- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Optimisme Indonesia 2018 Versus Pesimisme Untuk Jakarta


TS
accmurahcell
Optimisme Indonesia 2018 Versus Pesimisme Untuk Jakarta

Quote:
Tentunya dengan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur dari Pak Jokowi, masa depan di 2018 akan cerah.
Saya turut mengaminkannya, seperti juga kaskuser yang lainnya. Tapi bagaimana dengan nasib Jakarta? Mundur bukan teratur tapi mundur semrawut alias acak kadut karena aksi para badut!
Lihatlah kalau dulu pada masa pemerintahan sebelumnya Jakarta menjadi model dan contoh untuk pembangunan bagi daerah-daerah. Normalisasi sungai, transportasi TransJakarta, RPTRA dan lain sebagainya menjadi contoh seperti yang diungkapkan Ahok, Jakarta sebagai Ibu Kota menjadi model bagi provinsi lainnya.
Ketika tempat kumuh dan lahan mesum diobrak-abrik dan dijadikan tempat rekreasi Taman Kalijodo maka ini menimbulkan iri dari warga luar Jakarta. Saya terharu ketika seorang sopir taksi online bercerita bahwa dia pernah membawa seorang Ibu dari Bogor bersama putranya yang remaja sembari membawa skateboard. Tujuannya ke mana? Taman Kalijodo untuk menjajal skillnya di arena berskala internasional. Jakarta menjadi buah bibir dan sorotan secara positif.
Hanya selang waktu beberapa bulan, maka sorotan itu bertambah, intens alias meningkat tapi bukannya positif tapi trennya negatif. Penangan Tanah Abang salah satunya yang jelas melanggar hukum tapi dipaksakan, dibalutisasi dengan penataan “out of the box”, ha ha ha ternyata konsepnya “out of mind”, dan out of the planet. Luar biasa kan?
Netizen luar Jakarta membandingkan, seoran g Walikota Surabaya yang notabene saja seorang wanita berani menggebrak dan menggusur PKL di jalan-jalan dan trotoar Surabaya. Sembari teriak-terika penuh kemarahan, satpol PP Surabaya nggak berkutik, akhirnya satpol PP jadi tegas dan giliran PKL yang diomelin, ha ha. Nah gitu.
Hal yang sama sudah pernah dilakukan oleh Pak Jokowi dan Ahok sebelumnya di Tanah Abang tentunya dengan gaya masing-masing. Dengan ketegasan yang berpadu dengan kebijakan yang tepat dan efektif, Tanah Abang jadi tertib, rapi dan lancar. Contoh sudah pernah ada tapi mempertahankan saja tidak bisa karena tersandera dengan kepentingan pendukungnya di Tanah Abang serta bercampur dengan tidak adanya ketegasan di kedua pemimpin itu!
Kini warga DKI Jakarta akhirnya hanya bisa mengelus jidat atau menggaruk kepala yang tak berkutu dan tak berketombe. Kepala yang selama ini jarang digaruk jadi sasaran penggarukan, jidat yang selama ini tidak cenat-cenut tapi akhirnya jadi ikutan cenat-cenut mengikuti irama kesemrawutan yang bertambah di Ibukota ini.
Bagaimana tidak penulis ikutan jengkel, penulis berada di sebuah sekolah yang beberapa orang tuanya dagang atau jualan di Tanah Abang di blok yang resmi. Saat waktu lalu pernah ada orang tua yang mengadu tapi ini sebelum kasus Tanah Abang menyeruak, mereka curhat untuk kendala bayar uang sekolah. Mereka sih bisnisnya bukan di Tanah Abang tapi hal ini mengusik hati saya.
Lah bagaimana dengan orang tua murid yang jadi pedagang di Tanah Abang, jalannya ditutup, akses bongkar muat ditutup. Ini namanya mematikkan hak usaha mereka secara drastis. Kesempatan uasah yang legal dimatikan dengan kedok penataan PKL eh PKM yang tidak ada keberpihakannya sama sekali.
Ini salah satu contoh bagaimana model penataan PKL ini akhirnya disorot Kepolisian, Ombudsman dan pengamat transportas. Petisi di Change.org makin mendekati 50.000 untuk menunjukkan betapa mentahnya kebijakan yang diusung akhirnya berbuahkan protes.
Jakarta kembali suram, penanganan banjir salah satu contohnya sekarang tidak ada titik terang di 2018. Dirjen SDA menyatakan bahwa Pusat tidak akan melannjtkan normalisasi sungai karena proyek normalisasi sungai Jakarta itu adalah proyek bersama Pusat dan DKI. Pemprov DKI menjadi penyedia lahan lalu Pusat akan menggarap insfrastruktur dengan dana APBN.
Jokowi tidak melupakan Jakarta dalam penanganan banjir. Pembangunan Banjir Kanal, Sodetan Kali Ciliwung adalah proyek dari Pusat. Tapi lagi-lagi pembangunan atau proyek yang dikerjakan Pusat di Jakarta menjadi terancam mangkrak.
Jangan dibaca ini sebagai bukti Pusat tidak mendukung. Tapi masalahnya terletak di Gubernur DKI sendiri saat ini yang tidak memiliki inisiatif untuk bekerja padahal tinggal melanjutkan program saja dari Jokowi-Ahok. Seabrek alasan diusung dan seabrek gagasan hanya jadi sebatas rencana dan wacana. Normalisasi jadi naturalisasi dan kerukisasi serta terakhir tambalisasi Tanggul Baswedan yang untungnya masih belum jebol lagi karena belum hujan lagi.
Benarlah apa yang dikatakan juru bicaranya Anies-Sandi yaitu Pandji bahwa Mas Sandi ini sangat hebat dan jago dalam gagasan. Gagasan kan? Jadi gagasan itu bermain dalam ranah pikiran, janji manis dan jangan sekali-kali dibawa dalam dunia secara konkrit. Hasilnya? Jangan ditanya, amburadul, dul! Makanya Pandji sekarang mingkem, diam, mungkin merasa bersalah tapi ini ini sudah kepalang.
Jadi berkaca dari Jakarta, dalam Pilkada dan Pilpres, lihat track recordnya, jangan memilih pemimpin yang tidak kapabel, hanya jualan janji manis dan kesantunan. Pemimpin yang membuai dengan janji manis itu sebenarnya tidak mampu karena semakin manis janjinya sebenarnya semakin tidak mampu ia mewujudkannya. Jadi jangan mau dibohongi lagi dengan balutisasi kesantunan, program manis di bibir tapi kecut di dunia nyata.
Tapi saya menyelipkan harapan, di tengah carut marut Ibu Kota, saya berharap Pak Jokowi yang ada di Istana dan sering keliling serta update di media pasti tidak akan tinggal diam. Entah mau memberi kesempatan atau menunggu makin ambruk dulu tapi amit-amit janganlah.
Tapi demi gengsi ini IbuKota Negara, bisa jadi akan “memaksa”, beliau untuk turun entah dengan senyap atau seperti di Jawa Barat yang diambil alih langsung pembangunannya mulai Januari 2018. Jadi eksekusinya kapan ya Pakdhe, awal januari 2019 saja atau pertengahan jauh lebih baik. Jangan lupakan DKI Jakarta ya pak Jokowi, selamat menyambut Tahun Baru 2019 eh 2018 deng.
Saya turut mengaminkannya, seperti juga kaskuser yang lainnya. Tapi bagaimana dengan nasib Jakarta? Mundur bukan teratur tapi mundur semrawut alias acak kadut karena aksi para badut!
Lihatlah kalau dulu pada masa pemerintahan sebelumnya Jakarta menjadi model dan contoh untuk pembangunan bagi daerah-daerah. Normalisasi sungai, transportasi TransJakarta, RPTRA dan lain sebagainya menjadi contoh seperti yang diungkapkan Ahok, Jakarta sebagai Ibu Kota menjadi model bagi provinsi lainnya.
Ketika tempat kumuh dan lahan mesum diobrak-abrik dan dijadikan tempat rekreasi Taman Kalijodo maka ini menimbulkan iri dari warga luar Jakarta. Saya terharu ketika seorang sopir taksi online bercerita bahwa dia pernah membawa seorang Ibu dari Bogor bersama putranya yang remaja sembari membawa skateboard. Tujuannya ke mana? Taman Kalijodo untuk menjajal skillnya di arena berskala internasional. Jakarta menjadi buah bibir dan sorotan secara positif.
Hanya selang waktu beberapa bulan, maka sorotan itu bertambah, intens alias meningkat tapi bukannya positif tapi trennya negatif. Penangan Tanah Abang salah satunya yang jelas melanggar hukum tapi dipaksakan, dibalutisasi dengan penataan “out of the box”, ha ha ha ternyata konsepnya “out of mind”, dan out of the planet. Luar biasa kan?
Netizen luar Jakarta membandingkan, seoran g Walikota Surabaya yang notabene saja seorang wanita berani menggebrak dan menggusur PKL di jalan-jalan dan trotoar Surabaya. Sembari teriak-terika penuh kemarahan, satpol PP Surabaya nggak berkutik, akhirnya satpol PP jadi tegas dan giliran PKL yang diomelin, ha ha. Nah gitu.
Hal yang sama sudah pernah dilakukan oleh Pak Jokowi dan Ahok sebelumnya di Tanah Abang tentunya dengan gaya masing-masing. Dengan ketegasan yang berpadu dengan kebijakan yang tepat dan efektif, Tanah Abang jadi tertib, rapi dan lancar. Contoh sudah pernah ada tapi mempertahankan saja tidak bisa karena tersandera dengan kepentingan pendukungnya di Tanah Abang serta bercampur dengan tidak adanya ketegasan di kedua pemimpin itu!
Kini warga DKI Jakarta akhirnya hanya bisa mengelus jidat atau menggaruk kepala yang tak berkutu dan tak berketombe. Kepala yang selama ini jarang digaruk jadi sasaran penggarukan, jidat yang selama ini tidak cenat-cenut tapi akhirnya jadi ikutan cenat-cenut mengikuti irama kesemrawutan yang bertambah di Ibukota ini.
Bagaimana tidak penulis ikutan jengkel, penulis berada di sebuah sekolah yang beberapa orang tuanya dagang atau jualan di Tanah Abang di blok yang resmi. Saat waktu lalu pernah ada orang tua yang mengadu tapi ini sebelum kasus Tanah Abang menyeruak, mereka curhat untuk kendala bayar uang sekolah. Mereka sih bisnisnya bukan di Tanah Abang tapi hal ini mengusik hati saya.
Lah bagaimana dengan orang tua murid yang jadi pedagang di Tanah Abang, jalannya ditutup, akses bongkar muat ditutup. Ini namanya mematikkan hak usaha mereka secara drastis. Kesempatan uasah yang legal dimatikan dengan kedok penataan PKL eh PKM yang tidak ada keberpihakannya sama sekali.
Ini salah satu contoh bagaimana model penataan PKL ini akhirnya disorot Kepolisian, Ombudsman dan pengamat transportas. Petisi di Change.org makin mendekati 50.000 untuk menunjukkan betapa mentahnya kebijakan yang diusung akhirnya berbuahkan protes.
Jakarta kembali suram, penanganan banjir salah satu contohnya sekarang tidak ada titik terang di 2018. Dirjen SDA menyatakan bahwa Pusat tidak akan melannjtkan normalisasi sungai karena proyek normalisasi sungai Jakarta itu adalah proyek bersama Pusat dan DKI. Pemprov DKI menjadi penyedia lahan lalu Pusat akan menggarap insfrastruktur dengan dana APBN.
Jokowi tidak melupakan Jakarta dalam penanganan banjir. Pembangunan Banjir Kanal, Sodetan Kali Ciliwung adalah proyek dari Pusat. Tapi lagi-lagi pembangunan atau proyek yang dikerjakan Pusat di Jakarta menjadi terancam mangkrak.
Jangan dibaca ini sebagai bukti Pusat tidak mendukung. Tapi masalahnya terletak di Gubernur DKI sendiri saat ini yang tidak memiliki inisiatif untuk bekerja padahal tinggal melanjutkan program saja dari Jokowi-Ahok. Seabrek alasan diusung dan seabrek gagasan hanya jadi sebatas rencana dan wacana. Normalisasi jadi naturalisasi dan kerukisasi serta terakhir tambalisasi Tanggul Baswedan yang untungnya masih belum jebol lagi karena belum hujan lagi.
Benarlah apa yang dikatakan juru bicaranya Anies-Sandi yaitu Pandji bahwa Mas Sandi ini sangat hebat dan jago dalam gagasan. Gagasan kan? Jadi gagasan itu bermain dalam ranah pikiran, janji manis dan jangan sekali-kali dibawa dalam dunia secara konkrit. Hasilnya? Jangan ditanya, amburadul, dul! Makanya Pandji sekarang mingkem, diam, mungkin merasa bersalah tapi ini ini sudah kepalang.
Jadi berkaca dari Jakarta, dalam Pilkada dan Pilpres, lihat track recordnya, jangan memilih pemimpin yang tidak kapabel, hanya jualan janji manis dan kesantunan. Pemimpin yang membuai dengan janji manis itu sebenarnya tidak mampu karena semakin manis janjinya sebenarnya semakin tidak mampu ia mewujudkannya. Jadi jangan mau dibohongi lagi dengan balutisasi kesantunan, program manis di bibir tapi kecut di dunia nyata.
Tapi saya menyelipkan harapan, di tengah carut marut Ibu Kota, saya berharap Pak Jokowi yang ada di Istana dan sering keliling serta update di media pasti tidak akan tinggal diam. Entah mau memberi kesempatan atau menunggu makin ambruk dulu tapi amit-amit janganlah.
Tapi demi gengsi ini IbuKota Negara, bisa jadi akan “memaksa”, beliau untuk turun entah dengan senyap atau seperti di Jawa Barat yang diambil alih langsung pembangunannya mulai Januari 2018. Jadi eksekusinya kapan ya Pakdhe, awal januari 2019 saja atau pertengahan jauh lebih baik. Jangan lupakan DKI Jakarta ya pak Jokowi, selamat menyambut Tahun Baru 2019 eh 2018 deng.
0
1.3K
Kutip
11
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan