- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mengapa Putin Bangun Monumen untuk Korban Penindasan Uni Soviet?


TS
Zoid17
Mengapa Putin Bangun Monumen untuk Korban Penindasan Uni Soviet?
Pada peringatan 100 tahun Revolusi Oktober, Presiden Rusia Vladimir Putin secara pribadi meresmikan “Tembok Duka” atau The Wall of Grief—tembok dengan bentuk manusia yang tidak berwajah, berbahan perunggu, untuk mengenang korban penindasan Gulag (kerja paksa) era Uni Soviet. Monumen tersebut menuai kontroversi, dan sebagian orang menyebutnya bermuatan politis. Apa alasan Putin melakukannya?
Sesuatu yang mengejutkan terjadi pada tanggal 30 Oktober. Sejak tahun 1970-an, para pemberontak rusia telah menandakan tanggal tersebut sebagai peringatan tahunan bagi para korban penindasan era Soviet. Walaupun tanggal tersebut dijadikan sebagai hari libur nasional pada tahun 1991, para pejabat negara biasanya memberikan pengelolaan hari peringatan tersebut kepada organisasi non-pemerintah misalnya Memorial, yang berdedikasi untuk mengungkap dan mempublikasikan cerita-cerita para korban teror Soviet.
Namun tahun ini, pada pekan seratus tahun Revolusi Oktober, Presiden vladimir putin secara pribadi meresmikan “Tembok Duka” atau The Wall of Grief—tembok dengan bentuk manusia-manusia yang tidak berwajah, berbahan perunggu, untuk mengenang para korban penindasan Gulag (kerja paksa) era Uni Soviet. Masyarakat Rusia masih terbagi-bagi dalam mengartikan warisan Soviet tersebut, dan menjadikan proyek ini bermuatan politis.
Mengapa Putin mau mengambil bagian dalam hal ini?
Dalam berbagai diskusi politik Rusia, konteks adalah yang terpenting. Pemilihan presiden Rusia dijadwalkan akan dilaksanakan pada bulan Maret 2018. Dengan memeriksa secara teliti peliputan negara mengenai acara tersebut, kita dapat melihat bagaimana Putin bekerja untuk memberikan penghargaan terhadap para sekutu, menyusun kenangan politik negara tersebut—dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin moderat yang dapat mempertahankan stabilitas dan mengalahkan kekuatan kekacauan.
PEMERINTAHAN PUTIN SEMAKIN MENGAKUI KEKACAUAN UNI SOVIET
Antara tahun 2004 dan 2010, pejabat Rusia melakukan pidato mengenai masa lalu negara tersebut yang seringkali merujuk pada whitewashing Stalinisme, yang lebih fokus pada pemerintahan dan pencapaian perang Stalin, dibandingkan kejahatan domestiknya. Hal ini berubah pada tahun 2010, ketika pemerintahan Putin mengatur sebuah peringatan pembantaian oleh pasukan keamanan Soviet tahun 1940, terhadap para petugas Polandia di Katyn. Peringatan tersebut sangatlah menyedihkan, mengingat sekelompok politisi senior Polandia tewas ketika pesawat mereka mengalami kecelakaan dalam kabut tebal, saat perjalanan mereka menuju acara tersebut.
Sejak saat itu, Putin semakin dekat dengan pemimpin anti-komunis, anti-Stalinis dari Gereja Ortodoks Rusia, Patriarch Kirill. Mereka berkoordinasi dalam memberikan tanggapan terhadap “Doa Punk” milik Pussy Riot pada tahun 2011. Pemerintah Rusia menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada para musisi aktivis tersebut; media yang didukung oleh pemerintah berulang kali meliput pernyataan Patiarch, termasuk penolakannya untuk memberikan kelonggaran, dalam tanggapannya terhadap “penistaan” mereka. Dan dalam peresmian monumen tersebut, Patriarch tersebut berdiri di sebelah Putin, sebuah posisi kehormatan, dan menunjukkan bahwa Patriarch telah mendukung upacara tersebut.
Namun dengan perkembangan terbaru, tren pengakuan penindasan di masa lalu telah mencapai titik baru, dengan profil tinggi Putin, yang menunjukkan sikap pribadinya. Monumen ini adalah yang pertama yang dibangun dengan Keputusan Presiden.
JADI, APA PESAN PEMERINTAH DI BALIK PERESMIAN MONUMEN INI?
Penelitian kami mencakup penentuan bagaimana liputan media Rusia mewakili tujuan pemerintah. Media internasional Rusia, RT, menekankan bagaimana pidato Putin secara tegas mengecam penindasan Stalin. Sama halnya, berita utama malam Channel 1 yang didukung pemerintah, dibuka dengan melaporkan acara tersebut, dan selanjutnya menampilkan pidato Putin, dimana ia menyayangkan “penindasan terhadap jutaan orang… Kejahatan yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.”
Pidato tersebut mengecam seluruh sistem Soviet yang memungkinkan terjadinya teror, dan menyatakan bahwa penyebab penindasan tersebut tidak dapat disalahkan kepada individu-individu tertentu, seperti kampanye de-Stalinisasi yang berusaha dilakukan oleh Nikita Khrushchev dari pertengahan tahun 50-an hingga pertengahan tahun 60-an.
Ini masalahnya: Menyalahkan sistem membuat tanggung jawab tidak ditanggung oleh individu mana pun. Organisasi masyarakat sipil yang dihormati, termasuk Memorial dan Museum Gulag, mengkarakteristikan peresmian tersebut sebagai langkah maju pengakuan negara terhadap teror Soviet sebagai sebuah kejahatan. Namun surat kabar harian oposisi Novaya Gazeta, mengkritik keputusan tersebut karena tidak menyebut Stalin atau para pelaku lainnya.
Mengapa Putin lebih memilih menyalahkan sistem dibandingkan individu? Terdapat dua alasan. Pertama, Partai Komunis masih menikmati dukungan minoritas yang signifikan dalam pemilu Rusia. Kedua, pada tahun-tahun terakhir era Soviet, Putin menempatkan dirinya sendiri sebagai petugas intelijen di KGB—organisasi yang bertanggung jawab terhadap teror.
TETAP SAJA, APA KEUNTUNGAN BAGI PUTIN DENGAN MENGUSUT REPRESI POLITIS TERSEBUT?
Terdapat dua keuntungan. Pertama, walaupun sebagian besar masyarakat Rusia masih melihat kemenangan Soviet pada Perang Dunia II sebagai saat-saat terbaik mereka, sebagian masyarakat Rusia melihat secara negatif periode penuh teror Stalin. Putin menggunakan sikapnya melawan penindasan di masa lalu untuk menarik mereka yang tidak puas dan kritis terhadap rezim tersebut, terutama di Moskow, ibu kota Rusia, dan St. Petersburg, yang merupakan bekas ibu kota.
Kedua, dengan mengingatkan Rusia mengenai penyebab-penyebab sistemik dan akibat dari era penindasan politik sebelumnya, Putin terus menekankan kekacauan, kekerasan, dan penderitaan manusia akibat revolusi—dan membandingkannya dengan masa pemerintahannya yang relatif stabil. Pidatonya mengatakan, bahwa untuk melangkah maju, masyarakat Rusia harus fokus dalam membangun “kepercayaan dan stabilitas”.
Ia mengutip istri dari pemberontak Aleksandr Solzhenitsyn, yang juga hadir dalam upacara tersebut, dan mengatakan bahwa sangat penting untuk “mengetahui, memahami, mengecam, dan baru di kemudian hari memaafkan.” Putin menempatkan dirinya sebagai perwakilan dari “di kemudian hari”.
Itu mengapa, para aktivis hak asasi manusia kelas atas dan para mantan pemberontak mengkritik monumen tersebut sebagai usaha sinis untuk melewati penyelidikan terkait penindasan era-komunis, dan untuk mengalihkan perhatian dari penindasan politik yang berlangsung di Rusia. Ungkapan Putin “kepercayaan dan stabilitas”, mungkin dapat diartikan sebagai “lebih baik berhadapan dengan penjahat yang sudah kita kenal”.
Kita dapat melihat pesan implisit tersebut dari sisa-sisa liputan berita. Berita kedua dari Channel 1 meliput tentang partisipasi Putin dalam rapat Dewan Masyarakat Sipil dan Hak Asasi Manusia. Dalam sebuah sesi yang tidak memiliki batasan topik, Putin menjawab sebuah pertanyaan sulit dari para anggota dewan mengenai penindasan sewenang-wenang yang saat ini terjadi, pembatasan terhadap protes politik, dan suasana yang tidak menyenangkan di Rusia, yang memicu orang-orang untuk beremigrasi.
Sikap Putin yang tenang dan beralasan menekankan pentingnya menegakkan undang-undang, dan mengatakan bahwa para politisi oposisi dengan sengaja melanggar regulasi agar terkenal. Putin membandingkan keadaan Rusia yang relatif stabil, dengan apa yang ia gambarkan sebagai politik kontemporer yang kacau milik Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Brexit Inggris, pasca-kemerdekaan Catalunya, dan Eropa Barat yang dijangkit terorisme dan krisis pengungsi.
Pada malam menjelang pemilihan presiden, tujuan Putin adalah untuk menyelesaikan keluhan politik dengan caranya sendiri, dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang benar-benar masuk akal dan moderat.
Vera Tolz adalah Sir William Mather, Professor Kajian Rusia di Universitas Manchester, dan menulis buku bersama professor Stephen Hutchings berjudul “Nation, Ethnicity and Race on Russian Television: Mediating Post-Soviet Difference.” (Routledge, 2015).
Precious N. Chatterje-Doody adalah seorang peneliti di Universitas Manchester, bekerja dalam proyek yang didanai oleh Arts and Humanities Research Council, yaitu: Reframing Russia for the global mediasphere: from Cold War to “information war.”
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.
sumber: mengapa putin bangun monumen untuk korban penindasan uni soviet?
Sesuatu yang mengejutkan terjadi pada tanggal 30 Oktober. Sejak tahun 1970-an, para pemberontak rusia telah menandakan tanggal tersebut sebagai peringatan tahunan bagi para korban penindasan era Soviet. Walaupun tanggal tersebut dijadikan sebagai hari libur nasional pada tahun 1991, para pejabat negara biasanya memberikan pengelolaan hari peringatan tersebut kepada organisasi non-pemerintah misalnya Memorial, yang berdedikasi untuk mengungkap dan mempublikasikan cerita-cerita para korban teror Soviet.
Namun tahun ini, pada pekan seratus tahun Revolusi Oktober, Presiden vladimir putin secara pribadi meresmikan “Tembok Duka” atau The Wall of Grief—tembok dengan bentuk manusia-manusia yang tidak berwajah, berbahan perunggu, untuk mengenang para korban penindasan Gulag (kerja paksa) era Uni Soviet. Masyarakat Rusia masih terbagi-bagi dalam mengartikan warisan Soviet tersebut, dan menjadikan proyek ini bermuatan politis.
Mengapa Putin mau mengambil bagian dalam hal ini?
Dalam berbagai diskusi politik Rusia, konteks adalah yang terpenting. Pemilihan presiden Rusia dijadwalkan akan dilaksanakan pada bulan Maret 2018. Dengan memeriksa secara teliti peliputan negara mengenai acara tersebut, kita dapat melihat bagaimana Putin bekerja untuk memberikan penghargaan terhadap para sekutu, menyusun kenangan politik negara tersebut—dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin moderat yang dapat mempertahankan stabilitas dan mengalahkan kekuatan kekacauan.
PEMERINTAHAN PUTIN SEMAKIN MENGAKUI KEKACAUAN UNI SOVIET
Antara tahun 2004 dan 2010, pejabat Rusia melakukan pidato mengenai masa lalu negara tersebut yang seringkali merujuk pada whitewashing Stalinisme, yang lebih fokus pada pemerintahan dan pencapaian perang Stalin, dibandingkan kejahatan domestiknya. Hal ini berubah pada tahun 2010, ketika pemerintahan Putin mengatur sebuah peringatan pembantaian oleh pasukan keamanan Soviet tahun 1940, terhadap para petugas Polandia di Katyn. Peringatan tersebut sangatlah menyedihkan, mengingat sekelompok politisi senior Polandia tewas ketika pesawat mereka mengalami kecelakaan dalam kabut tebal, saat perjalanan mereka menuju acara tersebut.
Sejak saat itu, Putin semakin dekat dengan pemimpin anti-komunis, anti-Stalinis dari Gereja Ortodoks Rusia, Patriarch Kirill. Mereka berkoordinasi dalam memberikan tanggapan terhadap “Doa Punk” milik Pussy Riot pada tahun 2011. Pemerintah Rusia menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada para musisi aktivis tersebut; media yang didukung oleh pemerintah berulang kali meliput pernyataan Patiarch, termasuk penolakannya untuk memberikan kelonggaran, dalam tanggapannya terhadap “penistaan” mereka. Dan dalam peresmian monumen tersebut, Patriarch tersebut berdiri di sebelah Putin, sebuah posisi kehormatan, dan menunjukkan bahwa Patriarch telah mendukung upacara tersebut.
Namun dengan perkembangan terbaru, tren pengakuan penindasan di masa lalu telah mencapai titik baru, dengan profil tinggi Putin, yang menunjukkan sikap pribadinya. Monumen ini adalah yang pertama yang dibangun dengan Keputusan Presiden.
JADI, APA PESAN PEMERINTAH DI BALIK PERESMIAN MONUMEN INI?
Penelitian kami mencakup penentuan bagaimana liputan media Rusia mewakili tujuan pemerintah. Media internasional Rusia, RT, menekankan bagaimana pidato Putin secara tegas mengecam penindasan Stalin. Sama halnya, berita utama malam Channel 1 yang didukung pemerintah, dibuka dengan melaporkan acara tersebut, dan selanjutnya menampilkan pidato Putin, dimana ia menyayangkan “penindasan terhadap jutaan orang… Kejahatan yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.”
Pidato tersebut mengecam seluruh sistem Soviet yang memungkinkan terjadinya teror, dan menyatakan bahwa penyebab penindasan tersebut tidak dapat disalahkan kepada individu-individu tertentu, seperti kampanye de-Stalinisasi yang berusaha dilakukan oleh Nikita Khrushchev dari pertengahan tahun 50-an hingga pertengahan tahun 60-an.
Ini masalahnya: Menyalahkan sistem membuat tanggung jawab tidak ditanggung oleh individu mana pun. Organisasi masyarakat sipil yang dihormati, termasuk Memorial dan Museum Gulag, mengkarakteristikan peresmian tersebut sebagai langkah maju pengakuan negara terhadap teror Soviet sebagai sebuah kejahatan. Namun surat kabar harian oposisi Novaya Gazeta, mengkritik keputusan tersebut karena tidak menyebut Stalin atau para pelaku lainnya.
Mengapa Putin lebih memilih menyalahkan sistem dibandingkan individu? Terdapat dua alasan. Pertama, Partai Komunis masih menikmati dukungan minoritas yang signifikan dalam pemilu Rusia. Kedua, pada tahun-tahun terakhir era Soviet, Putin menempatkan dirinya sendiri sebagai petugas intelijen di KGB—organisasi yang bertanggung jawab terhadap teror.
TETAP SAJA, APA KEUNTUNGAN BAGI PUTIN DENGAN MENGUSUT REPRESI POLITIS TERSEBUT?
Terdapat dua keuntungan. Pertama, walaupun sebagian besar masyarakat Rusia masih melihat kemenangan Soviet pada Perang Dunia II sebagai saat-saat terbaik mereka, sebagian masyarakat Rusia melihat secara negatif periode penuh teror Stalin. Putin menggunakan sikapnya melawan penindasan di masa lalu untuk menarik mereka yang tidak puas dan kritis terhadap rezim tersebut, terutama di Moskow, ibu kota Rusia, dan St. Petersburg, yang merupakan bekas ibu kota.
Kedua, dengan mengingatkan Rusia mengenai penyebab-penyebab sistemik dan akibat dari era penindasan politik sebelumnya, Putin terus menekankan kekacauan, kekerasan, dan penderitaan manusia akibat revolusi—dan membandingkannya dengan masa pemerintahannya yang relatif stabil. Pidatonya mengatakan, bahwa untuk melangkah maju, masyarakat Rusia harus fokus dalam membangun “kepercayaan dan stabilitas”.
Ia mengutip istri dari pemberontak Aleksandr Solzhenitsyn, yang juga hadir dalam upacara tersebut, dan mengatakan bahwa sangat penting untuk “mengetahui, memahami, mengecam, dan baru di kemudian hari memaafkan.” Putin menempatkan dirinya sebagai perwakilan dari “di kemudian hari”.
Itu mengapa, para aktivis hak asasi manusia kelas atas dan para mantan pemberontak mengkritik monumen tersebut sebagai usaha sinis untuk melewati penyelidikan terkait penindasan era-komunis, dan untuk mengalihkan perhatian dari penindasan politik yang berlangsung di Rusia. Ungkapan Putin “kepercayaan dan stabilitas”, mungkin dapat diartikan sebagai “lebih baik berhadapan dengan penjahat yang sudah kita kenal”.
Kita dapat melihat pesan implisit tersebut dari sisa-sisa liputan berita. Berita kedua dari Channel 1 meliput tentang partisipasi Putin dalam rapat Dewan Masyarakat Sipil dan Hak Asasi Manusia. Dalam sebuah sesi yang tidak memiliki batasan topik, Putin menjawab sebuah pertanyaan sulit dari para anggota dewan mengenai penindasan sewenang-wenang yang saat ini terjadi, pembatasan terhadap protes politik, dan suasana yang tidak menyenangkan di Rusia, yang memicu orang-orang untuk beremigrasi.
Sikap Putin yang tenang dan beralasan menekankan pentingnya menegakkan undang-undang, dan mengatakan bahwa para politisi oposisi dengan sengaja melanggar regulasi agar terkenal. Putin membandingkan keadaan Rusia yang relatif stabil, dengan apa yang ia gambarkan sebagai politik kontemporer yang kacau milik Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Brexit Inggris, pasca-kemerdekaan Catalunya, dan Eropa Barat yang dijangkit terorisme dan krisis pengungsi.
Pada malam menjelang pemilihan presiden, tujuan Putin adalah untuk menyelesaikan keluhan politik dengan caranya sendiri, dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang benar-benar masuk akal dan moderat.
Vera Tolz adalah Sir William Mather, Professor Kajian Rusia di Universitas Manchester, dan menulis buku bersama professor Stephen Hutchings berjudul “Nation, Ethnicity and Race on Russian Television: Mediating Post-Soviet Difference.” (Routledge, 2015).
Precious N. Chatterje-Doody adalah seorang peneliti di Universitas Manchester, bekerja dalam proyek yang didanai oleh Arts and Humanities Research Council, yaitu: Reframing Russia for the global mediasphere: from Cold War to “information war.”
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.
sumber: mengapa putin bangun monumen untuk korban penindasan uni soviet?
0
1.1K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan