- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tentang Mahuze, MIFEE dan Perampasan Tanah Ulayat


TS
linoleum123
Tentang Mahuze, MIFEE dan Perampasan Tanah Ulayat

Quote:
Mahuze

Suku Malind tinggal di pelosok Merauke. Merauke adalah kabupaten yang letaknya di wilayah paling timur Indonesia. Luas tanah Merauke sekitar 4,7 juta hektare dan 95.3% adalah hutan. Di Merauke terdapat beragam jenis suku, salah satunya Suku Malind. Suku Malind pun memiliki beragam marga, Mahuze adalah salah satunya.
Seperti halnya suku-suku Papua lainnya yang tinggal di pedalaman dan pegunungan, masyarakat Suku Malind adalah kaum pemburu dan peramu. Mereka tidak terbiasa dengan kegiatan bercocok tanam dan beternak. Bagi mereka hutan adalah rahim ibu yang memberikan kehidupan. Dari hutan mereka bisa langsung memperoleh makanan dengan berburu binatang dan memangkur (memanen) sagu. Sebab alam menyediakan segalanya secara gratis.
Namun, semua itu berubah sejak dicanangkannya MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate. Proyek MIFEE mendatangkan investor-investor asing tentunya.

Suku Malind tinggal di pelosok Merauke. Merauke adalah kabupaten yang letaknya di wilayah paling timur Indonesia. Luas tanah Merauke sekitar 4,7 juta hektare dan 95.3% adalah hutan. Di Merauke terdapat beragam jenis suku, salah satunya Suku Malind. Suku Malind pun memiliki beragam marga, Mahuze adalah salah satunya.
Seperti halnya suku-suku Papua lainnya yang tinggal di pedalaman dan pegunungan, masyarakat Suku Malind adalah kaum pemburu dan peramu. Mereka tidak terbiasa dengan kegiatan bercocok tanam dan beternak. Bagi mereka hutan adalah rahim ibu yang memberikan kehidupan. Dari hutan mereka bisa langsung memperoleh makanan dengan berburu binatang dan memangkur (memanen) sagu. Sebab alam menyediakan segalanya secara gratis.
Namun, semua itu berubah sejak dicanangkannya MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate. Proyek MIFEE mendatangkan investor-investor asing tentunya.
Quote:

Perlu kita ketahui bahwasanya makanan khas Papua adalah sagu. Titik. Demikian pula suku Malind dan suku-suku lainnya di Papua. Sagu adalah makanan pokok. Seperti halnya kita makan nasi. Proyek MIFEE ini seakan-akan membunuh masyarakat Papua secara tidak langsung. Dengan ditebang hutan-hutan yang kemudian diubah menjadi lahan produktif untuk pertanian padi dan kelapa sawit menjadikan Suku Malind di Merauke kehilangan tumpuan utamanya, lahan sagu. Selain itu, mereka juga kebingungan jika generasi selanjutnya hendak membangun rumah. Sebab kayu-kayu dari tanah mereka yang seharusnya digunakan untuk membangun rumah telah diratakan dengan tanah oleh perusahaan.
Bagi hasil antara Suku Malind (pemilik tanah) dengan perusahaan kelapa sawit (pengelola) dinilai tidak adil. Perusahaan menggunakan skema 80 : 20. Delapan puluh persen keuntungan diserahkan kepada perusahaan. Sisanya untuk pemilik tanah. Terkadang perusahaan tidak menunaikan kewajibannya dengan baik. Perusahaan melanggar kesepakan yang telah dibuat dan hukum adat setempat . Perusahaan memperluas lahan kelapa sawit melebihi patok-patok yang menjadi batas tanah ulayat yang dianggap sakral oleh Suku Malind. Suku Malind menjadi terasing dan terusir di negerinya.
Quote:

Bukan hanya itu, tingkat melek huruf, pendidikan, sumber daya manusia yang masih terbatas di kalangan Suku Malind membuat sebagian dari mereka mau bekerja sebagai buruh sawit di perusahaan tersebut.
Belajar dari hal tersebut, masyarakat dari Marga Mahuze melakukan upaya penolakan masuknya perusahaan kelapa sawit di wilayah mereka. Sebab, Marga Mahuze menyaksikan sendiri dusun tetangga telah kehilangan tanah mereka. Tak hanya kehilangan tanah, dusun tetangga juga kesulitan mencari sumber pangan. Tak ada lagi sagu untuk dipangkur (dipanen).
“Dulu Kali Bian airnya bisa diminum. Airnya bersih sebelum adanya perusahaan. Tapi dengan adanya perusahaan, kami tidak bisa lagi mimun. Untuk minum kami harus pergi beli air atau masak air dari sumur.” Ujar salah satu Marga Mahuze ketika ditanya kondisi air di Sungai Bian. Kondisi Sungai Bian telah tercemar oleh limbah perusahaan.

Keadaan itu diamini oleh Darius Nenob Mahuze,”Kami sekarang tidak bisa melihat ikan di bawah permukaan air.” Sungguh ironis.
Konflik di sini bermula ketika salah satu sesepuh Marga Mahuze menerima ‘amplop’ dari perusahaan. Sejak saat itu perusahaan datang dengan mengerahkan buldozernya. Hutan ulayat hendak diratakan dengan tanah. Para marga mengadakan Rapat Mahuze Besar untuk bermusyawarah mengenai hal tersebut. Menjelang tengah malam situasi semakin memanas. Namun akhirnya disepakati bahwasanya tanah ulayat Marga Mahuze tidak boleh dijual kepada perusahaan kelapa sawit. Apapun yang terjadi.
Quote:
Pengertian Tanah Ulayat

Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.
Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan maka.
Sebaliknya, tanah ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah ulayat”.
Quote:
MIFEE

Proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energi Estate) berbasis agroindustri tersebut digagas di era Presiden SBY pada tahun 2010, kemudian tongkat estafetnya dilanjutkan oleh pemerintahan sekarang. Pada awalnya proyek ini bernama MIRE (Merauke Integrated Rice Estate) dan diinisiasi oleh Bupati Merauke John Gulba Gebze pada tahun 2007.
Merauke dipilih sebagai grand design MIFEE tak lain karena banyak lahan basah dan potensial yang luas dan subur di sana. Apalagi setelah pemekaran wilayah pada tahun 2002. Luas lahan basah dan potensial tersebut mencapai 4,5 juta hektare. Proyek ini disusun guna mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi dan juga menciptakan ketahanan pangan dan energi nasional.

Proyek MIFEE ini justru lebih banyak menciptakan kerugian materi dan nonmateri bagi Pribumi Papua.
Banyak hak-hak pribumi Papua yang tercerabut. Para pribumi Papua akan mengalami kendala dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan sandang. Mereka murni mengandalkan hasil hutan. Konflik perebutan tanah adat atau tanah ulayat dimulai dari sini. Para investor dan pengusaha berdatangan mendirikan perusahaan dan industri setelah mengantongi izin hak guna hutan dari dinas terkait.
Dampak negatif lainnya adalah pencemaran air. Selain membabat habis hutan dan menghilangkan sumber pangan dan sandang pribumi Papua, air sungai menjadi terkontaminasi oleh limbah. Tidak hanya limbah kelapa sawit, tetapi juga limbah kayu serpih. Pribumi Papua kesulitan mencari air bersih dan ikan-ikan di sungai. Sepertinya perusahaan lepas tangan dan tutup mata terhadap hal tersebut.
Quote:
Miris melihat tanah Papua yang semakin diexploitasi untuk kepentingan sekelompok orang atau pengusaha.
Papua yang kata orang adalah Secuil tanah surga yang jatuh ke bumi......sekarang dirusak dan menjadi ajang mencari keuntungan tanpa memperhatikan alam dan manusia didalamnya.
Kita cuma bisa berharap, Semoga yang Punya secuil tanah itu nggak marah ya gan.....
Papua yang kata orang adalah Secuil tanah surga yang jatuh ke bumi......sekarang dirusak dan menjadi ajang mencari keuntungan tanpa memperhatikan alam dan manusia didalamnya.
Kita cuma bisa berharap, Semoga yang Punya secuil tanah itu nggak marah ya gan.....



Spoiler for sumber:
0
2.6K
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan