- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Melihat Perdebatan Hukum Cambuk Aceh di Panja RUU KUHP


TS
j4n11r
Melihat Perdebatan Hukum Cambuk Aceh di Panja RUU KUHP
Jakarta - Hukum cambuk hanya diberlakukan di Aceh dan diderakan ke pelaku zina, bermesraan, judi dan minuman keras. Lalu bagaimana dengan konteks hukum nasional?
Pertanyaan itu muncul dalam rapat panja RUU KUHP yang dikutip detikcom dari risalah sidang dan dilansir website DPR, Senin (22/1/2018).
"Saya kira karena ini konteksnya adalah buku I terlepas jenis pidana konkritnya itu nanti kita tentang atau kita kontroversialkan, tapi menurut saya harus ada wadahnya, tapi kok wadahnya belum tegas di dalam jenis-jenis pemidanaan karena di Pasal 66 itu di C hanya jenis-jenis pidan lainnya ini nggak terlalu jelas," kata anggota DPR Arsul Sani.
Menanggapi pertanyaan Arsul, Prof Harkristuti Harkrisnowo menyatakan soal hukuman pencambukan, Indonesia harus berhati-hati karena sudah meratifikasi Convention Againts Torture pada 1998. Tujuh tahun setelahnya, Indonesia meratifikasi International Convention on Civil and Political Rights yang salah satunya juga sudah melarang adanya penyiksaan. Selain itu juga tertuang dalam Pasal 28 I UUD 1945 tentang hak yang tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun.
"Antara lain salah satu pasalnya juga melarang adanya penyiksaan. Merupakan suatu kesepakatan internasional bahwa pencambukan dan tindakan-tindakan semacam itu termasuk tadi mutilasi, pemotongan tangan dan lain-lain adalah termasuk penyiksaan atau perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia," ujar Harkristuti dalam rapat yang digelar pada 11 Februari 2016 lalu.
Melihat Perdebatan Hukum Cambuk Aceh di Panja RUU KUHP
Menurut Harkristuti, referensinya harusnya lebih valid. Menurutnya, membuka semua jenis sanksi pidana bisa membahayakan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, harus diberi batasan oleh KUHP.
"Menurut saya qanun itu kalau di uji konstitusionalitasnya mungkin itu akan menimbulkan masalah karena memang ada di konstitusi kita, kecuali kita mengatakan oh iya Aceh nggak perlu mengacu kepada konstitusi, it's a different story," ujar guru besar UI itu.
"Nah saya hanya ingin merekomendasikan kita sangat berhati-hati supaya nanti kita tidak terjebak dalam masalah-masalah hukum pidana di kemudian hari karena memang hukum pidana itu hukum yang harus pelit sekali, bukan diumbar, tapi justru harus diimplementasikan dan dirumuskan dengan sangat hati-hati dan
spesifik dan tegas," sambung mantan Dirjen HAM itu.
Adapun menurut Prof Muladi, KUHP baru nantinya harus bisa mewadahi pidana lain, termasuk pencambukan.
"Jadi korporal punishment itu bisa diberikan apabila ada alasan yang sangat kuat yang disertai dengan landasan-landasan akademis, alasan budaya yang sangat, tapi kita sebenarnya dalam tujuan pemidanaan yang saya katakan tadi sekalipun pembalasan itu tidak muncul, retributif, jadi pidana itu melalui retributif itu
prioritas belakang, backward looking," ujar Muladi.
"Tapi kalau pidana yang kita anut ini adalah forward looking pidana maju ke depan, mencegah memasyarakatkan, menyelesaikan konflik, membebaskan rasa bersalah, tapi dulu disepakati oleh para pendahulu bahwa semua tujuan pemidanaan itu ada pembalasan, sekalipun tidak diucapkan tapi di masing-masing tujuan itu ada unsur pembalasan yang tidak perlu ditulis," pungkas Muladi.
(asp/rvk)
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3826...401.1515449163
Kenapa pencuri uang rakyat dan pejabat yang korupsi aja yang dicambuk kalo ngak bisa pake cara potong tangan? Serius tanya, gan...
Pertanyaan itu muncul dalam rapat panja RUU KUHP yang dikutip detikcom dari risalah sidang dan dilansir website DPR, Senin (22/1/2018).
"Saya kira karena ini konteksnya adalah buku I terlepas jenis pidana konkritnya itu nanti kita tentang atau kita kontroversialkan, tapi menurut saya harus ada wadahnya, tapi kok wadahnya belum tegas di dalam jenis-jenis pemidanaan karena di Pasal 66 itu di C hanya jenis-jenis pidan lainnya ini nggak terlalu jelas," kata anggota DPR Arsul Sani.
Menanggapi pertanyaan Arsul, Prof Harkristuti Harkrisnowo menyatakan soal hukuman pencambukan, Indonesia harus berhati-hati karena sudah meratifikasi Convention Againts Torture pada 1998. Tujuh tahun setelahnya, Indonesia meratifikasi International Convention on Civil and Political Rights yang salah satunya juga sudah melarang adanya penyiksaan. Selain itu juga tertuang dalam Pasal 28 I UUD 1945 tentang hak yang tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun.
"Antara lain salah satu pasalnya juga melarang adanya penyiksaan. Merupakan suatu kesepakatan internasional bahwa pencambukan dan tindakan-tindakan semacam itu termasuk tadi mutilasi, pemotongan tangan dan lain-lain adalah termasuk penyiksaan atau perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia," ujar Harkristuti dalam rapat yang digelar pada 11 Februari 2016 lalu.
Melihat Perdebatan Hukum Cambuk Aceh di Panja RUU KUHP
Menurut Harkristuti, referensinya harusnya lebih valid. Menurutnya, membuka semua jenis sanksi pidana bisa membahayakan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, harus diberi batasan oleh KUHP.
"Menurut saya qanun itu kalau di uji konstitusionalitasnya mungkin itu akan menimbulkan masalah karena memang ada di konstitusi kita, kecuali kita mengatakan oh iya Aceh nggak perlu mengacu kepada konstitusi, it's a different story," ujar guru besar UI itu.
"Nah saya hanya ingin merekomendasikan kita sangat berhati-hati supaya nanti kita tidak terjebak dalam masalah-masalah hukum pidana di kemudian hari karena memang hukum pidana itu hukum yang harus pelit sekali, bukan diumbar, tapi justru harus diimplementasikan dan dirumuskan dengan sangat hati-hati dan
spesifik dan tegas," sambung mantan Dirjen HAM itu.
Adapun menurut Prof Muladi, KUHP baru nantinya harus bisa mewadahi pidana lain, termasuk pencambukan.
"Jadi korporal punishment itu bisa diberikan apabila ada alasan yang sangat kuat yang disertai dengan landasan-landasan akademis, alasan budaya yang sangat, tapi kita sebenarnya dalam tujuan pemidanaan yang saya katakan tadi sekalipun pembalasan itu tidak muncul, retributif, jadi pidana itu melalui retributif itu
prioritas belakang, backward looking," ujar Muladi.
"Tapi kalau pidana yang kita anut ini adalah forward looking pidana maju ke depan, mencegah memasyarakatkan, menyelesaikan konflik, membebaskan rasa bersalah, tapi dulu disepakati oleh para pendahulu bahwa semua tujuan pemidanaan itu ada pembalasan, sekalipun tidak diucapkan tapi di masing-masing tujuan itu ada unsur pembalasan yang tidak perlu ditulis," pungkas Muladi.
(asp/rvk)
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3826...401.1515449163
Kenapa pencuri uang rakyat dan pejabat yang korupsi aja yang dicambuk kalo ngak bisa pake cara potong tangan? Serius tanya, gan...

0
662
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan