

TS
onik
# Regional Aceh Movement Hebat #
Geliat generasi milenial negeri Serambi Mekkah
Perda Syariah bukan ancaman anak muda Kota Banda Aceh untuk berkreativitas. Beragam komunitas muncul, mulai dari komunitas hip hop hingga film dokumenter.
Perda Syariah bukan ancaman anak muda Kota Banda Aceh untuk berkreativitas. Beragam komunitas muncul, mulai dari komunitas hip hop hingga film dokumenter.

Spoiler for Geliat generasi milenial negeri Serambi Mekkah:
Geliat generasi milenial negeri Serambi Mekkah
Perda Syariah bukan ancaman anak muda Kota Banda Aceh untuk berkreativitas. Beragam komunitas muncul, mulai dari komunitas hip hop hingga film dokumenter.
Tidak sulit mencari informasi buruk seputar Aceh di internet. Mulai dari penerapan pelaksanaan hukuman Perda Syariah hingga larangan tertentu bagi kaum perempuan.
Sejak disahkannya Perda Syariat Islam pada September 2014, Aceh dalam sejumlah pemberitaan diidentikkan dengan hukuman cambuk hingga pelaksanaan norma keislaman dan nyaris mengubur aktivitas lainnya.
Beritagar.id menemui sejumlah komunitas anak muda di Banda Aceh seperti apa kehidupan dan aktivitas mereka dalam bayang-bayang Perda Syariat.
Karya terbentur budaya
Nainunis atau Nai (30), pemuda asal Padang Tiji, Kabupaten Pidie mengambil langkah berani mendirikan sebuah komunitas breakdance pada 2008 silam. Minatnya pada tarian hip hop ini membawanya menyebrangi pulau dan mempelajari lebih banyak soal breakdance di tanah Jawa, di Depok lebih tepatnya.
Empat tahun menyelami dunia tarian jalanan, Nai memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh dan mendirikan Nanggroe Break Cypherz (NBC) yang menjadi bagian dari Hip Hop NAD Syndicate bersama rekan-rekannya. Ingin menaikkan nama Aceh dalam dunia breakdance, katanya saat ditanya alasan mendirikan komunitas ini.
Perjalanannya untuk mempertahankan eksistensi NBC hingga saat ini bukan tanpa pertentangan. Dari perbincangan kami, Nai tak menampik bahwa pada awal berdiri, tidak sedikit penolakan dari masyarakat dialamatkan kepada mereka.
Cap negatif kepadanya dan kawan-kawan pun tak bisa dielakkan. "Tak sesuai dengan seni tradisional," pungkas Nai. Pertentangan secara nyata pernah dialami ketika NBC dilarang latihan di Taman Budaya. Nai mengaku, ia menyasar tempat terbuka seperti taman sebagai tempat latihan untuk menarik perhatian.
"Kami ingin menunjukkan karya dan membuka mata mereka," tutur Nai.
Di satu sisi, Nai juga mengakui bahwa untuk menggerus arus penolakan ada penyesuaian yang harus mereka lakukan. Karenanya, NBC mengoborasi penampilan mereka baik dari segi kostum dan juga lirik hip hop yang mereka nyanyikan dengan sesuatu yang berbau tradisi.
Terbukti, langkah pendekatan yang Nai lakukan perlahan membuat cibiran negatif kepada komunitasnya sirna. Nai berharap Pemerintah Kota Banda Aceh ikut membantu dalam pengembangan komunitas anak muda, khususnya komunitas breakdance.
Selama ini, kata Nai, mereka sering membuat acara festival breakdance dalam skala nasional dan juga dihadiri komunitas dari luar negeri, namun belum ada perhatian serius dari pemerintah. "Seharusnya ini jadi ajang mengenalkan Aceh yang positif kepada dunia luar," katanya.
Geliat generasi muda di Banda Aceh juga tercermin dalam komunitas film dokumenter yang diinisiasi oleh Faisal dan Fauzi, yang tergabung dalam komunitas Aceh Documentary.
Prihatin dengan minimnya pembinaan para sineas muda di Aceh menjadi fondasi kedua pemuda ini dalam mendirikan komunitas Aceh Documentary Competition (ADC). Yang menarik dari pendirian komunitas ini adalah justru ACD awalnya merupakan festival film dokumenter.
Pada 2013, Faisal dan Fauzi menggelar festival film dokumenter Aceh Documentary Competition. Saat itu, kata Faisal (30), banyak sineas dari luar Aceh yang ikut serta. Ia menyayangkan kondisi ini dan mulai mencari jalan untuk membuat wadah yang dapat membina para sineas muda di Aceh.
Sejak saat itulah, komunitas film dokumenter ini terbentu dan nama ADC terus melekat. Ide dasar pendirian komunitas ini sederhana, kata Fauzi, ingin memasyarakatkan film di Aceh.
Berbeda dengan Nai sang pendiri NBC yang sempat mendapat pertentangan dengan komunitasnya, Fauzi mengaku selama ini ia tidak pernah terkendala dalam berkarya dengan kondisi Aceh yang menetapkan syariat Islam.
"Yang penting cara pendekatan saja yang baik, tidak ada masalah," kata Fauzi. Justru, kata dia, orang-orang sangat senang ketika mereka datang ke kampung dan menggelar acara pemutaran film. Film-film dokumenter yang mereka produksi, kata Fauzi, mengangkat kondisi masyarakat Aceh di bawah.
Tak hanya memiliki agenda rutin memutar film dokumenter melalui program Gampong Film, ADC juga menggerakkan para sineas Aceh untuk memproduksi film dokumenter. Dan pada tahap inilah para pendiri komunitas ADC harus mencari jalan memutar kepala untuk menghadapi kondisi mereka yang serba terbatas. "Kita awalnya mengemis kepada kawan-kawan untuk meminjamkan alat-alat produksi film," kata Faisal.
Akhirnya, pada 2014, mereka mendapat bantuan dana dari Asia Foundation dengan program penyelamatan lingkungan. "Makanya saat itu idenya fokus pada penyelamatan lingkungan," kata Faisal.
Sejak 2013 hingga saat ini, kata Fauzi, ada 104 orang sineas muda Aceh yang sudah memproduksi film bersama Aceh Documentary. Tidak main-main, salah satu film produksi ADC yang berjudul 1880 mdpl pernah menjadi nominasi Film Pendek Dokumenter terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2016.
Film karya sutradara Riyan Sigit Wiranto dan Miko Saleh tersebut bercerita tentang petani kopi di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Selain FFI, film tersebut juga memenangkan banyak festival lain, salah satunya Festival Film Bali 2017. "Namun yang paling bergengsi ya FFI," kata Fauzi.
Lahirnya komunitas-komunitas kreatif seperti NBC dan NBC menandai kebangkitan kreativitas anak muda di Banda Aceh. Sejak Agustus 2005, ketika damai bersemi di Serambi Mekkah, mulai lahir kelompok-kelompok dan komunitas yang menjadi wadah anak muda untuk berkreasi.
Kemunculan komunitas-komunitas tersebut tentu tak lepas dari tingginya jumlah generasi muda milenial di Banda Aceh. Kota Banda Aceh, menurut pengolahan data mikro Survei Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2016 yang dilakukan oleh tim Lokadata Beritagar.id, memiliki jumlah penduduk usia milenial tertinggi jika dibandingkan dengan kota lain yang setingkat di Indonesia.
Besarnya jumlah penduduk yang berada dalam kategori usia milenial membuat Kota Banda Aceh keluar sebagai pemenang Kaskus Beritagar.id Kota Pilihan 2017 untuk Kategori Kota Milenial.
Tingginya angka generasi milenial di Banda Aceh pada akhirnya sedikit banyak membawa perubahan. Sebagai contoh, warung kopi atau kafe misalnya, pada periode awal 1990-an tak banyak orang yang menjadikan tempat ini sebagai tempat berkumpul.
Baru kemudian warung kopi mengalami pergeseran fungsi sebagai tempat diskusi dan bersosialisasi setelah eskalasi politik meningkat pada 1997.
Dalam memotret fenomena generasi muda di Banda Aceh, sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Saleh Safei mengatakan fenomena komunitas anak muda merupakan gejala perkotaan. Pemerintah, kata dia, harus bisa mengakomodasi dan mengajak dialog komunitas anak muda, dan orang-orang yang paham tentang kondisi ini. "Tidak bisa ditolak perubahan itu," pungkasnya.
Jika hal tersebut bisa dikelola, kata dia, maka akan banyak keuntungan bagi masa depan masyarakat, baik itu di sektor ekonomi maupun sektor lainnya.
https://beritagar.id/artikel/laporan...serambi-mekkah
Perda Syariah bukan ancaman anak muda Kota Banda Aceh untuk berkreativitas. Beragam komunitas muncul, mulai dari komunitas hip hop hingga film dokumenter.
Tidak sulit mencari informasi buruk seputar Aceh di internet. Mulai dari penerapan pelaksanaan hukuman Perda Syariah hingga larangan tertentu bagi kaum perempuan.
Sejak disahkannya Perda Syariat Islam pada September 2014, Aceh dalam sejumlah pemberitaan diidentikkan dengan hukuman cambuk hingga pelaksanaan norma keislaman dan nyaris mengubur aktivitas lainnya.
Beritagar.id menemui sejumlah komunitas anak muda di Banda Aceh seperti apa kehidupan dan aktivitas mereka dalam bayang-bayang Perda Syariat.
Karya terbentur budaya
Nainunis atau Nai (30), pemuda asal Padang Tiji, Kabupaten Pidie mengambil langkah berani mendirikan sebuah komunitas breakdance pada 2008 silam. Minatnya pada tarian hip hop ini membawanya menyebrangi pulau dan mempelajari lebih banyak soal breakdance di tanah Jawa, di Depok lebih tepatnya.
Empat tahun menyelami dunia tarian jalanan, Nai memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh dan mendirikan Nanggroe Break Cypherz (NBC) yang menjadi bagian dari Hip Hop NAD Syndicate bersama rekan-rekannya. Ingin menaikkan nama Aceh dalam dunia breakdance, katanya saat ditanya alasan mendirikan komunitas ini.
Perjalanannya untuk mempertahankan eksistensi NBC hingga saat ini bukan tanpa pertentangan. Dari perbincangan kami, Nai tak menampik bahwa pada awal berdiri, tidak sedikit penolakan dari masyarakat dialamatkan kepada mereka.
Cap negatif kepadanya dan kawan-kawan pun tak bisa dielakkan. "Tak sesuai dengan seni tradisional," pungkas Nai. Pertentangan secara nyata pernah dialami ketika NBC dilarang latihan di Taman Budaya. Nai mengaku, ia menyasar tempat terbuka seperti taman sebagai tempat latihan untuk menarik perhatian.
"Kami ingin menunjukkan karya dan membuka mata mereka," tutur Nai.
Di satu sisi, Nai juga mengakui bahwa untuk menggerus arus penolakan ada penyesuaian yang harus mereka lakukan. Karenanya, NBC mengoborasi penampilan mereka baik dari segi kostum dan juga lirik hip hop yang mereka nyanyikan dengan sesuatu yang berbau tradisi.
Terbukti, langkah pendekatan yang Nai lakukan perlahan membuat cibiran negatif kepada komunitasnya sirna. Nai berharap Pemerintah Kota Banda Aceh ikut membantu dalam pengembangan komunitas anak muda, khususnya komunitas breakdance.
Selama ini, kata Nai, mereka sering membuat acara festival breakdance dalam skala nasional dan juga dihadiri komunitas dari luar negeri, namun belum ada perhatian serius dari pemerintah. "Seharusnya ini jadi ajang mengenalkan Aceh yang positif kepada dunia luar," katanya.
Geliat generasi muda di Banda Aceh juga tercermin dalam komunitas film dokumenter yang diinisiasi oleh Faisal dan Fauzi, yang tergabung dalam komunitas Aceh Documentary.
Prihatin dengan minimnya pembinaan para sineas muda di Aceh menjadi fondasi kedua pemuda ini dalam mendirikan komunitas Aceh Documentary Competition (ADC). Yang menarik dari pendirian komunitas ini adalah justru ACD awalnya merupakan festival film dokumenter.
Pada 2013, Faisal dan Fauzi menggelar festival film dokumenter Aceh Documentary Competition. Saat itu, kata Faisal (30), banyak sineas dari luar Aceh yang ikut serta. Ia menyayangkan kondisi ini dan mulai mencari jalan untuk membuat wadah yang dapat membina para sineas muda di Aceh.
Sejak saat itulah, komunitas film dokumenter ini terbentu dan nama ADC terus melekat. Ide dasar pendirian komunitas ini sederhana, kata Fauzi, ingin memasyarakatkan film di Aceh.
Berbeda dengan Nai sang pendiri NBC yang sempat mendapat pertentangan dengan komunitasnya, Fauzi mengaku selama ini ia tidak pernah terkendala dalam berkarya dengan kondisi Aceh yang menetapkan syariat Islam.
"Yang penting cara pendekatan saja yang baik, tidak ada masalah," kata Fauzi. Justru, kata dia, orang-orang sangat senang ketika mereka datang ke kampung dan menggelar acara pemutaran film. Film-film dokumenter yang mereka produksi, kata Fauzi, mengangkat kondisi masyarakat Aceh di bawah.
Tak hanya memiliki agenda rutin memutar film dokumenter melalui program Gampong Film, ADC juga menggerakkan para sineas Aceh untuk memproduksi film dokumenter. Dan pada tahap inilah para pendiri komunitas ADC harus mencari jalan memutar kepala untuk menghadapi kondisi mereka yang serba terbatas. "Kita awalnya mengemis kepada kawan-kawan untuk meminjamkan alat-alat produksi film," kata Faisal.
Akhirnya, pada 2014, mereka mendapat bantuan dana dari Asia Foundation dengan program penyelamatan lingkungan. "Makanya saat itu idenya fokus pada penyelamatan lingkungan," kata Faisal.
Sejak 2013 hingga saat ini, kata Fauzi, ada 104 orang sineas muda Aceh yang sudah memproduksi film bersama Aceh Documentary. Tidak main-main, salah satu film produksi ADC yang berjudul 1880 mdpl pernah menjadi nominasi Film Pendek Dokumenter terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2016.
Film karya sutradara Riyan Sigit Wiranto dan Miko Saleh tersebut bercerita tentang petani kopi di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Selain FFI, film tersebut juga memenangkan banyak festival lain, salah satunya Festival Film Bali 2017. "Namun yang paling bergengsi ya FFI," kata Fauzi.
Lahirnya komunitas-komunitas kreatif seperti NBC dan NBC menandai kebangkitan kreativitas anak muda di Banda Aceh. Sejak Agustus 2005, ketika damai bersemi di Serambi Mekkah, mulai lahir kelompok-kelompok dan komunitas yang menjadi wadah anak muda untuk berkreasi.
Kemunculan komunitas-komunitas tersebut tentu tak lepas dari tingginya jumlah generasi muda milenial di Banda Aceh. Kota Banda Aceh, menurut pengolahan data mikro Survei Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2016 yang dilakukan oleh tim Lokadata Beritagar.id, memiliki jumlah penduduk usia milenial tertinggi jika dibandingkan dengan kota lain yang setingkat di Indonesia.
Besarnya jumlah penduduk yang berada dalam kategori usia milenial membuat Kota Banda Aceh keluar sebagai pemenang Kaskus Beritagar.id Kota Pilihan 2017 untuk Kategori Kota Milenial.
Tingginya angka generasi milenial di Banda Aceh pada akhirnya sedikit banyak membawa perubahan. Sebagai contoh, warung kopi atau kafe misalnya, pada periode awal 1990-an tak banyak orang yang menjadikan tempat ini sebagai tempat berkumpul.
Baru kemudian warung kopi mengalami pergeseran fungsi sebagai tempat diskusi dan bersosialisasi setelah eskalasi politik meningkat pada 1997.
Dalam memotret fenomena generasi muda di Banda Aceh, sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Saleh Safei mengatakan fenomena komunitas anak muda merupakan gejala perkotaan. Pemerintah, kata dia, harus bisa mengakomodasi dan mengajak dialog komunitas anak muda, dan orang-orang yang paham tentang kondisi ini. "Tidak bisa ditolak perubahan itu," pungkasnya.
Jika hal tersebut bisa dikelola, kata dia, maka akan banyak keuntungan bagi masa depan masyarakat, baik itu di sektor ekonomi maupun sektor lainnya.
https://beritagar.id/artikel/laporan...serambi-mekkah

Kenapa Regional Aceh Juara Regional Paling Eksis....
Karena Regional Aceh telah melaksanakan event terbanyak dibandingkan regional lain
Kenapa begitu ....
Karena Kaskus Regional Aceh Hebat Dan Kaskusers Aceh Hebat
Terima Kasih untuk semua kaskusers Aceh yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang selama ini telah membantu dan ikut serta dalam kegiatan Kaskus Regional Aceh / Regional Atjeh Movement (RATM). Kalian Semua Hebat, Aceh Hebat.
Saleum Onik


OnikLover memberi reputasi
1
2.7K
Kutip
18
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan