- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Para Pengemis di Bali Sanggup Setor Rp 1,5 Juta Per Bulan Agar Tak Diciduk


TS
donex.donkeng
Para Pengemis di Bali Sanggup Setor Rp 1,5 Juta Per Bulan Agar Tak Diciduk
Quote:

TRIBUNNEWS.COM, MANGUPURA- Komandan Regu Satpol PP Kuta, Badung, I Nengah Wika mengungkapkan betapa besarnya penghasilan para pengemis yang meraup duit di kawasan Kuta, Badung.
Saking besarnya penghasilan, suatu kali mereka sanggup memberi pelicin kepada petugas Satpol PP Badung sebesar Rp 1,5 juta per bulan agar tak diciduk.
"Suatu kali sempat kami pancing untuk mengetahui berapa besar penghasilan mereka. Sewaktu kami tangkap, saya pura-pura tanya kepada mereka `kamu bolak-balik kena tangkap, gimana kalau kamu kerja sama dengan Satpol PP? Berani bayar berapa kamu?` Nah ternyata mereka berani setor Rp 1,5 juta. Bayangkan, kalau masing-masing berani bayar Rp 1,5 juta, jelas penghasilan mereka besar," ungkap Wika kepada Tribun Bali pekan lalu.
Pengemis yang kerap beroperasi di Badung selatan, khususnya Kuta, kebanyakan berasal dari Munti Gunung dan Medahan, Karangasem.
Mereka rata-rata beroperasi dengan membawa anak kecil bahkan membawa balita yang masih berusia empat bulan.
Menurut Wika, pengemis di Badung sangat sulit diberantas. Sebab, setiap dipulangkan ke daerah asalnya, biasanya sudah kembali lagi ke tempat mereka mengemis dua hari kemudian.
"Sekarang memang mereka memilih beroperasi di kawasan Imam Bonjol (Denpasar) - Sunset Road dan Jalan Nakula. Kami juga sudah rutin melakukan penertiban. Tapi seperti debu, setelah dibersihkan masih muncul lagi," terangnya.
Wika menduga kuat para pengemis di Kuta seperti ada yang mengkoordinasi.
Ketika beroperasi, jelas Wika, yang disuruh bergerak adalah anak-anak di bawah umur yang berpakaian lusuh. Sedangkan, satu orang yang ia sebut bernama Naya, cuma memantau.
"Saya curiga kok seperti ada bosnya. Si wanita bernama Naya ini, dia cuma duduk dan memantau. Terus yang disuruh gerak adalah anak-anak," kata Wika.
Para pengemis asal Karangasem ini sebetulnya sudah sempat diberikan wadah untuk belajar keterampilan, khususnya untuk anak-anak.
Namun cara itu rupanya tidak berhasil memotong kebiasaan mereka mengemis.
"Orang tua si pengemis anak datang, dan bilang `biarlah anak saya bodoh, yang penting bisa cari uang`," kata Wika, menirukan perkataan orang tua pengemis anak.
Camat Ubud, Kabupaten Gianyar, Ida Bagus Suamba, juga seakan kehabisan akal untuk mengatasi beroperasinya pengemis di wilayahnya.
"Aparat Kecamatan Ubud selama ini rutin melakukan razia gelandangan dan pengemis (gepeng) di sana seminggu sekali," kata Suamba pada Senin (29/1/2018) lalu kepada Tribun Bali.
Namun setelah dirazia, tidak sampai seminggu para gepeng yang didominasi anak-anak di bawah umur itu kembali berkeliaran di Ubud.
Meskipun mengetahui anak-anak tersebut meng-gepeng bukan karena tekanan ekonomi atau tidak bisa mencari pekerjaan lain, Suamba mengaku tidak bisa bertindak keras, karena khawatir dipersoalkan dari sisi kemanusiaan.
Gepeng Musiman
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Gianyar, I Made Watha, mengatakan bahwa gepeng yang berkeliaran di Ubud merupakan gepeng musiman.
Mereka hanya beraksi pada musim ramai wisatawan ke Bali, yakni pada bulan November, Desember hingga Januari.
Dari sejumlah gepeng yang terjaring razia Satpol PP Gianyar, hampir semua berasal dari Desa Adat Munti Gunung, Karangasem.
Menurut Watha, sejatinya ada dua tindakan yang dinilainya akan membuat para gepeng ini jera, yakni warga tidak memberi para gepeng itu uang serta membuat rumah singgah.
Namun dua hal tersebut relatif sulit dijalankan.
Para gepeng lebih suka mengemis ke para wisatawan mancanegara (wisman), yang tidak tahu kebenaran dari keberadaan dan kondisi mereka.
"Wisatawan asing yang baru datang ke Ubud, iba melihat mereka. Bahkan, kerap mereka menyalahkan pemerintah, karena ada rakyatnya yang sampai mengemis. Karena iba, wisman kerap memberikan sedekah dengan nominal yang relatif banyak. Nah, hal inilah yang dimanfaatkan, dan ini pula yang mengakibatkan gepeng ini tidak mau berhenti meng-gepeng. Padahal secara fisik, mereka sehat semua," ujar Watha dengan nada kesal.
Terkait rumah singgah, yang dimaksud Watha adalah bangunan besar yang dipergunakan untuk menampung para pengemis dan gelandangan kelainan jiwa.
Di rumah singgah ini, para gepeng dibina hingga berminggu-minggu sampai mereka jera untuk kembali ke kebiasaan lamanya.
Sayangnya, infrastruktur itu belum bisa dibangun, mengingat biaya pembangunan dan operasionalnya relatif besar, yakni mencapai Rp 3 miliar.
Pada tahun 2017, Dinsos Gianyar telah mengajukan bantuan dana ke Kementerian Sosial. Namun hingga saat ini belum ada informasi dana tersebut akan cair.
"Karena ini mendesak bagi kita, kita akan bersurat lagi ke pemerintah pusat," ujarnya.
Selain upaya tersebut, pihaknya juga meminta agar Pemkab Karangasem dan desa adat tempat para gepeng itu tinggal untuk membuat peraturan tegas terkait larangan meng-gepeng.
"Harus mencontoh Desa Adat Trunyan. Setelah membuat awig-awig tentang larangan menggepeng, sekarang tidak ada lagi warga Trunyan jadi gepeng. Pemkab Karangasem dan desa adat lainnya, khususnya Munti Gunung, harus memiliki komiten yang kuat untuk memberantas gepeng. Jangan biarkan warganya idih-idih, bukan budaya Hindu itu," ujarnya.
Sumber : http://www.tribunnews.com/regional/2...ar-tak-diciduk
0
1.6K
Kutip
12
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan