dikuncibroAvatar border
TS
dikuncibro
Sidang RAPP, Saksi KLHK Dinilai Membingungkan
Sidang RAPP, Saksi KLHK Dinilai Membingungkan
HUKUM SENIN, 11 DESEMBER 2017 , 16:10:00 WIB | LAPORAN: WIDYA VICTORIA

Sumber

RMOL. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seharusnya aktif dan merespon permohonan pembatalan SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) yang diajukan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Apalagi sesuai Pasal 53 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan jika tidak direspon dalam kurun waktu 10 hari maka keputusan bisa dibatalkan.

"Menurut Pasal 53 UU 30/2014 dalam kurun waktu 10 hari tidak merespon maka berlaku permohonan fiktif positif. Respon yang dilakukan pemerintah dalam rangka adanya kepastian hukum," ujar saksi ahli administrasi negara dari Universitas Soedirman (Unsoed), Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh saat menjadi saksi ahli yang dihadirkan KLHK sebagai pihak termohon di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Senin (11/12).

Zudan menuturkan, selain respon dari pemerintah, pemohon atau masyarakat juga harus mematuhi aturan yang melingkupi dalam pengajuan permohonan tersebut. Karena permohonan yang diajukan bukan untuk membatalkan sesuatu peraturan yang sudah ada. Oleh karena itu harus ada perbuatan konkret dari pemerintah ketika ada permohonan yang diajukan masyarakat.

"Di antara perbuatan konkret atau tindakan nyata yang bisa dilakukan dengan menggelar rapat, seminar, diskusi atau mengunjungi lokasi atau lapangan," paparnya.

Perbuatan konkret tersebut jelas sesuai Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan. Sebagai contoh, kata Zudan, ketika ada pemohon yang mengajukan pembuatan KTP elektronik atau sertifikat tanah maka petugas akan mendata, memotret dan menerbitkannya. Begitu juga ketika petugas akan menerbitkan sertifikat maka harus turun ke lapangan atau lokasi untuk mengetahui ukuran dan luas tanah yang dimilki pemohon.

"Turun ke lapangan adalah perbuatan konkret," tegasnya.

Heru Widodo selaku kuasa hukum PT RAPP mengatakan, dari keterangan saksi ahli memang bisa menggali fakta tentang bagaimana berlakunya aturan peralihan sesuai UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam peraturan tersebut memberikan kepastian hukum dan memberikan pemanfaatan bagi masyarakat.

"Semakin menegaskan bahwa ada penggunaan diskresi yang tidak sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU," jelasnya.

Heru menegaskan, UU tidak berlaku di ruang kosong. Ketika UU itu berlaku ternyata ada ketentuan yang membebani pemegang hak, dalam hal ini RAPP. Dengan begitu, lanjut dia, seharusnya diskresi yang dilakukan oleh KLHK mengecualikan ketentuan - ketentuan baru terhadap izin dan RKU yang sudah dikeluarkan.

Sedangkan terkait KLHK mengklaim telah memberikan ruang untuk berdiskusi, Heru menegaskan, permohonan yang diajukan RAPP adalah pembatalan atau pencabutan RKU nomor 5322. Tapi hal ini tidak ditanggapi KLHK malah menindaklanjuti dengan revisi.

"Kalau menyatakan ada tindak lanjut harusnya menindaklanjuti, ini ada keberatan, maka ditindaklanjuti dengan cara yang bagaimana. Tapi ini tidak, keberatan itu didiamkan. Bahkan yang dilakukan adalah tindaklanjut dari pembatalan SK itu. Jadi kami meyakini itu bukan tindak lanjut yang dimaksud sesuai pasal 53UU Nomor 30 tahun 2014. Tapi tindak lanjut dalam rangka pembatalan SK RKU," paparnya.

Heru menambahkan, keberatan yang diajukan RAPP terhadap SK Pembatalan RKU telah lewat dari 15 hari kerja dan sampai permohonan ini diajukan ke PTUN, Menteri LHK tidak juga menerbitkan keputusan.[wid]
0
531
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan