Media IndonesiaAvatar border
TS
Media Indonesia
Pelet Ternak dari Gulma Lahan Gambut


HINGGA kini pembersihan gulma di lahan gambut dengan cara pembakaran masih banyak dilakukan warga. Akibatnya, potensi bencana kebakaran lahan pun tinggi, belum lagi efek laju pemanasan global akibat besarnya emisi karbon. Meski begitu, kegiatan pembakaran juga bukan terlarang karena memang dimungkinkan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada ayat 1 pasal tersebut, kegiatan pembukaan lahan dengan cara pembakaran termasuk yang dilarang.

Namun, ayat 2 pasal tersebut menyatakan ketentuan pada ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.



Saat ini cara ekonomis untuk mendorong warga meninggalkan kebiasaan membakar lahan ditawarkan peneliti dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Dua peneliti balai tersebut, Marinus Kristiadi dan Santoso, menemukan pemanfaatan gulma lahan gambut sebagai pelet pakan ternak. Inovasi tersebut dibuat karena gulma lahan gambut memiliki senyawa-senyawa organik yang terdapat pada pakan ternak (pelet) buatan pabrik.



Senyawa seperti protein, magnesium, hingga zat besi terkandung dalam berbagai tanaman gulma lahan gambut, seperti daun kelakai, pakis, ubi kayu, dan lamtoro. "Setiap daerah itu memiliki ketersediaan bahan yang berbeda. Di Kecamatan Medang Kampai, Dumai, Riau saya diminta melatih kelompok wanita gambut. Yang tersedia di sana pakis, ya, kita gunakan itu. Tanaman itu juga menjadi salah satu indikator lahan gambut itu tergenang air. Tambahan lainnya daun ubi kayu, kedelai, hingga tanaman apu-apu," kata Marinus kepada Media Indonesia, Kamis(14/12).



Setelah menemukan komposisi pakan ternak yang tepat dari gulma lahan gambut, peneliti kemudian menggelar pelatihan kepada kelompok wanita gambut di daerah-daerah itu yang merupakan binaan Riau Women Working Group. Pelatihan yang dimulai Oktober tersebut juga dilaksanakan dengan kerja sama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Tak hanya proses pembuatan, kedua peneliti juga mengajarkan pemanenan bahan baku dengan sistem papan catur. Pakis yang baik, kata Marinus, berumur 40 hari setelah ditebas.

Karena itu, ia mengajarkan warga untuk memanen setiap minggu dengan tempat yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.



Untuk tanaman apu-apu, ia menyarankan itu dibudidayakan dengan kolam terpal agar tidak tercemar oleh limbah rumah tangga ataupun oli kendaraan bermotor. Kini, kelompok wanita gambut sudah mahir memproduksi pelet dan sedang menjajaki kerja sama dengan peternak ikan nila. "Buatnya tidak sulit, hanya butuh waktu sekitar satu hingga dua hari. Pertama tunggu tanaman layu, lalu mulai digiling dengan alat seperti gilingan daging, kemudian dijemur," pungkas laki-laki yang juga sudah melatih warga Singkawang, Kalimantan Barat, serta Balai Pelatihan Kehutanan Pekanbaru.



Lebih irit

Pemimpin Tim ICCTF-United Kingdom Climate Change Unit (UKCCU) Eko Putranto mengaku menjadikan wilayah Dumai fokus pada perikanan karena lokasinya yang berada di pinggir laut. Selain itu, di wilayah ini terdapat lahan gambut dengan berbagai jenis tanaman gulma.

Saat ini kegiatan pembuatan pelet ikan ini masih dalam tahapan awal proyek dengan dana donor dari UKCCU dan akan berakhir pada Februari mendatang. Terkait dengan nilai ekonomis, Eko mengaku belum menghitung secara tepat, termasuk hasil dari pelet tersebut.

Ia hanya memperkirakan, kalau membeli pelet, untuk seribu ikan dibutuhkan biaya pelet sebanyak Rp2 juta.



"Lele lokal jenis ikan di sana, tetapi saya belum merasakan apakah rasa dagingnya sama dengan ikan yang diberi pelet buatan pabrik karena memang belum panen. Untuk produksi pun masih bergantung pada ketersediaan alat dan bahan baku," ujar Eko.

Namun, ia akan tetap memperjuangkan agar masyarakat bisa kembali mendapatkan bantuan dana untuk membeli kebutuhan memproduksi pelet organik tersebut. Hal ini dilakukan supaya tidak ada lagi oknum yang membuka lahan gambut dengan metode bakar. Sementara itu, Marinus mengatakan produksi pelet organik membutuhkan biaya yang lebih kecil.



Hanya besar di awal untuk pembelian alat. Mesin penggiling, kata Marinus, berkisar pada harga Rp4 juta, lalu ditambah modal membeli kedelai, listrik, serta upah dan tenaga untuk membuat dan mencari bahan-bahan yang ada di sekitar.

Mesin maksimal bisa menghasilkan produksi hingga 200 kilogram per hari. "Kalau di pasaran harga pelet pabrik itu Rp7.000-Rp8.000 per kilogram. Nah saya taksir, biaya produksi untuk pelet organik sekitar Rp1.000 per kilogram dan bisa dijual dengan harga Rp4.000, harganya sudah bersaing," tukasnya.


Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...but/2017-12-16

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Surplus Neraca Perdagangan Tahun ini Naik Tajam

- Atasi Banjir Jakarta dari Hulu

- 2 Meninggal dan Ratusan Rumah Rusak akibat Gemp 6,9 SR

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
790
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan