Puncak Bogor memang membuat banyak masyarakat kota khususnya Jakarta ingin singgah kesana pastinya, untuk sarana melepas lelah, penat dan istirahat sejenak.



Sebagai daerah wisata, Puncak memiliki magnet tersendiri karena udara dingin dan pemandangan yang mampu memanjakan mata, membuat banyak wisatawan dari banyak daerah merasa betah. Meski begitu, ada efek positif dan negatif dari berkembangnya sektor pariwisata tersebut karena semakin banyaknya destinasi yang membuat masyarakat sekitar menjadi memanfaatkan beberapa tempat menjadi sarana hiburan. Namun efek negatif daribtempat hiburan selain wisata alam ada juga tempat hiburan yang menghadirkan efek kelam dari sebuah destinasi wisata.



Tentu saja tidak semua menerima konsekuensi tersebut. Masih banyak masyarakat yang menentang dan tak rela jika kampung halamannya digunakan oleh penikmat esek-esek. Tokoh daerah wilayah Cisarua, dengan tegas menolak segala bentuk praktik maksiat yang semakin marak di Puncak. ”Kami menolak segala jenis kemaksiatan dan bertekad memeranginya,”.



Warga Puncak, memang awalnya merupakan masyarakat yang agamis, sehingga tak ada yang berniat menjadi kupu-kupu malam. ”Kebanyakan itu masyarakat luar daerah. Kami minta pemkab lebih sering merazia agar setidaknya mereka tidak leluasa bergerak." ujar warga yang teriak entah merasa nama daerahnya rusak atau kurang uang suap sehingga ia berteriak dan pastinya tak pernah di dengar, karena hingga saat ini wisata itu tetap menjamur.



Namun yang terjadi wisata maksiat terus menjamur subur hingga tak dapat dibendung, banyaknya janda yang ada disana serta ekonomi sulit warga desa bisa saja di manfaatkan beberapa agen penyalur bisnis maksiat atau sekedar kimpoi kontrak.



Mungkin tempat ini sudah kalian kenal "warung kaleng" yah tempat ini menjadi sasaran utama para kaum arab yang ingin nikah dengan syarat kontrak, karena mereka berkeyakinan bila zina itu dosa.



Banyak sekali Wisatawan Timur Tengah biasanya datang bergerombol yang ingin kimpoi kontrak. Lokasinya di Warung Kaleng. Biaya kimpoi kontrak sekitar Rp10-15 juta. Separuh untuk mempelai wanita, sebagian sisanya dibagi untuk mediator, dua saksi dan penghulu yang asal comot. Wanitanya, sebenarnya bukanlah dari warga Puncak itu sendiri mungkin saja ada namun dapat dihitung dengan jari. Yang sering para wanita itu adalah warga pendatang dari Cianjur, atau Sukabumi, tak menutup kemungkinan dari wilayah lain pun ada.



Warga aslinya sendiri mengaku malu wilayahnya berlabel buruk karena hadirnya turis asing di Warung Kaleng. Sejumlah kafe dil ingkungan Warung Kaleng, disebutnya juga dikenali jadi tempat tongkrongan wanita asal Maroko, pastinya kalian tahu bisnis wanita ini apalagi setelah alexis di tutup.

Para wanita berhidung mancung ink mereka banyak tinggal di Puncak menjalankan bisnis esek-esek sampai kimpoi kontrak. Hanya bedanya, soal urusan kimpoi kontrak, gadis Maroko maunya dibayar tunai. Sebab, kalau kimpoi kontrak mereka enggan mengurus administrasi, tentunya harganya jadi lebih mahal.



Sebagai informasi, Warung Kaleng sebenarnya adalah sepotong Jalan Jakarta-Puncak di kilometer 84. Panjangnya, tak lebih dari 50-100 meter. Di kanan-kiri jalan, berjajar puluhan warung dan kafe. Yang membuat berbeda, sejumlah papan nama tempat usaha di lokasi tersebut banyak yang menggunakan papan nama berhuruf Arab dan terlihat banyak warga bertampang Timur Tengah. Kadang sering juga disebut kampung arab.

Kalian berminat ke puncak ??