Tepat 16 Februari 2018, seluruh masyarakat Tionghoa di Tanah Air merayakan Tahun Baru Imlek 2569. Perayaan ini merupakan tradisi yang telah ada dan melekat sejak ribuan tahun lalu. Menurut sejarah, Imlek merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Tiongkok yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru.

Perayaan ini selalu disambut dengan suka cita. Sebagian besar, momen ini juga memanfaatkan sebagai bentuk ucapan rasa syukur selama menjalani kehidupan selama satu tahun sebelumnya. Rasa syukur tersebut ditunjukkan dengan berkumpul dan berbagi kasih dengan keluarga.

Seperti halnya yang dilakukan sebagian keluarga keturunan Tionghoa yang tinggal di kawasan Gading Serpong. Mereka memanfaatkan momen Imlek sebagai ajang berkumpul bersama keluarga. Salah satunya adalah keluarga Winardy Aten (40) dan Inge Dachlan (36).

“Tahun baru Imlek adalah momen berkumpul dengan keluarga besar dan waktunya menjalin tali silaturahmi dengan saudara. Kami juga berusaha mendekatkan diri dengan saudara yang sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing,” ucap Inge.

Kata Inge, merayakan Imlek bersama keluarga dijadikan sebagai bentuk ucapan rasa syukur telah mampu melewati kehidupan selama setahun sebelumnya tanpa ada kekurangan. Kehidupan sebelumnya, kata Inge, tentunya akan dijadikan pembelajaran dan pengalaman hidup agar lebih baik ke depannya. “Perayaan Imlek sebagai pembelajaran dari setiap kejadian yang dialami,” ungkap Inge.

Tak jauh berbeda, keluarga Peri Wijaya (33) dan Ayu Cendana (30) juga menjadikan momen Imlek untuk berkumpul bersama sanak saudara dan keluarga besar. “Karena kami dan keluarga besar sudah menganut Kristiani, maka sebagai orang keturunan Tionghoa, kami jadikan Imlek sebagai tradisi untuk berkumpul bersama,” kata Peri.

Perayaan Imlek juga dijadikan momen pasangan ini untuk mengenalkan tradisi ini kepada anak kembarnya Michelle More Miracle dan Michael Max Miracle yang baru berusia 3 tahun. Terutama mulai mengajarkan anak saling memberi dan mengasihi satu sama lain pada setiap saat, tak hanya bertepatan pada perayaan Imlek saja.

“Saya mengenalkan Imlek sebagai sebuah tradisi di mana kita harus belajar bermurah hati dan memberi kepada sesama. Sehingga buah hati saya belajar memberi dan mengasihi,” cerita Ayu.

Untuk merayakan Imlek pun sejatinya tak harus diisi dengan kegiatan yang terlalu meriah. Hal ini dungkapkap oleh pasangan Saumyajit Banerjee (41) dan dr Holly Permatasari Benerjee, Dipl. CIBTAC (34). “Di keluarga besar kami, Imlek tak dirayakan besar-besaran. Karena inti atau makna Imlek ini adalah berdoa bersama, mengucap syukur sambut Imlek, menikmati kebersamaan keluarga dan memberi hormat kepada orang tua,” kata Holly.

Pasangan ini punya tradisi bersama keluarga, terutama di malam Imlek. Keluarga besar pasangan ini berkumpul di salah satu sanak keluarga yang dituakan menggelar doa bersama yang dilanjutan dengan makan bersama. “Kami berkumpul biasanya sampe larut malam. Sedangkan pas Imlek, ritualnya pun sama. Yang istimewa pada momen ini, kami selalu makan menu turun temurun nenek moyang, yakni Mishoa,”tutupnya.

Angpao, pemberian amplop berwarna merah ini memang sudah menjadi tradisi di kalangan warga Tionghoa. Mereka percaya bahwa memberi angpao dapat mendatangnya banyak kebaikan dan keberkahan di tahun yang baru.

Seperti yang dilakukan pasangan Peri Wijaya (33) dan Ayu Cendana (30). Pasangan ini punya tradisi yang terus dipertahankan saat Imlek tiba, yakni membagikan angpao. Menurutnya, ada makna dibalik pemerian angpao, di mana kita membiasakan diri untuk member terhadap sesama. Hal itu diyakininya akan membawa berkah baik keluarganya. “Bukan nilai besar atau kecilnya, namun ketulusan dalam member,” kata Peri.

Hal yang sama juga dilakukan dr Holly Permatasari Benerjee, Dipl. CIBTAC (34) bersama sang suami Saumyajit Banerjee (41). Meski berasal dari suku dan agama yang berbeda, Holly dan suami sangat kompak serta saling menghormati dalam menjalankan tradisi Imlek.

“Salah satu yang tak boleh terlewatkan adalah bagi dan tukar angpao dengan sanak keluarga. Terutama untuk anak-anak. Saya suka melibatkan keluarga suami terutama ponakan untk angpao. Ini tradisi yang kami pertahankan,” kata Holly.

Pada dasarnya pemberian angpao adalah pemberian berkah, doa dari pemberi kepada penerima. Itu sebabnya tradisi pemberian angpao terus menerus dilakukan untuk saling mendoakan sesama.

Menurut kalender China, tahun 2018 merupakan Tahun Anjing Tanah. Sejumlah pakar feng shui menyebutkan Tahun Anjing Tanah, masyarakat dihadapkan dengan banyak tantangan. Mengingat pada unsur anjing sendiri terdapat hal baik maupun buruk. Meski begitu, masyarakat keturunan Tionghoa di Gading Serpong, menyakini bahwa tahun ini akan membawa peruntungan dalam segala hal.

“Kami yakin bahwa tahun Anjing Tanah ini bukan hanya membawa peruntungan atau kemakmuran bagi keturunan Tionghoa saja, tapi juga seluruh bangsa Indonesia. Semoga shio-shio lainnya akan mendapatkan berkah yang lebih bagus dalam kesehatan, karier maupun sekolah,” ujar Inge Dachlan (36).

Sementara Saumyajit Banerjee (41) dan dr Holly Permatasari Benerjee, Dipl. CIBTAC (34), percaya bahwa masyarakat harus berpikir positif dan tidak mudah menyerah untuk mendapatkan kemakmuran. Terpenting, isi kehidupan dengan berbuat kebajikan dan menabur karma baik yang akan mendatangkan ketenangan jiwa, kedamaian hati dan kemakmuran rohani serta jasmani.

Holly pun berharap agar keluarganya semakin banyak berbuat baik terhadap sesama dan menabur benih kasih sayang serta nilai moral terhadap orang tua di Tahun Anjing Tanah. “Saya percaya positive soul, positive minds bring us to positive vibes,” harapnya.

Begitu pun pasangan Peri Wijaya (33) dan Ayu Cendana (30) yang selalu berharap agar keluarganya diberkati Tuhan dan memiliki harapan yang lebih baik lagi.

http://infonitas.com/features/meneng...ng-serpong/775

imlek gan