pantauansayaAvatar border
TS
pantauansaya
Aborsi, Suara Hati Perempuan Dengan Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD)
Berbicara mengenai aborsi sama dengan berbicara dunia perempuan. Pasalnya, persoalan aborsi tidak lain merupakan persoalan wanita, yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Selama ini, masih banyak pihak yang memandang aborsi secara pro dan kontra. Bahkan, pemerintah maupun masyarakat cenderung menutup mata dengan alasan dibalik tindakan aborsi, menghakimi perempuan yang melakukannya sebagai pelaku tunggal dibalik tindakan tersebut.

Aborsi Penyebab Tertinggi Kematian Ibu di Indonesia

Setiap tahun, sekitar 2 juta perempuan di Indonesia memutuskan melakukan aborsi dengan alasan Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Dari jumlah tersebut, sebagian besar pelaku menjalani aborsi dengan metode yang tidak aman.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kesehatan UI bersama Yayasan Kesehatan Perempuan pada tahun 2003, tercatat 87% pelaku yang melakukan aborsi merupakan perempuan bersuami. Sementara 12% diantaranya merupakan remaja putri. Data-data yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan riset klinis, yang didapatkan dari klinik, rumah sakit atau Puskesmas.

Namun, penelitian tersebut tidak menjangkau tindakan aborsi ilegal yang pelakunya mayoritas perempuan pra-nikah. Pasalnya, perempuan pra-nikah yang ingin melakukan aborsi cenderung merasa sungkan sekaligus tidak mudah untuk mendapatkan akses pelayanan Puskesmas, rumah sakit maupun klinik aborsi. Selain terbentur dengan persyaratan yang berhubungan dengan status, usia dan faktor ekonomi juga menjadi beberapa penyebabnya.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan kematian ibu yang tertinggi di ASEAN. Salah satu faktor penyebab kematian ibu di Indonesia tidak lain adalah pendarahan. Kasus pendarahan tersebut sebagian besar terjadi akibat tindakan aborsi tidak aman. Sekitar 13-50% kasus kematian akibat perdarahan disebabkan oleh aborsi.

Pada tahun 2006, WHO mencatatkan kasus aborsi meningkat menjadi 2,3 juta kasus per tahun. Diperkirakan terjadi sekitar 6.301 kasus aborsi setiap hari atau 4 kejadian setiap detiknya. Selain itu, ditemukan bahwa 70% pelaku aborsi merupakan perempuan bersuami.



Selama ini, persoalan KTD seakan menempatkan perempuan sebagai pihak paling bertanggung jawab dan terbebani. Saat seorang perempuan dengan KTD menginginkan pelayanan aborsi yang aman, tidak banyak pihak yang bersedia mengulurkan bantuan. Hal tersebut dikarenakan dokter menganggap bahwa tindakan aborsi merupakan kejahatan terhadap nyawa. Sebagai akibatnya, kebanyakan perempuan memutuskan melakukan aborsi secara ilegal dengan bantuan obat-obatan atau dukun pijat.

Saat terjadi KTD, perempuan hanya memiliki 3 pilihan, yakni menjadi ibu, aborsi atau adopsi. Tidak sedikit perempuan dengan KTD di luar nikah memilih untuk melakukan aborsi. Apakah aborsi memang menjadi jalan terbaik tanpa adanya konsekuensi yang fatal? Bukankah aborsi tidak boleh dilakukan dengan cara apapun karena dianggap melanggar moral, etika dan tindak kejahatan?

Pengertian Aborsi Menurut Berbagai Pihak

Kees Berten menyampaikan bahwa kata aborsi berasal dari bahasa Inggris “Abortion” yang mengacu pada dua arti, yakni abortus spontan dan abortus yang disengaja. Adapun abortus spontan merupakan keguguran (mengeluarkan janin yang belum waktunya lahir secara tidak sengaja). Sementara abortus yang disengaja merupakan tindakan mengeluarkan janin secara sengaja dengan suatu alasan tertentu dan itu dianggap bertentangan dengan undang-undang.

Abortus yang disengaja dapat dibedakan menjadi:

1. Abortus buatan (terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan),
2. Abortus terapeutik (dilakukan atas dasar alasan medis demi kepentingan sang ibu, baik secara fisik, sosial maupun mental),
3. Abortus non terapeutik (dilakukan bukan atas dasar alasan medis).

Menurut WHO, aborsi merupakan penghentian kehamilan yang dilakukan sebelum janin berusia 20 minggu karena secara medis janin dianggap tidak mampu bertahan hidup di luar kandungan. Sebaliknya, penghentian kehamilan setelah janin berusia lebih dari 20 minggu dianggap sebagai pembunuhan janin (infanticide).

Pro dan Kontra Aborsi Dalam Koridor Agama, Undang-undang, dan Medis

Pihak yang setuju terhadap tindakan abortus menekankan hak perempuan yang melakukan tindakan tersebut dalam mengambil keputusan mengenai tubuhnya sendiri. Sedangkan pihak yang kontra cenderung mengklaim abortus sebagai tindakan tidak etis dengan menggarisbawahi hak fetus dalam kandungan.

Dikaitkan dengan koridor agama, banyak pandangan yang menganggap aborsi merupakan dosa besar dan hukumnya haram. Dalam Islam, terdapat berbagai pandangan mengenai aborsi, antara lain:

1. Di Indonesia, perempuan dilarang menggugurkan kandungan dengan usia berapa pun.
2. Beberapa aliran mengharamkan penggunaan alat kontrasepsi.
3. Ada beberapa aliran yang menyetujui aborsi yang dilakukan sebelum kandungan berusia 40 hari.
4. Muhammad Ibn Abi Said menjadi salah satu pihak yang memperbolehkan pengguguran kandungan sebelum berusia 80 hari.
5. Ada pihak yang menyatakan pengguguran kandungan sebelum berusia 120 hari bukanlah tindakan pembunuhan.

Beberapa Gereja Katolik juga diketahui menyetujui aborsi, baik secara terbuka maupun diam-diam. Adapun Gereja Katolik yang dengan terbuka menyetujui aborsi yakni Future Church di Cleveland Ohio. Sejumlah jemaat gereja yang didirikan pada tahun 1990 tersebut, mencoba menghentikan penghujatan terhadap tindakan aborsi dengan bergabung dalam Catholic for Free Choice (CFC).

CFC turut menandatangani pernyataan yang dipublikasikan di New York Times pada tanggal 7 Oktober 1984 lalu. Disebutkan dalam pernyataan tersebut bahwa tradisi Gereja Katolik memiliki lebih dari satu pandangan tentang aborsi. Dengan begitu pelaku aborsi tidak semestinya dijuluki sebagai pendosa.

Dalam sains maupun praktik kedokteran, terdapat berbagai pandangan berbeda mengenai aborsi. Meskipun beberapa dokter dengan tegas menyatakan tindakan tersebut sebagai pembunuhan, beberapa lainnya menyatakan bahwa embrio dengan usia kurang dari 3 bulan, hak hidupnya masih bergantung pada badan yang mengandungnya.

Indonesia sendiri melarang tindakan aborsi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kendati demikian, terdapat pengecualian atas larangan tersebut untuk dua kondisi berikut ini:

- Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak kehamilan usia dini, baik yang mengancam jiwa dan/atau janin, menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, atau tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi terkait hidup di luar kandungan; atau
- Kehamilan akibat rudapaksaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban rudapaksaan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang sudah disebutkan di atas dianggap sebagai aborsi ilegal.

Alasan dan Risiko Tindakan Aborsi

Alasan yang mendasari seseorang melakukan aborsi sangat beragam, antara lain:

1. Malu pada keluarga maupun masyarakat karena hamil,
2. Faktor genetika,
3. Masalah keuangan,
4. Kesehatan mental,
5. Terlalu tua atau muda untuk hamil,
6. Masih menempuh pendidikan,
7. Alasan pribadi untuk menunda/tidak memiliki anak,
8. Masalah hubungan dengan pasangan, inses, atau dirudapaksa,
9. Alasan kesehatan.

Selain itu, aborsi umumnya dilakukan dengan cara-cara berikut ini:

1. Dilakukan sendiri menggunakan obat-obatan, jamu peluntur, atau makanan dan minuman penggugur kandungan,
2. Mendatangi rumah sakit,
3. Mendatangi klinik aborsi,
4. Mendatangi dukun pijat.

Selama ini masyarakat beranggapan bahwa setelah melakukan aborsi, perempuan cenderung merasakan lega. Benarkah demikian? Faktanya, berdasarkan penelitian, para pelaku aborsi menunjukkan reaksi yang sangat beragam. Beberapa diantaranya mengaku merasa takut, malu, marah, percaya diri, nyaman, kecewa, bingung, bersalah, sedih, terjebak, bodoh atau bahkan tidak bisa merasakan apa-apa setelah menjalani aborsi.

Hingga saat ini, tidak banyak yang belum memahami bahwa aborsi memiliki risiko yang sangat berbahaya dari segi medis, khususnya aborsi yang dilakukan tidak aman atau ilegal. Beberapa kondisi di bawah ini merupakan risiko dari tindakan aborsi:

1. Infeksi pasca aborsi

Umumnya, infeksi pasca aborsi bertahan dalam waktu lama. Terlebih tidak semua perempuan yang telah melakukan aborsi cukup berani memeriksakan diri ke dokter. Rasa sakit terus menerus akibat infeksi pasca aborsi ini juga mengakibatkan trauma.

2. Trauma

Beberapa perempuan menjalani aborsi bukan atas keinginannya sendiri, seperti dipaksa oleh pasangan maupun keluarganya. Hal semacam ini tentunya menyebabkan trauma tersendiri setelah melakukan aborsi.

3. Post Abortion Syndrome (rasa bersalah)

Rasa bersalah dapat muncul akibat perempuan yang melakukan aborsi meyakini bahwa tindakannya merupakan sesuatu yang salah di dalam sistem keyakinannya. Namun, kondisi tertentu ia terpaksa harus memilih melakukan aborsi.
Diubah oleh pantauansaya 22-05-2018 10:44
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
4.3K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan