Quote:
Perhatian publik kepada kasus korupsi yang disangkakan kepada Setya Novanto dalam proyek e-KTP memang besar. Itu jelas bukan semata-mata mencerminkan keinginan apriori publik agar Novanto dihukum.
Mayoritas warga masyarakat kita paham bahwa ada praduga tak bersalah dan ada proses hukum yang harus dijalani untuk sampai kepada keputusan hukum dan pemidanaan.
Adalah wajar jika sebagai publik memberikan perhatian besar kepada kasus Setya Novanto. Bagaimanapun, pertama, kasus korupsi proyek e-KTP adalah kasus besar.
Kerugian negara dalam kasus ini sangat besar. Selain itu, ada nama-nama besar yang disebut-sebut tersangkut dalam kasus tersebut. Lebih dari itu, seperti terungkap dalam dakwaan dan sejumlah fakta persidangan, korupsi dalam proyek e-KTP tampak sangat terencana dan terorganisasikan sejak dari perencanaan proyek.
Kedua, Setya Novanto adalah nama besar. Selain ketua partai politik, ia adalah ketua lembaga tinggi negara. Nama sebesar itu pasti mendapatkan perhatian publik.
Ketiga, Setya Novanto dikenal sebagai tokoh "sakti", yang hampir selalu berhasil lolos dari persoalan-persoalan hukum dan politik yang dihadapinya. Tahun 2014 Muhammad Nazarudin, terpidana kasus korupsi wisma atlet, menyebut Novanto itu kebal hukum.
Ketika namanya mulai disebut-sebut dalam kasus korupsi proyek e-KTP, publik penasaran, "Apakah kali ini Setya Novanto tetap mampu berkelit?"
Nyatanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan Juli lalu menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek e-KTP.
Publik terbelah menjadi dua kelompok. Yang satu, berkeyakinan bahwa kali ini Novanto akan bertekuk lutut. Yang lain, tetap mengira bahwa Novanto akan mampu menyiasati persoalan hukumnya.
Sangat sedikit pihak yang sudah terjerat kasus korupsi, yang ditangani KPK, yang bisa lolos. Namun, pada saat yang sama, publik juga tahu bahwa Novanto belum pernah benar-benar bisa ditaklukan oleh persoalan hukum dan politik yang membelitnya.
Publik tentu tidak boleh kecewa ketika Novanto mengajukan praperadilan atas penetapan status tersangka kepadanya oleh KPK itu. Itu adalah hak Novanto yang harus dihormati siapapun.
Namun publik segera mengendus kecerdikan Novanto ketika ia tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK dengan alasan bahwa ia sedang dirawat di ruah sakit. Pihak Novanto meminta KPK menghentikan sementara pemeriksaannya sampai ada putusan praperadilan.
Praperadilan memenangkan gugatan Novanto. Bahkan dalam sidang praperadilan itu hakim Cepi Iskandar bukan saja memutuskan bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka adalah tidak sah. Lebih dari itu, Cepi juga menilai bahwa alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa dipakai untuk menangani perkara selanjutnya.
KPK beberapa waktu kemudian menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka. Kubu Novanto kembali mengajukan praperadilan.
Sama seperti ketika ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk pertama kalinya, Novanto kembali menghindar ketika penyidik KPK memanggilnya. Bahkan ketika KPK menyambangi rumahnya, Novanto raib.
Ketika mobil yang ditumpangi menabrak tiang lampu jalan, Novanto tak bisa mengelak lagi. Setelah sempat dirawat di rumah sakit, Ketua Partai Golkar itu menjadi tahanan KPK. Tapi itu bukanlah akhir dari segla-galanya.
Kubu Novanto mengajukan sembilan saksi dan lima ahli yang meringankan dalam kasusnya itu. Sebagian besar dari mereka tidak hadir di KPK. Sulit untuk tidak menyebut langkah itu bagian dari strategi untuk mengulur waktu agar putusan praperadilan lebih dulu jatuh sebelum peradilan terhadap Novanto dimulai.
Pekan ini ada dua jadwal penting yang saling terkait. Hari Rabu (13/12) besok adalah jadwal sidang perdana kasus korupsi Setya Novanto dalam proyek e-KTP. Sedangkan Kamis (14/12) lusa dijadwalkan untuk sidang pengambilan keputusan gugatan praperadilan.
Dalam sidang praperadilan Kamis (7/12) pekan lalu hakim Kusno mengingatkan, "Gugatan praperadilan gugur setelah perkara pokoknya mulai diperiksa."
Hal itu sesuai dengan Pasal 82 Ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Itu artinya, jika sidang perdana Rabu (13/12) besok langsung masuk ke perkara pokoknya, maka gugatan praperadilan langsung gugur. Dengan begitu publik mengira 'kesaktian' Novanto akan berakhir: tak bisa mengelak dari kursi terdakwa.
Publik seharusnya tidak terlalu yakin dengan hal itu. Dugaan itu bisa saja meleset dengan kecerdikan dalam menyiasati hukum.
Dua pengacara, Otto Hasibuan dan Fredrich Yunadi, menyatakan mundur dari mendampingi Novanto di Pengadilan. Apakah Pada Rabu besok Novanto akan berdiri di pengadilan tanpa pengacara?
Jika, ya, masih ada peluang bagi Novanto untuk kembali mengulur waktu. Terdakwa berhak untuk didampingi pengacara dan boleh meminta waktu untuk mencari pengacara terlebih dahulu. Ini peluang pertama.
Peluang kedua terletak pada tafsir atas "dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri", dalam UU Hukum Acara Pidana, yang bisa menggugurkan gugatan praperadilan.
Jika hal itu ditafsirkan sebagai ketika persidangan "telah memasuki pokok perkara" maka gugatan perkara praperadilan gugur pada saat hakim menolak eksepsi; bukan ketika penuntut membacakan dakwaan.
Hari Rabu besok belum tentu akhir bagi Novanto untuk menghindarkan diri dari peradilan.
Publik harus bersabar dan tetap menempatkan diri sebagai pihak yang menghendaki tegaknya keadilan. Dalam arti, kita menginginkan peradilan yang bisa memperlihatkan secara jelas dan memperlakukan secara adil apa dan siapa saja yang terlibat dalam korupsi besar itu.
Sumber :
https://beritagar.id/artikel/editori...mpaign=partner
Kalau dilihat lagi, kemaren kemaren MK pernah secara tafsir (bukan putusan) berkata bahwa saat surat dakwaan dibacakan praperadilan gugur, tapi sekali lagi, yg menafsirkan ini belum tentu yg memberi putusan waktu itu. Kalau menurut saya pribadi, UU tersebut berkata ketika sudah masuk pokok perkara, dan secara hukum, 3 minggu pertama pengadilan itu surat dakwaan, eksepsi, putusan sela (eksepsi diterima / ditolak) itu membahas cacat formil nya surat dakwaan, apakah hak terdakwa selama jadi TERSANGKA telah dilanggar (ini sama persis dgn praperadilan yg menguji hak tersangka dilanggar), dan 3 minggu pertama tersebut tidak membahas pokok perkara. Masuk akal juga putusan MK tsb menggugurkan praperadilan ketika eksepsi telah ditolak, karena hakim pengadilan jg sudah menganggap hak tersangka tidak dilanggar. Justru malah tidak masuk akal ketika surat dakwaan dibacakan menggugurkan praperadilan. Terkait dgn tuntutan pengacara Setya Novanto, yang mengatakan KPK tidak bisa menerbitkan sprindik baru, jawabannya KPK bisa menerbitkan sprindik baru, tetapi KPK bersalah karena tidak SP3 perkara yg sudah digugurkan praperadilan pertama, jadi ada 2 perkara yg sama masih hidup bersamaan. KPK juga terang-terangan sengaja menghambat praperadilan dengan balapan berkas, sengaja menunda 1 minggu, mereka mengakui hal ini. Bagaimana menurut agan2 secara logika? Saya berharap koruptor seperti ini jangan sampai lolos, saya hanya membahas kemungkinan SetNov lolos, karena kesalahan KPK.
Rate 5 dan cendol nya gan jika berkenan

