Media IndonesiaAvatar border
TS
Media Indonesia
Merekam Ulang Jejak Cut Nyak Dhien


SECERCAH cahaya di tengah gelap gulita dan hening, lamat-lamat memperlihatkan seorang perempuan bertudung dengan ringkih berkomat-kamit. Kemudian suara itu mulai terdengar, ia sedang merutuk nasib pengasingannya. Di bawah temaram, berlatar siluet dan suara gesekan selo kian mendramatisasi ruangan itu.



“Perasaan terasingku jauh dari tanah kelahiranku. Meskipun aku buta dan lemah, langit di luar jendela itu bukanlah langit yang selalu kurindukan. Nanggroe, Nanggroe….” Perempuan itu lalu menangis tersedu-sedu.



Perempuan renta itu terlihat bersimpuh di atas sebuah kursi dipan. Dari depan panggung disorotkan proyektor yang menghasilkan lanskap latar. Memacarkan siluet bulan purnama, peta, dedaunan, batang-batang pohon dan hutan tropis.



Perempuan malang itu adalah Cut Nyak Dhien. Artis Ine Febriyanti tengah menyelami lakon dan mengobarkan semangat perjuangan perempuan pejuang asal Tanah Rencong itu dalam pementasan monolog di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (16/11).



“Jika saja aku dibiarkan mati di tanah kelahiranku sendiri, betapa setiaku sebut nama-Mu. Engkau selalu berdenyut di dalam jantungku. Seorang ibu yang membesarkan anaknya dalam keadaan perang adalah benteng yang paling kukuh. Maka dalam setiap iman dan rohku selalu kubisikkan kepada mereka hikayat tentang Datuk Makhudum Sati.”



Sepenggal monolog tunggal Ine tentang kerinduan Cut Nyak terhadap Aceh dari pengasingannya di Tanah Pasundan. Dilanjutkan dengan kisah Makdum Sakti. Cerita tentang keteguhan moyang Cut Nyak Dhien melawan kezaliman penjajahan. Kemudian dilanjut tentang perkimpoiannya dengan Teuku Ibrahim pada saat usia Cut Nyak Dhien 12 tahun.



Pejuang yang lengkap

Seusai pertunjukan, Sha Ine Febriyanti mengatakan, Kamis (16/11), sangat terinspirasi oleh sosok Cut Nyak Dhien. Selain pejuang yang gagah berani, Cut Nyak Dhien tak melupakan perannya sebagai seorang ibu sekaligus sebagai istri. Tentunya dia itu pejuang yang lengkap.



“Setelah Teuku Umar, suami keduanya juga tewas tertembak ketika peperangan meletus di Meulaboh. Keberaniannya tidak mengerdil meski matanya sudah mulai rabun, pendengarannya rusak, dan penyakit-penyakit usia tua mulai menggerogotinya. Cut Nyak Dhien masih teguh melawan dan membenci penjajahan,” kata dia.



Ine menjelaskan ia tidak mendeskripsikan secara persuasif sosok perempuan Aceh. Namun, ia memastikan apa yang ditampilkannya melalui lakon Cut Nyak Dhien setidaknya mengabarkan bagaimana karakter perempuan Aceh itu. Ia lebih mengambil sisi positif dari sejarah perjuangan Cut Nyak Dhien.



“Oleh karena itu, dengan mengingat kembali sejarah dan perjuangan pahlawan, kita bisa belajar banyak. Begitu juga seperti gejolak politik, negeri kita ini jatuh bangun karena pengkhianat. Kita juga jangan gampang percaya sebelum benar-benar memahaminya,” kata dia.



Ine juga mengakui kisah panjang yang dialami pejuang Cut Nyak Dhien tidak semuanya mampu ia angkat dalam monolognya. Meski demikian, ia tetap memilih peristiwa-peristiwa penting yang dilakukan dan melibatkan Cut Nyak Dhien.



“Artinya dari sejarah panjang Cut Nyak Dhien, kita tidak bisa menampilkan semuanya. Kita harus memilih sedikit-sedikit, memilih dramatik itu sepenggal untuk ditampilkan. Karena yang diharapkan, bagaimana ia bisa dan agungnya Cut Nyak Dhien,” sebutnya.



Ine menyebutkan memang berat memerankan tokoh Cut Nyak Dhien, apalagi untuk memperlihatkan kepada generasi muda bagaimana seorang perempuan bisa bertahan dan teguh dalam mengorbankan jiwa raganya untuk tanah air.



“Sulit sekali memang mencari tokoh yang bisa memerankan Cut Nyak Dhien. Kita memang tidak tau pasti bagaimana beliau. Di naskah ini, saya juga menunggalkan Cut Nyak Dhien. Saya memilih beberapa nukilan hidupnya yang penting, dan bisa kita kisahkan,” terangnya.



Pemetasan monolog tunggal Cut Nyak Dhien telah ia lakukan sebanyak sembilan kali. Bahkan, selama itu ia terus belajar dan menjiwai karakter Cut Nyak Dhien. Oleh karena itu, ia memiliki semangat untuk menggelorakan seni teater di kalangan anak muda.



“Tahun depan kita akan melakukan pemetasan teater di beberapa kota. Jadi saya ingin berbagi kepada teman-teman teater di Indonesia, yang tidak memiliki referensi bagus,” sebutnya.



Ine memastikan akan mengunjungi ke daerah-daerah yang kurang memiliki referensi teater sehingga mereka bisa berbagi pengalaman untuk meningkatkan minat generasi muda dalam mengekplorasi seni teater. “Kalau dulu main teater, dianggap tidak ada masa depan. Tetapi sekarang justru menjadikan teater bagian dari pendidikan,” pungkasnya. (M-2)


Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...ien/2017-11-26

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Yuk Cegah Kebakaran!

- Antara Feminitas dan Kekuatan

- Absurditas Politik Kekuasaan Internasional

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
534
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan