angchimoAvatar border
TS
angchimo
Titik Takdir




Spoiler for Hasil #SFTHChallange:





Cover by ucln




Spoiler for video:



-------------------------------------


Akan ada masa, dimana kita tidak membutuhkan cahaya. Saat gelap ga lagi membawa pengap yang membuat segala pedih di hati kita lama mengendap. Kadang, jingga sudah cukup kita nikmati untuk menempuh senja. Untuk memugar ulang seluruh warna saat hidup selalu saja mengajak kita bercanda.

Lalu, tanyakanlah pada ia yang kau lihat di pantulan kaca; kemana ia akan melangkah ketika Tuhan selesai bercanda pada masa lalunya?

Sebuah masa yang telah berkarat dalam benaknya. Sebuah masa yang enggan terlupa meski tahun demi tahun menggantikannya.

Sebuah masa yang membuatnya kehilangan kunci untuk sebuah pintu menuju ruangan baru bernama masa depan. Dan ya, aku tersesat selamanya disana.



***


Seluruh teman sekelasku berhamburan keluar dari kelas selepas tanda waktu akhir ujian sekolah telah usai. Terlepas dari apakah hasilnya nanti akan memuaskan, semuanya tumpah ruah ke halaman sekolah. Ada yang saling berpelukan. Ada yang sekedar berjabat tangan. Ada pula yang hanya melihat semua itu dari depan pintu kelas: Aku.

Seperti halnya kebanyakan siswa kelas 12 pada umumnya, teman-temanku menghabiskan sisa hari dengan mencoret atau merobek seragam sekolah mereka. Semua mereka lakukan sebagai bentuk kebahagiaan karna telah lepas dari tekanan tiga hari paling panjang dalam hidup mereka, yaitu menempuh ujian akhir nasional. Aku bukan tak ingin bergabung dengan mereka. Hanya saja, Ibuku sudah mengancam saat aku hendak berangkat sekolah tadi. Jika aku pulang dengan keadaan penuh coretan, maka ga akan ada jatah uang jajan selama libur menunggu pengumuman kelulusan. Maka itu, aku bergegas keluar dari halaman sekolah, menuju parkiran dan mengambil motor tua warisan Ayahku yang sudah lama tak terpakai sejak ia berangkat bekerja ke Arab Saudi.

“Bima! Mau kemana lo?”

Sebuah teriakan dari pagar sekolah menghentikanku dari menancap gas motor. Aku menoleh ke asal suara dan mendapati Ega, sahabat yang ku kenal sejak masa SMP itu, setengah berlari menghampiriku.

“Gue langsung cabut ya. Ga enak udah janji mau jemput Nayla.”

“Ah elah, ga asik banget lo. Nongkrong dulu lah. Tenang aja ga bakal ada yang coret baju lo, gue jamin.”

“Bukan gitu. Gue udah janji mau jemput, takut keburu Nayla pulang sendiri.”

Ega hanya menghela napas dan memasang wajah kecewa. Namun ia tetap mengulurkan tangannya memasang posisi toss yang biasa kami lakukan. Aku menyambutnya, lalu kemudian perlahan keluar dari area parkiran sekolah dan bergegas menuju sekolah Nayla.

Aku tengah berbaring diatas kasur sambil chat dengan Nayla malam hari setelah pulang dari rumahnya, saat Ibu masuk ke kamarku.

“Hayo, kok manyun gitu mukanya? Kenapa?”

Aku menoleh kearah Ibuku yang kini telah duduk dipinggir kasurku. Ia mengusap rambutku. Sebuah usapan yang selalu mampu mengembalikan semangatku ketika aku merasakan ketidakadilan hidup.

Ayahku pergi bekerja ke Arab Saudi diajak temannya untuk menjadi seorang supir kantor disana sejak aku masuk SMP. Sejak itu pula, Ibu memulai usaha warung nasi kecil-kecilan. Meski begitu, aku bersyukur hidupku masih selalu dicukupi. Namun untuk bisa meneruskan ke jenjang kuliah, seperti yang tengah aku pikirkan saat ini, rasanya adalah hal yang mustahil. Aku tak ingin menambah beban orangtuaku. Sebagai anak tunggal, aku bertanggung jawab untuk membahagiakan kedua orangtuaku di masa tua mereka kelak. Aku tak ingin mereka terus bekerja keras demi menyekolahkanku. Maka rencana kedepanku setelah mendapat ijazah SMA adalah segera mencari pekerjaan.

Sedangkan Nayla, wanita yang ku pacari sejak awal masuk SMA adalah seorang anak dari keluarga sangat mampu. Aku pertama mengenalnya setelah kelulusan tingkat SMP karna pernah mengantar pulang adiknya yang masih sekolah kelas 6 SD waktu itu. Saat itu, Saskia tengah main di taman dekat rumah Ega. Saat tiba-tiba hujan deras, ia hanya berteduh dibawah sebuah pohon sendirian. Entah apa yang ia lakukan. Aku mendatanginya dengan meminjam payung milik Ega, lalu mengantarnya pulang yang letaknya masih satu komplek dengan rumah Ega.

Tak lama setelah itu, Ega bilang kakak dari Saskia ingin bertemu dan berkenalan denganku. Hingga saat itulah aku dan Nayla kini telah menjalin hubungan selama tiga tahun, meski kami sekolah di SMA yang berbeda.

“Kamu besok coba cari tempat kuliah ya Nak. Ibu ingin kamu kuliah.” Ucap Ibuku sambil tetap mengusap kepalaku.

“Enggak Bu, aku mau cari kerja aja. Nanti setelah kerja, aku akan nabung biar Ayah dan Ibu ga perlu kerja keras lagi.”

“Lho, apa kamu gamau kuliah dulu aja? Ibu sama Ayah masih mampu biayain kamu. Lagian apa ga malu sama Nak Nayla nanti dia kuliah sementara kamu Cuma lulusan SMA.” Ucap Ibuku sambil meledek dan mencubit pipiku.

Aku bangkit dari posisi tiduran, lalu duduk disamping Ibuku. Aku menceritakan bahwa Nayla direncanakan oleh Papanya untuk meneruskan sekolah ke Tiongkok. Ibuku sempat bercanda mengatakan ga masalah karna masih bisa tetep ketemu sepulang kuliah, sebelum akhirnya tertawa setelah aku jelaskan bahwa Tiongkok berada di belahan bumi yang jauh dari sini.

“Tadi pulang sekolah aku anter Nayla sampe rumah. Terus Papanya yang bilang ke aku soal rencana itu, Bu. Nayla ga pernah kasih tau aku sebelumnya. Sekarang setelah aku tanya baru dia cerita. Malah dia beralasan ga mau cerita karna berat untuk pisah jauh dari aku.”

Aku membuang wajah dari Ibuku. Aku tak ingin beliau melihat genangan air di mataku. Aku tak ingin jadi anak yang cengeng di depan Ibuku.

“Bima..” Ucap Ibu sambil mengusap punggungku.
“Kalo udah cinta itu ya kaya gitu. Berat untuk saling jauh. Tapi Nak, kalian masih muda. Nanti suatu hari kalian akan ngerti, bahwa kadang cinta cukup sampai pada cinta itu sendiri.”

Aku kembali menatap Ibuku. Tanpa terasa, aku gagal menahan lelehan air mata yang kini menetes ke pipiku. Meski aku tak benar-benar memahami apa yang Ibuku bicarakan. Tapi sungguh, rasanya sangat menyakitkan. Seperti harus mengikhlaskan kepergian Nayla menempuh pendidikannya jauh dari aku.

Ah, seandainya..
Seandainya aku bisa memutar ulang waktu, mungkin aku akan memberanikan diri memenuhi permintaan Nayla. Untuk berbicara pada Papanya bahwa aku ingin melamarnya.

“Kamu bilang aja sama Papa, nanti setaun atau dua taun lagi kamu mau lamar aku. Jadi kamu minta ke Papa buat ga kuliahin aku disana.” Ucap Nayla dengan gaya bicara manjanya yang seperti biasa.

“Lamar gimana ceritanya. Dapet ijazah SMA aja belom, Nay.”

“Yaa minimal janjiin setaun atau dua taun lagi gitu kaya yang aku bilang. Siapa tau Papa berubah pikiran karna liat keseriusan kamu.”

Naif. Aku sungguh naif. Aku malah menganggap permintaan Nayla adalah candaan. Kalaupun aku menganggapnya hal yang serius, aku terlalu pengecut untuk melakukan apa yang ia minta.

Sejak saat itu, Setahun berlalu dengan seribu alasan yang Nayla gunakan untuk mengundur keberangkatannya. Nayla beralasan ingin kursus bahasa mandarin dulu agar mematangkan cara komunikasinya disana kelak. Disaat yang bersamaan, aku gunakan waktu untuk bekerja keras demi memapankan diri. Namun, kemapanan tak datang semudah itu. Setahun bukan waktu yang cukup pula untuk menumbuhkan keberanian dalam hatiku untuk bicara ke orangtua Nayla. Hingga akhirnya tahun ini ditetapkan keberangkatan Nayla.

Ya, mungkin jika aku menuruti Nayla dan berani meminta Papanya untuk mengubah rencana itu, aku tak perlu merasakan pahitnya kehilangan. Mungkin jika aku menahannya disini satu jam lebih lama saja, aku tak akan duduk di pinggir sebuah makam kosong yang diberi nama dirinya. Setelah satu minggu aku membantu keluarganya mencari informasi atas hilangnya sebuah pesawat penerbangan negeri tetangga serumpun yang mengantar Nayla bertolak ke Beijing, Tiongkok untuk menempuh pendidikannya. Hingga akhirnya pihak keluarga Nayla memutuskan untuk membuatkan sebuah pusara peristirahatan terakhir karna tak ada lagi tanda-tanda harapan akan ditemukannya wanita yang sangat kami cintai ini. Tak ada harapan pesawat naas itu memberikan sinyal keberadaannya. Dan tak ada harapan bagiku untuk melihat senyum Nayla meski dalam bentuk digital seperti yang kami janjikan sebelum berpisah beberapa hari yang lalu.





Nayla, dulu Ibuku pernah bilang, bahwa kadang cinta cukup sampai pada cinta itu sendiri. Dan kini aku memahaminya ketika aku menatap pedih sebuah papan nisan yang bertuliskan namamu. Nay, biarlah aku tetap mencintaimu dan mengunjungi makam yang tak menyimpan jasadmu. Biarlah cinta cukup sampai pada cinta itu sendiri. Biarlah cinta ini menjadi perihnya goresan takdir dimana aku harus memaafkan kebodohanku yang tak menahan kepergianmu.

Seandainya, Nay. Seandainya aku seberani yang kau harapkan, seandainya aku seserius yang kau inginkan. Mungkin pesawat itu tak akan membawamu menghilang tanpa setitikpun yang tersisa selain beratnya hidup yang harus tetap aku jalani tanpamu.

Katakan padaku, Nay, wajah seperti apa yang harus kupasang dalam hari-hariku? Tunjukkan padaku, Nayla, bagaimana cara membasahi kembali hatiku yang tak lagi mengalirkan cinta sejak darahku mengering diatas makammu. Ajari aku, Nay, cara membubuhi senyum palsu agar mereka tak mendapati luka kehilangan yang membekas telak di wajahku.




Selesai
Diubah oleh angchimo 02-04-2018 18:22
anasabilaAvatar border
mmuji1575Avatar border
medi.gueveraAvatar border
medi.guevera dan 3 lainnya memberi reputasi
4
45.7K
219
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan