnya aku tidur dengan memeluk semprotan obat nyamuk. Jaga-jaga kalau Pak Gatot macam-macam. Aku tak bisa tidur nyenyak dan akhirnya tengah malam aku berjingkat-jingkat menuju kamar.
“Kamu semalam pindah ke kamar jam berapa, Kin?” tanya Pak Gatot saat aku menyodorkan kopi jahe.
“Hehe.. iya, saya pindah ke kamar sebelum shubuh kayaknya. Habis nggak bisa tidur, Pak.”
Spoiler for Part 7:
TERDENGAR ada sepeda motor berhenti di depan kos, rupanya itu adalah Pak Win, suami Bu Sih. Biasanya kemari untuk makan, kalau tidak membantu memperbaiki sesuatu di rumah Pak Gatot. Atau Pak Gatot ingin memberikan sesuatu padanya. Namun kali ini berbeda, raut mukanya penuh dengan amarah.
Aku hanya duduk tercenung, ditemani televisi yang masih menyala dan bersuara. Merasa tak enak, aku melipir ke kamar. Pak Win dan Pak Gatot sedang bersitegang, sampai menyertakan Pak RT sebagai mediator.
Konflik antara Bu Sih dan Pak Win semakin parah, puncaknya adalah hari itu. Kejadian sore itu telah mengubah kehidupan orang di sekitarku. Bu Sih tengah menyiapkan berkas-berkas untuk mengajukan cerai, aku turut membantu untuk mengumpulkan mengenai ketentuannya.
"Mending kamu pindah kosan, Mba. Kamu harus hati-hati dengan Pak Gatot. Dia sudah merebut istriku. Kamu cuma dimanfatkan saja. Jadi mending cepat-cepat pergi." sebuah pesan singkat.
Pesan yang cukup mengoyak malamku. Aku bisa menebak siapa pengirimnya meski nomornya belum tersimpan di handphoneku. Tak habis pikir Pak Win nekat mengirimiku pesan seperti itu dan tahu nomorku darimana. Sementara hanya bisa kusimpan rapat.
Aku tak mengindahkan pesan singkat itu sampai Pak Gatot meminta bantuanku untuk memutarkan sebuah kaset CD.
“Aku pengin nonton film, tolong putarkan dan temani aku nonton.” pintanya.
“Iya, sebentar ya Pak.” jawabku sambil menyalakan VCD player yang sepertinya jarang sekali digunakan.
“Film berhasil diputar tetapi kok nggak ada suaranya ya..” imbuhku.
“Volumenya sudah kamu besarkan?” tanya Pak Gatot.
“Sudah, tetapi tetap saja nggak ada suaranya. Film apa sih ini, Pak?” tanyaku penasaran.
“Film Cina, action gitu tetapi ada seminya.”
“Wah..” aku tertegun.
“Kenapa? Kinan nggak suka film begituan to?”
“Ya, kurang suka aja, Pak.”
“Masak sih nggak suka..”
“I..iya, Pak. Wah, tetap nggak bisa nih, Pak.”
“Yah, masak sih nggak bisa?”
“Nggak bisa beneran ini, Pak. Saya balik ke kamar aja ya”
“Mbok di sini dulu to, temani saya”
“Aduh, ada kerjaan Pak”
“Yah, yaudah..”
Aku cukup lega berhasil menolak secara halus. Aku masih tak percaya dengan kejadian barusan. Mengajakku nonton film semi kemudian, menutup semua kelambu. Pikiranku penuh dengan prasangka buruk. Aku jadi teringat obrolan di sebuah sore.
“Kamu suka nonton film nggak?” tanya Pak Gatot.
“Suka, Pak..”
“Kalau nonton film semi gimana? Ikut basah nggak?”
“Biasa aja ah, Pak”
“Beneran? Biasanya kan cewek kalau nonton adegan dewasa pasti ikut lembab itunya.”
Aku sungguh keheranan apa maksud Pak Gatot membahas itu lalu beberapa hari kemudian ia mengajakku untuk menonton film yang ada adegan dewasanya.
Aku hanya duduk tercenung, ditemani televisi yang masih menyala dan bersuara. Merasa tak enak, aku melipir ke kamar. Pak Win dan Pak Gatot sedang bersitegang, sampai menyertakan Pak RT sebagai mediator.
Konflik antara Bu Sih dan Pak Win semakin parah, puncaknya adalah hari itu. Kejadian sore itu telah mengubah kehidupan orang di sekitarku. Bu Sih tengah menyiapkan berkas-berkas untuk mengajukan cerai, aku turut membantu untuk mengumpulkan mengenai ketentuannya.
"Mending kamu pindah kosan, Mba. Kamu harus hati-hati dengan Pak Gatot. Dia sudah merebut istriku. Kamu cuma dimanfatkan saja. Jadi mending cepat-cepat pergi." sebuah pesan singkat.
Pesan yang cukup mengoyak malamku. Aku bisa menebak siapa pengirimnya meski nomornya belum tersimpan di handphoneku. Tak habis pikir Pak Win nekat mengirimiku pesan seperti itu dan tahu nomorku darimana. Sementara hanya bisa kusimpan rapat.
Aku tak mengindahkan pesan singkat itu sampai Pak Gatot meminta bantuanku untuk memutarkan sebuah kaset CD.
“Aku pengin nonton film, tolong putarkan dan temani aku nonton.” pintanya.
“Iya, sebentar ya Pak.” jawabku sambil menyalakan VCD player yang sepertinya jarang sekali digunakan.
“Film berhasil diputar tetapi kok nggak ada suaranya ya..” imbuhku.
“Volumenya sudah kamu besarkan?” tanya Pak Gatot.
“Sudah, tetapi tetap saja nggak ada suaranya. Film apa sih ini, Pak?” tanyaku penasaran.
“Film Cina, action gitu tetapi ada seminya.”
“Wah..” aku tertegun.
“Kenapa? Kinan nggak suka film begituan to?”
“Ya, kurang suka aja, Pak.”
“Masak sih nggak suka..”
“I..iya, Pak. Wah, tetap nggak bisa nih, Pak.”
“Yah, masak sih nggak bisa?”
“Nggak bisa beneran ini, Pak. Saya balik ke kamar aja ya”
“Mbok di sini dulu to, temani saya”
“Aduh, ada kerjaan Pak”
“Yah, yaudah..”
Aku cukup lega berhasil menolak secara halus. Aku masih tak percaya dengan kejadian barusan. Mengajakku nonton film semi kemudian, menutup semua kelambu. Pikiranku penuh dengan prasangka buruk. Aku jadi teringat obrolan di sebuah sore.
“Kamu suka nonton film nggak?” tanya Pak Gatot.
“Suka, Pak..”
“Kalau nonton film semi gimana? Ikut basah nggak?”
“Biasa aja ah, Pak”
“Beneran? Biasanya kan cewek kalau nonton adegan dewasa pasti ikut lembab itunya.”
Aku sungguh keheranan apa maksud Pak Gatot membahas itu lalu beberapa hari kemudian ia mengajakku untuk menonton film yang ada adegan dewasanya.
Spoiler for Part 8:
Di rumah, aku biasa memijat Bapakku dengan teknik injak. Kakiku menginjak pelan mulai dari betis sampai paha, lalu punggung. Aku pernah bercerita tentang itu pada Pak Gatot sampai akhirnya ia memintaku untuk memijatnya menggunakan kaki. Sesekali aku memijatnya dengan salah satu kakiku.
Semenjak kejadian ajakan nonton film di pekan lalu, aku agak menjaga jarak dengan Pak Gatot. Lalu setelah aku mulai biasa saja, Pak Gatot meminta tolong untuk memijitnya namun kali ini tidak dengan kaki. Pak Gatot punya alat pijat yang harus disambungkan dengan aliran listrik lalu alat tersebut bergetar dengan level yang bisa disetel.
“Kamu nggak lagi ngapa-ngapain kan?” tanyanya.
“Nonton televisi aja sih, Pak.”
‘Yaudah, minta tolong untuk pijitin aku ya. Aku nggak enak badan. Nyalain alat pijitnya, Kinan”
“Kurang kenceng nggak, Pak?”
“Naikin ke level 2 aja.”
“Segini cukup?”
“Iya, segitu aja. Mulai dari tangan ya..”
“Oke..”
“Enak banget, Kinan.. Sekarang gantian kaki dong”
“Ya, Pak.. kalau sakit bilang ya”
“Ah, enak banget.. Naik ke atas lagi coba..”
Entah Pak Gatot sedang sadar atau tidak, ketika alat pijitnya menjamah di area lututnya, ia menyibakkan sarungnya dalam keadaan telentang. Aku yang sedang terkantuk-kantung kaget setengah mati. Aku tak sempat melihat apakah dia menggunakan celana dalam atau tidak tetapi itu menurutku sangat tidak pantas.
“Aduh, udah ah. Capek, Pak!” keluhku sambil menghindari memandang pangkal pahanya.
“Bentar lagi laah” Pak Gatot mencoba menahanku.
“Duh, pegel tangan saya Pak”
“Yaudah..yaudah. Makasih banyak ya, Kinan.”
“Saya ke kamar ya, Pak. Mau istirahat.”
“Di sini aja, Kinan”
“Nanti aja lah, Pak. Saya ingin ngaso di kamar” kataku sambil berlalu setelah mengemas peralatan memijat.
Sialan! Aku benar-benar masih tidak menyangka apa yang terjadi. Aku kembali teringat kejadian ajakan nonton film semi.
Setelah rentetan kejadian yang menurutku kurang menyenangkan itu aku benar-benar menjaga jarak. Kejadian itu membuatku semakin rajin ke kampus dengan tekad supaya lulus lebih cepat. Karena itu satu-satunya jalan untuk segera pergi dari sini, dari rumah laknat ini. Semenjak itu pikiranku dipenuhi dengan prasangka buruk pada Pak Gatot. Hingga akhirnya aku lulus kuliah dan setelah wisuda akhirnya bisa segera berpamitan.
Semenjak kejadian ajakan nonton film di pekan lalu, aku agak menjaga jarak dengan Pak Gatot. Lalu setelah aku mulai biasa saja, Pak Gatot meminta tolong untuk memijitnya namun kali ini tidak dengan kaki. Pak Gatot punya alat pijat yang harus disambungkan dengan aliran listrik lalu alat tersebut bergetar dengan level yang bisa disetel.
“Kamu nggak lagi ngapa-ngapain kan?” tanyanya.
“Nonton televisi aja sih, Pak.”
‘Yaudah, minta tolong untuk pijitin aku ya. Aku nggak enak badan. Nyalain alat pijitnya, Kinan”
“Kurang kenceng nggak, Pak?”
“Naikin ke level 2 aja.”
“Segini cukup?”
“Iya, segitu aja. Mulai dari tangan ya..”
“Oke..”
“Enak banget, Kinan.. Sekarang gantian kaki dong”
“Ya, Pak.. kalau sakit bilang ya”
“Ah, enak banget.. Naik ke atas lagi coba..”
Entah Pak Gatot sedang sadar atau tidak, ketika alat pijitnya menjamah di area lututnya, ia menyibakkan sarungnya dalam keadaan telentang. Aku yang sedang terkantuk-kantung kaget setengah mati. Aku tak sempat melihat apakah dia menggunakan celana dalam atau tidak tetapi itu menurutku sangat tidak pantas.
“Aduh, udah ah. Capek, Pak!” keluhku sambil menghindari memandang pangkal pahanya.
“Bentar lagi laah” Pak Gatot mencoba menahanku.
“Duh, pegel tangan saya Pak”
“Yaudah..yaudah. Makasih banyak ya, Kinan.”
“Saya ke kamar ya, Pak. Mau istirahat.”
“Di sini aja, Kinan”
“Nanti aja lah, Pak. Saya ingin ngaso di kamar” kataku sambil berlalu setelah mengemas peralatan memijat.
Sialan! Aku benar-benar masih tidak menyangka apa yang terjadi. Aku kembali teringat kejadian ajakan nonton film semi.
Setelah rentetan kejadian yang menurutku kurang menyenangkan itu aku benar-benar menjaga jarak. Kejadian itu membuatku semakin rajin ke kampus dengan tekad supaya lulus lebih cepat. Karena itu satu-satunya jalan untuk segera pergi dari sini, dari rumah laknat ini. Semenjak itu pikiranku dipenuhi dengan prasangka buruk pada Pak Gatot. Hingga akhirnya aku lulus kuliah dan setelah wisuda akhirnya bisa segera berpamitan.
Spoiler for The End:
Malang, Februari 2015
Sampai saat ini tidak ada yang tahu bahwa aku, Kinanti Asmara Bumi pernah diperlakukan demikian oleh orang yang dikenal baik oleh teman-teman, keluargaku. Kadang aku masih merasa geli atau bahkan merasa ternoda apabila mengingat pengalamanku di rumah nomor 22 itu. Mau-maunya aku diperlakukan seperti itu. Untungnya Tuhan masih melindungi dan keadaanku cukup baik-baik saja saat ini.
Aku berharap pengalaman itu cukup sekali saja dan tidak akan terulang dalam hidupku apalagi kamu ikut mengalaminya --amit-amit jangan sampai. Sudah selayaknya sebagai perempuan harus bisa menjaga dirinya sendiri dan berani berkata TIDAK.

Terima kasih banyak telah membaca sampai bawah 


Diubah oleh almiraqq 12-02-2018 22:06


anasabila memberi reputasi
1
1.3K
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan