BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Yerusalem dan peran kita

Yerusalem dari balik kawat berduri
Ketika 70 tahun lalu Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman, mengakui Israel sebagai sebuah negara, dunia seperti tak begitu peduli. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri.

Tapi ketika Kamis dini hari (7/12/2017), Presiden Donald Trump berpidato, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, mata dunia menatap Trump. Banyak negara menyesalkan dan mengutuk pengakuan tersebut.

Di Gedung Putih, Washington DC, didampingi Wakil Presiden AS, Mike Pence, Trump menyatakan pengakuan secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel. Ia juga memerintahkan pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Undang-Undang Kedutaan Yerusalem yang disepakati Kongres AS pada 1995, menjadi dasar keputusan Trump untuk memindahkan Kedubes AS tersebut. Ia menyebut, para Presiden AS sebelumnya telah gagal menerapkan Undang-Undang itu.

Meski demikian, Trump mengatakan bahwa pengakuan ini tidak membatalkan komitmen AS terhadap upaya perdamaian untuk Israel dan Palestina. AS kata Trump, tetap berkomitmen mewujudkan solusi perdamaian sepanjang disepakati kedua belah pihak.

Sebagai salah satu kota tertua di dunia, Yerusalem memiliki keunikan luar biasa. Kota ini disucikan oleh tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi. Di kota itu ada Masjid Al-Aqsa yang memiliki nilai nyaris setara dengan Kabah di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi.

Tak jauh dari Al-Aqsa ada Tembok Ratapan, tempat ibadah kaum Yahudi dari seluruh penjuru dunia. Di kota itu juga berdiri Gereja Makam Yesus, tempat terpenting bagi umat Kristiani.

Dalam konflik Palestina-Israel, Yerusalem punya arti sangat strategis, ibarat jantung perseteruan. Yerusalem Barat diduduki Israel pada 1948. Selanjutnya Israel menduduki Yerusalem Timur, melalui Perang Arab-Israel pada 1967.

Israel mengklaim kota tersebut sebagai ibu kota negara sejak 1950. Namun belum ada satu negara pun mengakuinya, sebelum Trump melontarkan pidatonya.

Sementara Palestina sampai saat ini, terus mengupayakan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara.

Masyarakat internasional dan PBB sampai saat ini menyebut Yerusalem Timur sebagai kota pendudukan Israel. Status hukum Yerusalem masih menjadi kota di bawah rezim internasional yang diurus PBB.

Majelis Umum PBB sepakat memberikan status Palestina sebagai negara pengamat non-anggota, dalam sidang pada 2012. Saat itu AS menyayangkan keputusan tersebut. Sedang Israel menyatakan keberatan.

Sejak terjadinya konflik di Timur Tengah, setidaknya Dewan Keamanan PBB--salah satu anggota tetapnya adalah AS--sudah mengeluarkan 18 resolusi, sebagai upaya penyelesaian konflik tersebut.

Selain resolusi ada upaya lain berupa perundingan. Namun sampai saat ini belum ada kesepakatan damai dari kedua belah pihak. Makna belum tercapainya kata "damai" bisa diartikan saat ini secara hukum Yerusalem dalam posisi status quo.

Terlalu sulit untuk bisa memahami pidato Trump ini, karena dia tidak menjelaskan Yerusalem yang dimaksud, Barat atau Timur.

Pengakuan resmi ini jelas sebagai keberpihakan AS terhadap Israel. Lalu bagaimana AS bisa menjalankan fungsinya sebagai mediator perdamaian Israel-Palestina bila AS pada posisi yang tidak netral?

Muncul analisis, keputusan Trump ini lebih didasari politik domestik AS. Trump sedang dalam tekanan. Investigasi oleh Bob Mueller ihwal kemungkinan kolusi tim kampanyenya dengan Rusia pada pilpres lalu, sudah menyentuh orang-orang dekatnya.

Di sisi yang lain tingkat kepuasan publik atas kinerjanya (approval rate) juga merosot. Saat ini berada di kisaran 30 persen. Dengan pernyataannya itu Trump diduga ingin mempertahankan basis dukungan politik di kalangan fundamentalis (evangelical christians) serta dana terutama dari lobi Yahudi.

Apapun alasannya, keputusan Trum itu ibarat menutup pintu perdamaian Palestina-Israel. Konflik akan semakin melebar tak lagi Palestina-Israel, tapi juga Negara-negara Arab dan dunia internasional di satu pihak, dengan Israel dan AS di lain pihak.

Ringkasnya keputusan Trump telah mengguncang ketenteraman dunia.

Liga Arab bergegas melakukan pertemuan. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga bakal menyelenggarakan KTT Luar Biasa. Dewan Keamanan PBB pun menyelenggarakan Sidang Darurat atas permintaan delapan negara anggota tetap DK PBB: Inggris, Bolivia, Mesir, Prancis, Italia, Senegal, Swedia, dan Uruguay.

Dunia seperti disibukkan untuk mengambil sikap atas keputusan Trump. Sekutu AS pun kali ini, menolak keputusan Trump. Mayoritas anggota tetap DK PBB dalam Sidang Darurat, mendesak posisi Yerusalem tetap status quo sampai Palestina dan Israel mencapai kesepakatan.

Hanya satu jalan untuk mengembalikan posisi status quo Yerusalam, yaitu meminta Presiden AS membatalkan keputusannya tersebut. Masalahnya cukup ampuhkah keputusan Sidang Darurat DK PBB kali ini?

Kedutaan Besar Palestina di Indonesia, melalui rilis, meminta dukungan pemerintah dan rakyat Indonesia, agar AS membatalkan pengakuannya. Presiden Joko Widodo, telah menyatakan kecamannya terhadap keputusan Trump.

Dalam pernyataan persnya di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (7/12/2017) siang, Jokowi menyatakan dirinya dan rakyat Indonesia tetap konsisten untuk terus bersama dengan rakyat Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaan dan hak-haknya sesuai dengan amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Tekad Presiden dalam mendukung Palestina, antara lain dilakukan dengan menghadiri sendiri KTT Luar Biasa OKI di Istanbul, Turki, pada 12-13 Desember mendatang.

Kita tentu akan mendukung Jokowi mengambil peran diplomasi untuk menekan Presiden Trump agar mau membatalkan penetapannya itu. Lobi tingkat tinggi, hingga melebar ke negara-negara nonblok, bisa juga dilakukan Indonesia untuk keperluan itu.

Kehadiran Presiden di Istanbul bisa dimanfaatkan untuk mengajak semua anggota OKI agar melakukan sesuatu yang tak sekadar mengecam keputusan Trump.

Menghadapi "kegilaan" Trump, memang perlu diplomasi yang "gila" juga. Bila perlu dengan aksi yang serupa dengan yang dilakukan Trump.

Misalnya Indonesia menyatakan akan memindahkan Konsulat Kehormatan RI dari Ramallah ke Yerusalem Timur. Hal yang sama juga mesti dilakukan oleh semua anggota OKI yang memiliki hubungan diplomatik dengan Palestina.

Bila lebih dari sepuluh negara melakukan hal serupa, akan menunjukkan bahwa banyak negara telah mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina. Yang artinya berhadap-hadapan dengan pengakuan AS.

Cara tersebut, pasti akan mengundang reaksi keras Israel dan AS. Tapi sebagai sebuah alternatif diplomasi, bukan hal yang mustahil.

Kita tentu tidak lupa, ketika Indonesia meresmikan Konsulat Kehormatan RI di Ramallah, 2016 lalu, sebagai bentuk nyata hubungan diplomasi Indonesia-Palestina.

Saat itu Menlu Retno Marsudi, dihalang-halangi Israel agar tidak bisa masuk ke Ramallah. Namun Indonesia tak mau tunduk pada Israel. Retno Marsudi meresmikan Konsulat Kehormatan RI Ramallah dari KBRI di Amman, Yordania.

"Kegilaan" diplomasi semacam itulah yang diperlukan untuk mengembalikan penyelesaian Yerusalem ke meja perundingan antara Palestina-Israel saat ini.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...dan-peran-kita

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Menguji kepatutan seleksi calon tunggal hakim MK

- Membaca sinyal dari Dana Desa yang mengendap

- Pelayanan publik harus sesuai standar dan memuaskan

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.1K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan