

TS
pendekar.hitam
Gerhana
Quote:
Alvea lari keluar kelas. Kipas angin masih saja berputar dengan rotasi tetap. "Sudah berapa lama ia begini?" tanya guru matematika. Kumisnya hitam, lebat, ditambah kulitnya sawo matang, sorot mata yang tajam serta tinggi 165 cm cukup pas untuk sesosok guru killer. Melva hanya menjawab, "Sudah lama, pak." katanya. Melva segera berlari keluar kelas berusaha mendapati temannya. Perhitungan aljabar di bukunya sementara ditunda dulu. Hanya berpedoman dengan langkah dan pertanyaan terhadap guru-guru serta murid yang lewat, Melva mendapatkannya di koridor kelas kosong dekat toilet perempuan.
"Kalian apa maunya? aku hanya ingin belajar!" katanya. Alvea hanya bersahutan sendirian. tak jelas meracau hal apa. Melva melongok ke kelas tersebut, didapatinya rambut rontok dan airmata membasahi muka. Mukanya Alvea sangat tidak wajar seperi biasanya. Imajinasinya merusak ia, menyerang ia. "Tidak, tidak!" kau tak ada disini! sudahlah cukup membujukku!" kata Alvea. Melva pun menghampirinya. "Heh, Al. Ayolah!" katanya meraih tangan Alvea. Alvea masih saja menunjuk-nunjuk arah papan lemari yang tak ada siapa-siapa. "Kau, enyahlah!" Melva menarik tangan temannya dan berontak. "Tidak, lepaskan! Kau hanya berani berbicara saja!" "Udah, Al!" kata Melva menarik. Melva pun berhasil menenangkannya, membawanya ke UKS. Harus turun selantai, hanya berdua mereka melangkah ke pintu UKS. "Kak" kata Melva. "Alvea ya? yasudah masuk dahulu" kata kakak uks itu. "Nanti aku balik lagi Al pas pulang" kata Melva. Kini ia kembali ke bangkunya, menunggu persamaan yang tak kunjung ia selesaikan dari sejam lalu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pusing rasanya otak Melva. Persamaan matematika ini lebih rumit dari yang dibayangkannya. Dan kini 10 soal ini telah ia selesaikan, kerjakan. Celetukan datang dari Sri, "kowe jadi jongos si waras udah sebulan ini" kata Sri. Ha! kamu lagi Sri, sosiopat. Gak punya empati dan simpati sama orang. "Kamu ngerti gak sih dia sakit, oke? lagian aku juga gak dosa bantuin dia. Aku kan dah bilang dia kena Skizo" kata Melva. "Sekarepmu(terserah kamu) lah. Orang idup bukan nyusahin orang, liat tuh kowe pelajaran ketinggalan..." kata Sri pergi. Melva hanya menggeram kesal. Tak tahu apa orang juga tak mau kena sakit penyakit, apalagi sampai menggerogoti mentalnya. Alvea memang anak yang terhitung baru di tahun ini, namun gelagat anehnya yang semakin parah sebulan lalu membuat teman menjauhi, tetapi beberapa ada yang paham. Kini Melva melangkahkan kakinya ke UKS. "Kak Panji ada?" tanya Melva sesampainya disana. Ia hanya mendapati kakak kelas yang lain dan menjawab dengan menggeleng. Kini ia menuju ke arah pojokkan. Melva hanya bisa menghela nafas. Alvea kedapatan melempar gelas kaca, menunduk dan menangis. Pantas saja kakak tadi rautnya ketakutan. Di wastafel terlihat ceceran pecahan gelas. Melva mendekati Alvea. "Al, yuk pulang?" rayunya. Ia pun mengangguk sambil sesenggukan. Melva menemaninya ke kelas dan mengambil tasnya.
"Al, ingat dia gak nyata oke?" sepanjang jalan Melva mengingatkan. Kota Yogya siang itu hanya ditutup awan mendung tak berhujan. Melva mengantar Alvea yang raut wajahnya sudah berantakan layaknya orang gila yang sudah berhari-hari tak makan. Pagar Coklat pun diketok. "Permisi, oom..." kata Melva. Alvea sedikit berlindung di belakang Melva ketika pintu dibuka. Hanya Ayah Alvea yang didapatkan menyambutnya. "Melva?" kata Ayahnya. "Iya oom" kata Melva sambil salam kepada ayahanda Alvea. "Tidak mampir dulu nak?" kata ayah Alvea. "Nggak oom, Melva pulang dulu. Ditunggu Ibu" kata Melva.
Alvea kini beranjak ke kamarnya. Teropong bintang kesayangannya yang ada di ruang tamu kini ia lewati begitu saja. Ayahanda hanya bisa mengikutinya ke arah kamar yang dikunci. Pintu pun diketok-ketok. "Alvee!" kata Ayahnya. "Ayolah buka. Kita bisa bicarakan" kata Ayahnya. "Al!" kata ayahnya lanjut menggedor. Sepertinya ia langsung tertidur, pikir ayahnya. Alvea hanya bisa menutup kepalanya dengan bantal keras-keras, rapat-rapat agar tak terganggu suara ejekan itu. Ia berusaha untuk tidur sambil melagu. Suara itu makin kencang. Ia tetap tak hiraukan dan menutupi kepalanya sambil menyanyi. Hanya nyanyian Alvea yang samar terdengar dan suara angin yang memasuki kamar Alvea yang ayahnya dapat dengarkan. Ayahnya harus pulang cepat pada siang menjelang sore itu.
Bu Miryam sudah mengambil seragam Alvea untuk dicuci di belakang. Ayahnya kini hanya melongok isi tas nya. Ia sibuk mencari kontak sang dokter yang akan dikunjunginya esok hari. Sesaat ia melihat teropong bintang tersebut dan peta bintangnya.


anasabila memberi reputasi
1
944
Kutip
6
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan