Media IndonesiaAvatar border
TS
Media Indonesia
Guru Semar


DALAM pidatonya pada puncak peringatan Hari Guru Nasional di Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (2/12), Presiden Joko Widodo menegaskan guru berperan membentuk karakter manusia. “Guru bukan sekadar mengajar. Saya titipkan masa depan bangsa ini kepada guru, menerangi jiwa anak-anak kita agar tumbuh pribadi-pribadi yang sehat, matang,” tuturnya. Pesan utama pernyataan Kepala Negara tersebut ialah tentang begitu pentingnya posisi guru, khususnya dalam perannya membentuk karakter anak didik. Tentunya karakter mulia, yang bila diibaratkan pohon, yang tumbuh sehat segar dengan akar serta batang yang kukuh.



Karakter juga melukiskan kualitas kepribadian dan menggambarkan jati diri bangsa. Pertanyaannya, dengan cara bagaimana agar guru mampu membumikan tuntutan membentuk generasi penerus yang berkarakter hebat, yaitu berkepribadian Indonesia yang berbineka?



Pamong kesatria

Dari sisi moral, Semar dalam cerita wayang bisa dijadikan sebagai salah satu contoh guru ideal dalam perannya mendidik karakter para kesatria Pandawa dan anak-anak mereka. Semar ialah sosok populis yang tinggal di dusun yang jauh dari keramaian, tapi kiprahnya membuat seluruh jagat menjadi terang benderang. Dari asal usulnya, ada sejumlah versi. Satu di antaranya bahwa Semar merupakan putra Sanghyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati. Awalnya, dari keluarga itu lahirlah sebutir telur yang bercahaya. Telur kemudian dipuja Sanghyang Tunggal dan lalu secara gaib pecah menjadi tiga bagian yang kemudian masing-masing menjelma anak. Yang berasal dari kulit luar atau cangkang dinamai Antaga, dari bagian putih telur (albumen) diberi nama Ismaya, sedangkan yang dari kuning telur diberi nama Manikmaya.



Ketika dewasa, Manikmaya menjadi raja di Kahyangan bergelar Shangyang Jagatnata. Antaga dan Ismaya diperintahkan Sangyang Tunggal turun ke marcapada. Antaga bertugas mendampingi kelompok ‘kiri’ atau jahat dengan nama Togog, sedangkan Ismaya bertanggung jawab sebagai pamong golongan ‘kanan’ atau para kesatria dengan nama Semar, yang dikisahkan berusia sangat panjang. Ia pertama kali mengabdi kepada Resi Manumanasa yang merupakan leluhurnya Pandawa. Namun, dalam seni pedalangan, peran Semar banyak diceritakan ketika ia menjadi pamongnya Pandawa di Negara Amarta.



Ketika momong para anak cucu Begawan Abiyasa itulah Semar berjasa sangat besar dalam membentuk karakter para ‘ndara’-nya. Tidak gampang memang, ia malah pernah mendapat penghinaan dari ‘anak didiknya’ sendiri. Akan tetapi, itu tidak membuatnya mundur dari misi utamanya, membentuk para kesatria berkarakter luhur dan mulia. Semar hidup di Dusun Klampisireng yang masih berada dalam wilayah Negara Amarta. Ia memiliki tiga anak ‘tiban’ yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka berempat disebut sebagai panakawan.



Dalam pakeliran, biasanya panakawan muncul dalam sesi gara-gara. Ini babak ‘jeda’ di tengah jalannya cerita pertunjukan wayang. Di situlah panakawan memberi hiburan serta petuah atau pitutur. Bisa juga menjadi wahana bagi dalang menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat.



Memberikan teladan

Sesungguhnya posisi sentral Semar bukan pada momen itu. Kemunculannya dalam setiap lakon selalu menjadi sosok penting yang mencerahkan. Ia senantiasa memberikan solusi bagi momongannya yang sedang mendapat masalah atau musibah. Semar tidak pernah absen dari nasihat utamanya, yaitu untuk selalu berserah diri kepada Sang Maha Pencipta.



Semar ialah seorang pembimbing. Ia memberikan petunjuk dan mendorong para kesatria agar tidak keluar dari perilaku utama. Itulah yang menjadikan figurnya selalu dirindukan Pandawa. Meski begitu, dalam suatu lakon, Pandawa pernah melupakannya. Secara konseptual, cara Semar membentuk karakter kesatria Pandawa sejalan dengan moto pendidikan yang ditelurkan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. Yakni, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Ing ngarsa sung tuladha artinya di depan saya memberikan teladan. Di sinilah Semar selalu memberikan contoh. Misalnya, semua titah harus percaya kepada kekuasaan yang Maha Agung. Dari aspek spiritual itu, Semar meyakini bahwa semua yang terjadi di dunia adalah kehendak-Nya sehingga hidup mesti dijalani dengan bersyukur.



Dalam kehidupan sehari-hari, Semar memberikan contoh tentang kesederhanaan. Hidup tidak perlu ngaya (ambisius). Gentur menjalani laku prihatin untuk meningkat kualitas jiwa. Senantiasa mengasah kepekaan nurani dan bertindak jujur dan bermoral. Ing madya mangun karsa secara umum berarti di tengah keberadaannya mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Dalam hal itu Semar menciptakan suasana yang memungkinkan lingkungannya (momongannya) bergairah mengembangkan diri untuk meraih harapan.



Peran itu sering tampak ketika ia mendampingi Arjuna ketika sedang menjalani tapa brata untuk mendapatkan anugerah dari dewa. Misalnya, ketika ia berjuang mendapatkan wahyu Makutha Rama dari Begawan Kesawasidi yang merupakan penyamaran Kresna, titisan Bathara Wisnu. Di situ Semar menciptakan suasana gairah Arjuna menggayuh anugerah dewa.



Tut wuri handayani artinya kurang lebih di belakang memberikan dorongan atau semangat. Dalam suatu lakon, Semar pernah memberikan asa yang luar biasa kepada Pandawa yang ketika itu sedang berkabung karena kehilangan pusaka wingit jimat kalimasada.

Pandawa didorong untuk mengoreksi diri dengan terus menjalani laku prihatin serta berjuang keras menemukan kembali pusaka tersebut. Itulah yang menjadi asa Pandawa untuk terus berusaha tanpa kenal lelah sebelum tujuan tercapai.



Digugu dan ditiru

Jadi, model ideal guru membangun karakter dengan konsep ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani ialah dengan memberi teladan atau panutan, mampu menciptakan suasana yang memungkinkan tumbuh berkembangnya pikiran dan mental, serta tidak lelah menggugah semangat dan memberikan dorongan.



Dalam konteks itu, kredo bahwa guru itu harus bisa digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani) masih relevan. Maknanya guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dengan perilaku. Dari sini, guru memang bukan sosok biasa, yakni bak Semar yang merupakan dewa mangejawantah. Itulah yang kemudian memunculkan ungkapan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. (X-7)


Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...mar/2017-12-10

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Eksplorasi Tiga Seniman tentang Lingkungan Sekitar

- Dua Telapak Tangan Umirra

- Garis Vs Kottak

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.4K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan