- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jenderal Jadi Plt Gubernur Dinilai Taktik PDIP untuk 2019


TS
hantupuskom
Jenderal Jadi Plt Gubernur Dinilai Taktik PDIP untuk 2019
Jakarta, CNN Indonesia -- Penunjukan dua nama jenderal polisi bintang dua sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dinilai sebagai strategi politik PDIP untuk pemenangan Pemilu 2019. Kapasitas dan kepantasan penempatan perwira polisi di posisi itu diragukan.
“Wajar publik menilai ini permainan PDIP, wajar sekali. Kenapa? Karena yang menunjuk (Plt. Gubernur adalah) menteri (asal) PDIP,” kata peneliti politik Indo Riset Konsultan Bawono Kumoro, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/1).
Mendagri Tjahjo, pada Rabu (24/1), mengakui soal penunjukan Inspektur Jenderal (Irjen) Mochamad Iriawan dan Irjen Martuani Sormin sebagai Plt. Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Tjahjo Kumolo sementara itu merupakan bekas Sekretaris Jenderal PDIP dan masih aktif sebagai kader 'Banteng'.
Bawono menduga, penunjukkan Plt. itu merupakan strategi PDIP untuk memenangkan pasangan calon mereka usung, yakni Tubagus Hasanudin-Anton Charliyan di Jawa Barat, dan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus di Sumatera Utara.
PDIP dinilai perlu menerapkan strategi tersebut untuk menutup potensi kekalahan dua pasangan yang mereka usung. Pada Pilkada Jawa Barat, PDIP membutuhkan cara untuk menggenjot elektabilitas pasangan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan yang masih rendah.
Pada Pilkada Sumatera Utara, lanjut Bawono, PDIP membutuhkan cara untuk mengantisipasi dampak Pilkada DKI Jakarta 2017, yakni isu penistaan agama. Djarot diketahui pernah berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dilengserkan oleh aksi berjilid ormas Islam.
Menurut Bawono, kasus yang akhirnya membawa Ahok ke penjara itu berpotensi mempengaruhi pemilih di Sumatera Utara yang mayoritas memeluk agama Islam.
“(Sumatera Utara) ada kekhawatiran PDIP Djarot bisa kalah dari calon lain, yakni efek Pilkada DKI yang sudah satu tahun tapi polarisasi masih ada,” terangnya.
Kemenangan di dua daerah tersebut, sambungnya, dibutuhkan PDIP untuk kepentingan pemenangan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan dua provinsi yang strategis karena memiliki jumlah penduduk yang banyak.
"Kalau dilihat, bagaiamana pun caranya, semoga tidak menghalalkan segala cara, mereka (PDIP) harus merebut kursi Gubernur di dua provinsi ini. Artinya, untuk kepentingan di 2019,” ucapnya.
Kapasitas dan Kesesuaian UU
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, penempatan pejabat polisi di posisi Plt. Gubernur bakal terhambat dengan masalah kompetensi.
Sebab, karakter pemimpin dari jajaran aparat keamanan dan penegak hukum berbeda dengan karakter kepala daerah yang harus menjalankan tata kelola pemerintahan daerah dan pelayanan publik. Bukan sebatas mencegah kerawanan dalam penyelenggaran Pilkada.
"Lebih baik posisi itu diisi oleh orang yang punya kemampuan terkait tugas kepala daerah, tata kelola daerah, dan pelayanan publik,” sarannya.
Jika dipaksakan, Titi khawatir tata kelola pemerintahan daerah dan pelayanan publik di dua provinsi itu akan terganggu.
Terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto mengatakan, penempatan anggota Polri pada posisi Plt. kepala daerah bertentangan dengan sejumlah perundangan yang terkait kepolisian.
Misalnya, Pasal 28 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Pasal 28 ayat 3 UU yang sama menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Sementara, jabatan Plt. Gubernur itu diemban tanpa proses pengajuan pensiun dini atau pengunduran diri dari insititusi Polri terlebih dahulu.
Menurut Bambang, menyeret anggota Polri di tengah pusaran pertarungan politik akan menjadi catatan buruk bagi Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan institusi Polri.
Bahkan, lanjutnya, pencalonan jenderal sebagai Plt. ini juga tidak sejalan dengan visi pembangunan Polri yang digaungkan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian, yakni Profesional, Modern, dan Terpercaya (Promoter).
“Menyeret Polri dalam ranah politik, jelas tak akan menguntungkan citra Jokowi sebagai representasi kepemimpinan sipil yang demokratis, juga tak menguntungkan bagi pembangunan Polri yang profesional dan modern di masa depan,” kata Bambang.
Alhasil, dia meminta Polri kembali pada khitahnya untuk tidak terikat pada rezim, melainkan berbakti pada negara.
"Usulan pengangkatan perwira tinggi aktif Polri sebagai penjabat kepala daerah tidak bisa dihindari lagi sebagai strategi politik dari rezim,” tandasnya.
Sebelumnya, Tjahjo menjelaskan bahwa pemilihan jenderal polisi itu karena Kemendagri kehabisan pejabat eselon I untuk mengisi Plt. kepala daerah. Sebab, pada Pilkada serentak 2018 ada 17 provinsi yang menyelenggarakan pemilihan gubernur.
"Pendekatan stabilitas dan gelagat kerawanan," imbuhnya.
Diketahui, pasal 4 ayat 2 Peraturan Mendagri No. 1 Tahun 2018 mengatakan, pejabat sementara Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintah pusat atau provinsi. (arh)
sumur:
https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180126080505-32-271698/jenderal-jadi-plt-gubernur-dinilai-taktik-pdip-untuk-2019
setau ane disumut klo soal politik gak rawan kyk jakarta
makin aneh aja si rambut palsu
“Wajar publik menilai ini permainan PDIP, wajar sekali. Kenapa? Karena yang menunjuk (Plt. Gubernur adalah) menteri (asal) PDIP,” kata peneliti politik Indo Riset Konsultan Bawono Kumoro, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/1).
Mendagri Tjahjo, pada Rabu (24/1), mengakui soal penunjukan Inspektur Jenderal (Irjen) Mochamad Iriawan dan Irjen Martuani Sormin sebagai Plt. Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Tjahjo Kumolo sementara itu merupakan bekas Sekretaris Jenderal PDIP dan masih aktif sebagai kader 'Banteng'.
Bawono menduga, penunjukkan Plt. itu merupakan strategi PDIP untuk memenangkan pasangan calon mereka usung, yakni Tubagus Hasanudin-Anton Charliyan di Jawa Barat, dan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus di Sumatera Utara.
PDIP dinilai perlu menerapkan strategi tersebut untuk menutup potensi kekalahan dua pasangan yang mereka usung. Pada Pilkada Jawa Barat, PDIP membutuhkan cara untuk menggenjot elektabilitas pasangan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan yang masih rendah.
Pada Pilkada Sumatera Utara, lanjut Bawono, PDIP membutuhkan cara untuk mengantisipasi dampak Pilkada DKI Jakarta 2017, yakni isu penistaan agama. Djarot diketahui pernah berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dilengserkan oleh aksi berjilid ormas Islam.
Menurut Bawono, kasus yang akhirnya membawa Ahok ke penjara itu berpotensi mempengaruhi pemilih di Sumatera Utara yang mayoritas memeluk agama Islam.
“(Sumatera Utara) ada kekhawatiran PDIP Djarot bisa kalah dari calon lain, yakni efek Pilkada DKI yang sudah satu tahun tapi polarisasi masih ada,” terangnya.
Kemenangan di dua daerah tersebut, sambungnya, dibutuhkan PDIP untuk kepentingan pemenangan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan dua provinsi yang strategis karena memiliki jumlah penduduk yang banyak.
"Kalau dilihat, bagaiamana pun caranya, semoga tidak menghalalkan segala cara, mereka (PDIP) harus merebut kursi Gubernur di dua provinsi ini. Artinya, untuk kepentingan di 2019,” ucapnya.
Kapasitas dan Kesesuaian UU
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, penempatan pejabat polisi di posisi Plt. Gubernur bakal terhambat dengan masalah kompetensi.
Sebab, karakter pemimpin dari jajaran aparat keamanan dan penegak hukum berbeda dengan karakter kepala daerah yang harus menjalankan tata kelola pemerintahan daerah dan pelayanan publik. Bukan sebatas mencegah kerawanan dalam penyelenggaran Pilkada.
"Lebih baik posisi itu diisi oleh orang yang punya kemampuan terkait tugas kepala daerah, tata kelola daerah, dan pelayanan publik,” sarannya.
Jika dipaksakan, Titi khawatir tata kelola pemerintahan daerah dan pelayanan publik di dua provinsi itu akan terganggu.
Terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto mengatakan, penempatan anggota Polri pada posisi Plt. kepala daerah bertentangan dengan sejumlah perundangan yang terkait kepolisian.
Misalnya, Pasal 28 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang memerintahkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Pasal 28 ayat 3 UU yang sama menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Sementara, jabatan Plt. Gubernur itu diemban tanpa proses pengajuan pensiun dini atau pengunduran diri dari insititusi Polri terlebih dahulu.
Menurut Bambang, menyeret anggota Polri di tengah pusaran pertarungan politik akan menjadi catatan buruk bagi Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan institusi Polri.
Bahkan, lanjutnya, pencalonan jenderal sebagai Plt. ini juga tidak sejalan dengan visi pembangunan Polri yang digaungkan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian, yakni Profesional, Modern, dan Terpercaya (Promoter).
“Menyeret Polri dalam ranah politik, jelas tak akan menguntungkan citra Jokowi sebagai representasi kepemimpinan sipil yang demokratis, juga tak menguntungkan bagi pembangunan Polri yang profesional dan modern di masa depan,” kata Bambang.
Alhasil, dia meminta Polri kembali pada khitahnya untuk tidak terikat pada rezim, melainkan berbakti pada negara.
"Usulan pengangkatan perwira tinggi aktif Polri sebagai penjabat kepala daerah tidak bisa dihindari lagi sebagai strategi politik dari rezim,” tandasnya.
Sebelumnya, Tjahjo menjelaskan bahwa pemilihan jenderal polisi itu karena Kemendagri kehabisan pejabat eselon I untuk mengisi Plt. kepala daerah. Sebab, pada Pilkada serentak 2018 ada 17 provinsi yang menyelenggarakan pemilihan gubernur.
"Pendekatan stabilitas dan gelagat kerawanan," imbuhnya.
Diketahui, pasal 4 ayat 2 Peraturan Mendagri No. 1 Tahun 2018 mengatakan, pejabat sementara Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintah pusat atau provinsi. (arh)
sumur:
https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180126080505-32-271698/jenderal-jadi-plt-gubernur-dinilai-taktik-pdip-untuk-2019
setau ane disumut klo soal politik gak rawan kyk jakarta
makin aneh aja si rambut palsu
0
2.4K
46


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan