- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
#KaskusTravelStory: Probolinggo, Kota Kecil Yang Menyimpan Keindahan.


TS
galaxy13
#KaskusTravelStory: Probolinggo, Kota Kecil Yang Menyimpan Keindahan.
Permisi gan and sis, ane mau numpang cerita tentang traveling ane bulan Agustus-September 2017. Sebenarnya traveling ini selama 15 hari 14 malam di 3 kota (Probolinggo, Malang dan Jogja). Tapi disini ane cuma bercerita di dua lokasi yang menurut ane paling berkesan, karena selain tempatnya yang tersembunyi juga masih jarang dikunjungi oleh orang banyak.
Jauh dari nuansa keramaian kota, letaknya berada di Desa Tiris dan satu wilayah dengan Danau Ranu Segaran. Pemandian alami ini memiliki dua mata air yang berbeda yang mengalir pada satu sungai. Konon, panas yang dihasilkan merupakan satu muara dengan aktifitas Gunung Bromo. Sumber mata air masih alami dan belum tersentuh modernisasi alam.
Usai dari Taman Nasional Gunung Bromo, aku dan Yen menuju homestay terlebih dahulu dengan menggunakan sepeda motor sewaan dari terminal Probolinggo. Berjarak 8 kilometer, kami tiba di homestay untuk check in terlebih dahulu lalu menaruh ransel dan beristirahat sejenak. Sekelumit rasa lelah melumat sekujur tubuh.
Dan sekitar pukul 13.00 WIB, Yen mengajakku untuk mengunjungi pemandian air panas alami yang terletak di Desa Tiris. Berjarak 43 kilometer dari kota dengan titik kordinat Danau Ranu segaran yang terdeteksi di Google Map. Kami berangkat menuju ke lokasi menggunakan sepeda motor.
untuk menghemat waktu kulajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi berpacu dengan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di ruas jalan besar. Sementara Yen menjadi navigator perjalanan mengikuti petunjuk rute yang tertera pada Google Map. Melewati hamparan sawah yang berada di kanan-kiri ruas jalan besar lalu melintasi perkebunan pohon jati yang terbelah oleh jalan beton dengan beberapa titik yang masih dalam perbaikan, penuh dengan kelokan-kelokan tajam.
Dan saat memasuki Desa Segaran, kondisi jalan berbatu sehingga aku harus menurunkan kecepatan sepeda motor. Suasana yang sepi dari kendaraan-kendaraan yang melintas membuatku leluasa saat berkendara. Setelah itu memasuki Desa Tiris dengan jalan yang juga berbatu. Dan 500 meter di depan terlihat banner yang menempel di tembok sebagai penanda pintu masuk.
Kubelokkan sepeda motor memasuki gang sempit yang hanya berukuran satu mobil sedan. Terlihat pos loket yang tutup, serta beberapa anak kecil yang sedang bermain, perlahan-lahan kulajukan sepeda motor mengikuti jalan dan melewati Danau Ranu Segaran hingga sampai di ujung pertigaan tempat parkiran mobil.
Lalu kubelokkan sepeda motor ke kiri menurun tajam ke bawah lurus terus hingga sampai di parkiran sepeda motor. Kemudian kami melanjutkan dengan berjalan kaki 200 meter ke depan. Saat itu, kami tidak dikenakan tiket masuk sementara di lokasi terdapat warung yang sedang tutup, 2 kamar mandi umum dan beberapa bangku yang memanjang.
Kutaruh dry bag di salah satu bangku dan beristirahat sejenak setelah perjalanan panjang. Di dalam kolam terlihat 2 pria paruh baya yang sedang duduk berendam tanpa sehelai pakaian. Sementara dari dalam warung keluar bapak tua dengan senyum ramahnya menyambut kehadiran kami.
Sejurus kemudian, Yen melepaskan pakaiannya lalu berjalan masuk ke dalam kolam air panas dan berendam di dalamnya. Setelah itu, aku menyusul lalu duduk berendam di sampingnya. Kemudian kusapa kedua pria paruh baya tersebut yang langsung disambut dengan senyum ramah tamahnya sambil menutupi kemaluan dengan kedua tangannya.
Sementara itu, kami tidak menghiraukan dengan keadaan yang seperti itu. Kami hanya berendam menikmati sensasi air panas di dalam kolam yang berada di tepi sungai dengan kedalaman air yang hanya setinggi betis orang dewasa dengan suhu air panas yang mencapai 5 derajat. Sementara gelembung-gelembung kecil layaknya minuman bersoda menyembul keluar dari dalam tanah. Dan di sisi kolam di sekat dengan batu-batu kali yang terbungkus kawat.
Hal itu dilakukan oleh warga setempat agar lumpur-lumpur yang berasal dari sungai tidak bercampur ke dalam kolam air panas. Sebenarnya di lokasi sekitar terdapat 6 titik air panas lagi hanya saja tempat-tempat yang lainnya sudah bercampur dengan lumpur yang terhempas oleh aliran air sungai.
Dan menurut kedua pria paruh baya yang berendam tersebut, air panasnya dipercaya sebagai terapi pengobatan seperti gatal-gatal, panu dan penyakit kulit lainnya. Sementara di sekeliling air panas ditumbuhi rimbunnya pepohonan yang sangat asri. Cukup lama kami berendam di kolam air panas dengan aroma belerang yang tidak terlalu kuat.
Saat aku sedang bercengkarama dengan kedua pria paruh baya itu, Yen beranjak dari dalam kolam dan berpindah ke sungai dengan aliran airnya yang sangat dingin dengan kedalaman sebetis orang dewasa. Lalu Yen memanggilku untuk merasakan sensasi dingin air sungai tersebut. Aku pun tergoda dan beranjak dari kolam air panas berpindah ke sungai berendam bersamanya.
Berhubung waktu sudah semakin sore, sekitar pukul 16.30 WIB, aku mengajak Yen untuk menyudahi aktifitas berendam. Setelah itu, kami berjalan menuju kamar mandi umum untuk mengganti pakaian dan kemudian berjalan menuju parkiran sepeda motor, lalu membayar parkiran kepada bapak tua yang menjaga sepeda motor. Setelah itu, kulajukan sepeda motor untuk kembali ke homestay dengan menggunakan Google Map sebagai petunjuk jalan.
Terisolasi dari keramaian, tersembunyi diantara 2 bukit yang mengapit. Tidak ada petunjuk apapun mengenai keberadaannya, namun cukup sulit untuk menggapainya. Air terjun Triban adalah secuil nirwana yang menggoda berhiaskan padang ilalang yang asri di wilayah Kota Probolinggo.
Gumpalan-gumpalan awan putih yang menggantung di langit biru pada pagi hari yang cerah cukup membakar antusiasku untuk menjelajahi Kota Probolinggo. Dengan menggunakan sepeda motor dan mengandalkan Google Map, aku dan Yen berangkat dari homestay dengan tujuan Air Terjun Watu Lawang yang berjarak 23 kilometer dari kota.
Sesampainya di Jalan Raya Ngepung yang menjadi titik akhir kordinat yang tertera di Google Map cukup membuatku bingung untuk mencari keberadaan air terjun tersebut. Lalu ku hentikan sepeda motor tepat di depan salah satu warga yang sedang berdiri di tepi jalan sambil membawa cangkul, aku mencoba bertanya kepadanya tapi bapak tua itu tidak mengetahuinya, namun beliau mengarahkanku untuk ke air terjun Madakaripura.
Tidak mendapatkan jawaban yang kuinginkan, aku berlalu dari hadapannya dan kembali melajukan sepeda motor perlahan-lahan menanjak keatas sambil menoleh ke kanan-kiri mencari jalan masuk. Dikungkungi oleh keraguan yang menggeliat, dari belakang Yen menepuk-nepuk pundak lalu ku hentikan laju sepeda motor di tepi jalan.
Diam-diam, Yen browsing untuk mencari info keberadaan air terjun tersebut dan mendapatkan salah satu artikel yang berisikan tentang Air Terjun Watu Lawang. Lalu kubaca dari atas sampai ke bawah. Di dalam artikel tersebut disebutkan sebelum SMKN 1 Probolinggo terdapat gang kecil yang menjadi pintu masuk.
Lalu kulajukan kembali sepeda motor perlahan-lahan mengikuti petunjuk yang tertulis. Dan beberapa meter di depan, kulihat salah satu sekolah dan gang kecil yang berhiaskan gapura dari bambu seperti yang tertulis, Ku belokkan sepeda motor masuk ke dalam gang sampai di ujung di salah satu rumah warga, dan ku parkirkan sepeda motor di tempat tersebut.
Tidak ada seorang pun di area rumah-rumah warga, tapi aku melihat plang bertuliskan “Parkir Motor Ke Air Terjun”. Sejenak kami sangat senang karena sudah menemukan jalan masuk. Setelah turun dari sepeda motor, kami berjalan memasuki perkebunan yang di pagari bambu namun terdapat celah untuk masuk ke dalamnya, kami berjalan mengikuti jalan setapak perkebunan hingga di ujung.
Sampai disini, kami kembali kebingungan mencari jalan untuk turun ke bawah. Lalu aku menyuruh Yen untuk menunggu, sementara aku turun ke bawah beberapa langkah untuk melihat situasi. Jalurnya terlihat begitu curam dan sangat menyeramkan karena tekstur jalan tanah kering bercampur pasir. Kemudian aku kembali menghampiri Yen yang berdiri menunggu, setelah itu melihat-lihat sekitar.
Kemudian ku lihat jalan setapak yang lain, lalu mengajak Yen untuk berjalan menyusuri jalan setapak yang memutari perkebunan sampai pada satu titik jalan yang sedang dalam perbaikan dengan tumpukkan pasir yang menghalangi jalan. Kami terus menyusuri jalan itu sampai di ujung terdapat saung yang bersandingkan batu besar dengan jalan yang bercabang, jika ke kiri mengarah ke perkebunan yang lain, sementara ke kanan mengarah turun ke bawah.
Sejenak kami berhenti lalu menoleh ke arah kanan dan melihat dari kejauhan sebuah aliran sungai yang memanjang. Dan beberapa saat kemudian, aku memutuskan mengambil jalur kanan dengan jalan setapak yang menurun ke bawah tapi tidak terlalu curam. Aku berjalan di depan, Sementara Yen berjalan di belakang. Kami berjalan memutari bukit yang ditumbuhi oleh ilalang.
Teriknya matahari yang menghujam tidak menyurutkan langkahku, namun dalam jarak tertentu sesekali aku berhenti dan menoleh ke belakang melihat Yen yang berjalan melambat penuh dengan kehati-hatian. Saat Yen sudah mulai mendekat, aku melanjutkan jalan kembali, Sementara gemericik alunan aliran air sudah terdengar diantara kesunyian yang menyibak.
Sesampainya dibawah, diliputi rasa gembira yang tak terbendung, aku berdiri diatas bebatuan tepi kolam sambil menunggu Yen yang masih jalan turun kebawah. Air yang jernih nan segar mengalir deras di antara kolam-kolam alami. Dan sejurus kemudian, Yen tiba dibawah lalu berdiri di sampingku. Sementara saat itu tidak ada seorangpun selain aku dan Yen.
Kemudian Yen melepas pakaiannya lalu berenang masuk ke dalam kolam, aku pun tergoda oleh kesegaran airnya lalu ku lepas pakaian dan masuk ke dalam kolam, berenang bersamanya. Belum cukup puas, beberapa menit kemudian, Aku dan Yen beranjak dari dalam kolam lalu berjalan di atas bebatuan tepi kolam melawan aliran air sungai.
Melewati tanah bekas longsor, melompat dari satu batu ke batu yang lain, menyebrangi aliran air sungai yang dangkal sampai akhirnya kami melihat 3 air terjun yang bertingkat dari jarak yang masih jauh. Aku dan Yen sangat terkesima melihatnya, dan terus berjalan menyusuri tempat tersebut hingga tiba di salah satu air terjun dengan debit air yang deras menghujam kolam alaminya yang tidak begitu besar.
Tapi aku masih penasaran dengan air terjun yang berada diatasnya. Lalu ku cari cara mencari jalan untuk keatas dengan melihat-lihat sekitar. Dan di sebelah kanan air terjun terdapat tebing yang tidak terlalu tinggi dengan banyak celah. Aku mengajak Yen untuk memanjatnya, dengan cara merayap dan hanya mengandalkan celah-celah tebing untuk berpijak
Sampai diatas, debit air terjun yang kedua tidak jauh berbeda dengan yang pertama, hanya saja kolam alaminya begitu luas dan panoramanya cukup membius mata. Aku dan Yen merehatkan diri sejenak diatas bebatuan sambil memandang air terjun yang jatuh menghujam yang diiringi dengan alunan air yang mengalir.
Tidak sampai disitu, aku semakin penasaran dengan air terjun yang berada diatasnya lagi, lalu ku lihat-lihat sekitar mencari cara untuk menggapai air terjun yang ketiga. Namun sangat disayangkan, aku tidak menemukan jalan untuk naik keatas dan juga tidak mau memaksakan diri lagi untuk merayap di tebing tanpa pengamanan karena jalurnya cukup sulit.
Waktu yang terus bergulir dan cuaca yang berubah, aku dan Yen memutuskan untuk kembali ke parkiran sepeda motor dengan melewati jalur yang kami lalui sebelumnya kemudian trekking ke atas memutari bukit hingga tiba di saung yang bersandingkan batu besar. Sejenak aku merehatkan diri duduk diatas ilalang dengan peluh yang membanjiri tubuh. Usai itu, kembali berjalan mengikuti jalan setapak hingga tiba di parkiran sepeda motor.
Terlihat bapak tua yang berdiri dipintu rumahnya yang terbuka, lalu ku sapa yang dibalas dengan senyum ramahnya kemudian berbincang sejenak bercerita kepadanya tentang air terjun yang ku gapai. Dan menurut bapak tua itu, aku telah salah jalur, air terjun bertingkat yang kutemui adalah Air Terjun Triban 1 dan 2 sementara untuk Air Terjun Watu Lawang jalurnya ke kanan dengan rute saat masuk ke dalam perkebunan mengikuti jalan setapak lalu sampai di ujung turun ke bawah yang menurutku jalurnya sangat curam.
Lalu bapak tua menawari jasa untuk mengantarkanku ke Air Terjun Watu Lawang, sementara karena sudah terlalu lelah, aku dan Yen memutuskan untuk kembali ke homestay. Lokasi ini memang belum di kelolah dan tidak ada tiket masuk sehingga belum begitu banyak yang tahu ditambah lagi dengan minimnya petunjuk dan jalurnya yang sangat curam.
Hanya orang-orang yang berjiwa petualang yang mengetahui keberadaan air terjun yang berada di Desa Ngepung, Kecamatan Sukapura, Probolinggo. Sementara di dalam lokasi tersebut terdapat beberapa air terjun seperti Air Terjun Watu Lawang, Air Terjun Triban 1 dan 2, Air Terjun Kedung Amis dan Air Terjun Sumber Pakis.
Quote:
Dua Mata Air Yang Berbeda Dalam Satu Sungai
Jauh dari nuansa keramaian kota, letaknya berada di Desa Tiris dan satu wilayah dengan Danau Ranu Segaran. Pemandian alami ini memiliki dua mata air yang berbeda yang mengalir pada satu sungai. Konon, panas yang dihasilkan merupakan satu muara dengan aktifitas Gunung Bromo. Sumber mata air masih alami dan belum tersentuh modernisasi alam.
Usai dari Taman Nasional Gunung Bromo, aku dan Yen menuju homestay terlebih dahulu dengan menggunakan sepeda motor sewaan dari terminal Probolinggo. Berjarak 8 kilometer, kami tiba di homestay untuk check in terlebih dahulu lalu menaruh ransel dan beristirahat sejenak. Sekelumit rasa lelah melumat sekujur tubuh.
Dan sekitar pukul 13.00 WIB, Yen mengajakku untuk mengunjungi pemandian air panas alami yang terletak di Desa Tiris. Berjarak 43 kilometer dari kota dengan titik kordinat Danau Ranu segaran yang terdeteksi di Google Map. Kami berangkat menuju ke lokasi menggunakan sepeda motor.
untuk menghemat waktu kulajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi berpacu dengan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di ruas jalan besar. Sementara Yen menjadi navigator perjalanan mengikuti petunjuk rute yang tertera pada Google Map. Melewati hamparan sawah yang berada di kanan-kiri ruas jalan besar lalu melintasi perkebunan pohon jati yang terbelah oleh jalan beton dengan beberapa titik yang masih dalam perbaikan, penuh dengan kelokan-kelokan tajam.
Dan saat memasuki Desa Segaran, kondisi jalan berbatu sehingga aku harus menurunkan kecepatan sepeda motor. Suasana yang sepi dari kendaraan-kendaraan yang melintas membuatku leluasa saat berkendara. Setelah itu memasuki Desa Tiris dengan jalan yang juga berbatu. Dan 500 meter di depan terlihat banner yang menempel di tembok sebagai penanda pintu masuk.
Kubelokkan sepeda motor memasuki gang sempit yang hanya berukuran satu mobil sedan. Terlihat pos loket yang tutup, serta beberapa anak kecil yang sedang bermain, perlahan-lahan kulajukan sepeda motor mengikuti jalan dan melewati Danau Ranu Segaran hingga sampai di ujung pertigaan tempat parkiran mobil.
Lalu kubelokkan sepeda motor ke kiri menurun tajam ke bawah lurus terus hingga sampai di parkiran sepeda motor. Kemudian kami melanjutkan dengan berjalan kaki 200 meter ke depan. Saat itu, kami tidak dikenakan tiket masuk sementara di lokasi terdapat warung yang sedang tutup, 2 kamar mandi umum dan beberapa bangku yang memanjang.
Kutaruh dry bag di salah satu bangku dan beristirahat sejenak setelah perjalanan panjang. Di dalam kolam terlihat 2 pria paruh baya yang sedang duduk berendam tanpa sehelai pakaian. Sementara dari dalam warung keluar bapak tua dengan senyum ramahnya menyambut kehadiran kami.
Sejurus kemudian, Yen melepaskan pakaiannya lalu berjalan masuk ke dalam kolam air panas dan berendam di dalamnya. Setelah itu, aku menyusul lalu duduk berendam di sampingnya. Kemudian kusapa kedua pria paruh baya tersebut yang langsung disambut dengan senyum ramah tamahnya sambil menutupi kemaluan dengan kedua tangannya.
Sementara itu, kami tidak menghiraukan dengan keadaan yang seperti itu. Kami hanya berendam menikmati sensasi air panas di dalam kolam yang berada di tepi sungai dengan kedalaman air yang hanya setinggi betis orang dewasa dengan suhu air panas yang mencapai 5 derajat. Sementara gelembung-gelembung kecil layaknya minuman bersoda menyembul keluar dari dalam tanah. Dan di sisi kolam di sekat dengan batu-batu kali yang terbungkus kawat.
Hal itu dilakukan oleh warga setempat agar lumpur-lumpur yang berasal dari sungai tidak bercampur ke dalam kolam air panas. Sebenarnya di lokasi sekitar terdapat 6 titik air panas lagi hanya saja tempat-tempat yang lainnya sudah bercampur dengan lumpur yang terhempas oleh aliran air sungai.
Dan menurut kedua pria paruh baya yang berendam tersebut, air panasnya dipercaya sebagai terapi pengobatan seperti gatal-gatal, panu dan penyakit kulit lainnya. Sementara di sekeliling air panas ditumbuhi rimbunnya pepohonan yang sangat asri. Cukup lama kami berendam di kolam air panas dengan aroma belerang yang tidak terlalu kuat.
Saat aku sedang bercengkarama dengan kedua pria paruh baya itu, Yen beranjak dari dalam kolam dan berpindah ke sungai dengan aliran airnya yang sangat dingin dengan kedalaman sebetis orang dewasa. Lalu Yen memanggilku untuk merasakan sensasi dingin air sungai tersebut. Aku pun tergoda dan beranjak dari kolam air panas berpindah ke sungai berendam bersamanya.
Berhubung waktu sudah semakin sore, sekitar pukul 16.30 WIB, aku mengajak Yen untuk menyudahi aktifitas berendam. Setelah itu, kami berjalan menuju kamar mandi umum untuk mengganti pakaian dan kemudian berjalan menuju parkiran sepeda motor, lalu membayar parkiran kepada bapak tua yang menjaga sepeda motor. Setelah itu, kulajukan sepeda motor untuk kembali ke homestay dengan menggunakan Google Map sebagai petunjuk jalan.
Spoiler for Penampakan Dua Mata Airnya Nih Gan:
Secuil Nirwana Di Balik Bukit Desa Ngepung
Terisolasi dari keramaian, tersembunyi diantara 2 bukit yang mengapit. Tidak ada petunjuk apapun mengenai keberadaannya, namun cukup sulit untuk menggapainya. Air terjun Triban adalah secuil nirwana yang menggoda berhiaskan padang ilalang yang asri di wilayah Kota Probolinggo.
Gumpalan-gumpalan awan putih yang menggantung di langit biru pada pagi hari yang cerah cukup membakar antusiasku untuk menjelajahi Kota Probolinggo. Dengan menggunakan sepeda motor dan mengandalkan Google Map, aku dan Yen berangkat dari homestay dengan tujuan Air Terjun Watu Lawang yang berjarak 23 kilometer dari kota.
Sesampainya di Jalan Raya Ngepung yang menjadi titik akhir kordinat yang tertera di Google Map cukup membuatku bingung untuk mencari keberadaan air terjun tersebut. Lalu ku hentikan sepeda motor tepat di depan salah satu warga yang sedang berdiri di tepi jalan sambil membawa cangkul, aku mencoba bertanya kepadanya tapi bapak tua itu tidak mengetahuinya, namun beliau mengarahkanku untuk ke air terjun Madakaripura.
Tidak mendapatkan jawaban yang kuinginkan, aku berlalu dari hadapannya dan kembali melajukan sepeda motor perlahan-lahan menanjak keatas sambil menoleh ke kanan-kiri mencari jalan masuk. Dikungkungi oleh keraguan yang menggeliat, dari belakang Yen menepuk-nepuk pundak lalu ku hentikan laju sepeda motor di tepi jalan.
Diam-diam, Yen browsing untuk mencari info keberadaan air terjun tersebut dan mendapatkan salah satu artikel yang berisikan tentang Air Terjun Watu Lawang. Lalu kubaca dari atas sampai ke bawah. Di dalam artikel tersebut disebutkan sebelum SMKN 1 Probolinggo terdapat gang kecil yang menjadi pintu masuk.
Lalu kulajukan kembali sepeda motor perlahan-lahan mengikuti petunjuk yang tertulis. Dan beberapa meter di depan, kulihat salah satu sekolah dan gang kecil yang berhiaskan gapura dari bambu seperti yang tertulis, Ku belokkan sepeda motor masuk ke dalam gang sampai di ujung di salah satu rumah warga, dan ku parkirkan sepeda motor di tempat tersebut.
Tidak ada seorang pun di area rumah-rumah warga, tapi aku melihat plang bertuliskan “Parkir Motor Ke Air Terjun”. Sejenak kami sangat senang karena sudah menemukan jalan masuk. Setelah turun dari sepeda motor, kami berjalan memasuki perkebunan yang di pagari bambu namun terdapat celah untuk masuk ke dalamnya, kami berjalan mengikuti jalan setapak perkebunan hingga di ujung.
Sampai disini, kami kembali kebingungan mencari jalan untuk turun ke bawah. Lalu aku menyuruh Yen untuk menunggu, sementara aku turun ke bawah beberapa langkah untuk melihat situasi. Jalurnya terlihat begitu curam dan sangat menyeramkan karena tekstur jalan tanah kering bercampur pasir. Kemudian aku kembali menghampiri Yen yang berdiri menunggu, setelah itu melihat-lihat sekitar.
Kemudian ku lihat jalan setapak yang lain, lalu mengajak Yen untuk berjalan menyusuri jalan setapak yang memutari perkebunan sampai pada satu titik jalan yang sedang dalam perbaikan dengan tumpukkan pasir yang menghalangi jalan. Kami terus menyusuri jalan itu sampai di ujung terdapat saung yang bersandingkan batu besar dengan jalan yang bercabang, jika ke kiri mengarah ke perkebunan yang lain, sementara ke kanan mengarah turun ke bawah.
Sejenak kami berhenti lalu menoleh ke arah kanan dan melihat dari kejauhan sebuah aliran sungai yang memanjang. Dan beberapa saat kemudian, aku memutuskan mengambil jalur kanan dengan jalan setapak yang menurun ke bawah tapi tidak terlalu curam. Aku berjalan di depan, Sementara Yen berjalan di belakang. Kami berjalan memutari bukit yang ditumbuhi oleh ilalang.
Teriknya matahari yang menghujam tidak menyurutkan langkahku, namun dalam jarak tertentu sesekali aku berhenti dan menoleh ke belakang melihat Yen yang berjalan melambat penuh dengan kehati-hatian. Saat Yen sudah mulai mendekat, aku melanjutkan jalan kembali, Sementara gemericik alunan aliran air sudah terdengar diantara kesunyian yang menyibak.
Sesampainya dibawah, diliputi rasa gembira yang tak terbendung, aku berdiri diatas bebatuan tepi kolam sambil menunggu Yen yang masih jalan turun kebawah. Air yang jernih nan segar mengalir deras di antara kolam-kolam alami. Dan sejurus kemudian, Yen tiba dibawah lalu berdiri di sampingku. Sementara saat itu tidak ada seorangpun selain aku dan Yen.
Kemudian Yen melepas pakaiannya lalu berenang masuk ke dalam kolam, aku pun tergoda oleh kesegaran airnya lalu ku lepas pakaian dan masuk ke dalam kolam, berenang bersamanya. Belum cukup puas, beberapa menit kemudian, Aku dan Yen beranjak dari dalam kolam lalu berjalan di atas bebatuan tepi kolam melawan aliran air sungai.
Melewati tanah bekas longsor, melompat dari satu batu ke batu yang lain, menyebrangi aliran air sungai yang dangkal sampai akhirnya kami melihat 3 air terjun yang bertingkat dari jarak yang masih jauh. Aku dan Yen sangat terkesima melihatnya, dan terus berjalan menyusuri tempat tersebut hingga tiba di salah satu air terjun dengan debit air yang deras menghujam kolam alaminya yang tidak begitu besar.
Tapi aku masih penasaran dengan air terjun yang berada diatasnya. Lalu ku cari cara mencari jalan untuk keatas dengan melihat-lihat sekitar. Dan di sebelah kanan air terjun terdapat tebing yang tidak terlalu tinggi dengan banyak celah. Aku mengajak Yen untuk memanjatnya, dengan cara merayap dan hanya mengandalkan celah-celah tebing untuk berpijak
Sampai diatas, debit air terjun yang kedua tidak jauh berbeda dengan yang pertama, hanya saja kolam alaminya begitu luas dan panoramanya cukup membius mata. Aku dan Yen merehatkan diri sejenak diatas bebatuan sambil memandang air terjun yang jatuh menghujam yang diiringi dengan alunan air yang mengalir.
Tidak sampai disitu, aku semakin penasaran dengan air terjun yang berada diatasnya lagi, lalu ku lihat-lihat sekitar mencari cara untuk menggapai air terjun yang ketiga. Namun sangat disayangkan, aku tidak menemukan jalan untuk naik keatas dan juga tidak mau memaksakan diri lagi untuk merayap di tebing tanpa pengamanan karena jalurnya cukup sulit.
Waktu yang terus bergulir dan cuaca yang berubah, aku dan Yen memutuskan untuk kembali ke parkiran sepeda motor dengan melewati jalur yang kami lalui sebelumnya kemudian trekking ke atas memutari bukit hingga tiba di saung yang bersandingkan batu besar. Sejenak aku merehatkan diri duduk diatas ilalang dengan peluh yang membanjiri tubuh. Usai itu, kembali berjalan mengikuti jalan setapak hingga tiba di parkiran sepeda motor.
Terlihat bapak tua yang berdiri dipintu rumahnya yang terbuka, lalu ku sapa yang dibalas dengan senyum ramahnya kemudian berbincang sejenak bercerita kepadanya tentang air terjun yang ku gapai. Dan menurut bapak tua itu, aku telah salah jalur, air terjun bertingkat yang kutemui adalah Air Terjun Triban 1 dan 2 sementara untuk Air Terjun Watu Lawang jalurnya ke kanan dengan rute saat masuk ke dalam perkebunan mengikuti jalan setapak lalu sampai di ujung turun ke bawah yang menurutku jalurnya sangat curam.
Lalu bapak tua menawari jasa untuk mengantarkanku ke Air Terjun Watu Lawang, sementara karena sudah terlalu lelah, aku dan Yen memutuskan untuk kembali ke homestay. Lokasi ini memang belum di kelolah dan tidak ada tiket masuk sehingga belum begitu banyak yang tahu ditambah lagi dengan minimnya petunjuk dan jalurnya yang sangat curam.
Hanya orang-orang yang berjiwa petualang yang mengetahui keberadaan air terjun yang berada di Desa Ngepung, Kecamatan Sukapura, Probolinggo. Sementara di dalam lokasi tersebut terdapat beberapa air terjun seperti Air Terjun Watu Lawang, Air Terjun Triban 1 dan 2, Air Terjun Kedung Amis dan Air Terjun Sumber Pakis.
Spoiler for Penampakan Air Terjun Triban:
Quote:
Diubah oleh galaxy13 24-12-2017 21:16
0
1.7K
13


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan