- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
PERJUANGAN KARTINI DI BALIK RIUH BERINGHARJO


TS
alfiyaniaisyah
PERJUANGAN KARTINI DI BALIK RIUH BERINGHARJO
(Alfiyani Aisyah Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY)
Kota Yogyakarta merupakan kota pelajar dan salah satu kota wisata yang ada di Indonesia. Beragam budaya dan keunikan yang menjadi daya tarik para wisatawan dari berbagai daerah yang ada di Indonesia maupun mancanegara. Salah satu tempat yang diminati untuk berkunjung ke Yogyakarta yaitu Pasar Beringharjo. Sebuah pasar yang menjajakan banyak pakaian batik khas Yogyakarta sebagai pilihan oleh-oleh bagi pengunjung yang berkunjung kesana.
Pasar Beringharjo merupakan bagian dari kawasan Malioboro. Pasar yang telah menjadi pusat perekonomian selama puluhan tahun. Pasar yang masih bernuansa tradisional yang memiliki peran tidak kalah penting. Pasar Beringharjo ini memiliki daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang datang, karena letaknya yang strategis dan mudah di jumpai yaitu di kawasan Malioboro.
Di balik aktivitas jual beli yang ramai di Pasar Beringharjo, terdapat keberadaan dan jerit payah para buruh gendong atau kuli angkut yang sedang berlalu lalang mengangkut barang di pasar tradisional terbesar di Yogyakarta tersebut. Hal yang menarik dan jarang dilirik pengunjung dari pasar Bringharjo adalah kehidupan buruh gendong yang sebagian besar dari mereka merupakan perumpuan yang usianya sudah tidak muda lagi.
Bahkan, beberapa di antaranya sudah usia lanjut dengan umur berkisar 50 sampai 80 tahun. Di usia mereka yang sudah tua masih harus bekerja dengan mengandalkan fisik kuat dan bermodal kain selendang untuk mengais rupiah yang didapatnya. Usia senja tidak membuat pupus harapan dan semangat mereka mengais rezeki di Kota Yogyakarta yang sudah tidak lagi nyaman ini.
Setiap hari, dari pagi hingga menjelang sore buruh gendong perempuan ini berjalan dari sudut depan, samping dan belakang Pasar Beringharjo membawa barang belanja para pembeli. Keringat yang mengucur di wajah buruh gendong perempuan memperlihatkan betapa beratnya hidup yang dialami.
Tetapi buruh gendong perempuan ini masih tetap semangat dan ikhlas untuk menjalani profesinya sebagai buruh gendong, di usia lanjut seperti mereka seharusnya sudah tidak bekerja berat untuk menjadi buruh gendong di Pasar Bringharjo Yogyakarta. Namun, ekspresi lelah dan beban berat tersebut beliau-beliau sembunyikan di balik raut senyumnya.
Salah satu perempuan buruh gendong yang ditemui di Pasar Beringharjo yaitu bernama Mijem. Perempuan berusia 60 tahun asal Desa Srikayangan Kabupaten Kulonprogo. perempuan yang tangguh dan kuat di usianya yang sudah tua menghadapi keseharianya bekerja dengan keras untuk menghidupi kebutuhan sehari-harinya.
Karena baginya, kerja kerasnya di hari tua juga salah satu bentuk rasa syukur atas kesehatan badan yang masih diberikan Tuhan untuk beliau. Dengan rasa syukur yang beliau miliki, meskipun menjadi buruh gendong namun itu bisa memberikan sesuap nasi untuknya dan keluarganya.
Menjadi buruh gendong di Pasar Bringharjo sudah dilakoni Mijem sejak kecil. Walaupun berat namun tidak ada pilihan lagi baginya untuk membantu perekonomian keluarga, mengingat suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh kebun.
“Awal mbok kulo ora sekolah, kulo bingung to arep kerjo opo. Akhire dadi kerja ngene (Awalnya saya tidak sekolah, saya bingung mau kerja apa. Akhirnya jadi seperti ini),” ujar Mijem ketika ditanya tentang awal bekerja sebagai buruh gendong.
Mijem berangkat dari rumahnya untuk bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo mulai sejak pagi hari dari rumahnya dengan menaiki becak, beliau melakukannya setiap hari dengan berangkat sendiri untuk menuju ke pasar Beringharjo. Ongkos transportnya menghabiskan sekitar Rp.10.000, setiap harinya dengan biaya ongkos sendiri. Sesampainya dipasar, pekerjaannya memanggul barang dagang dan memanggul barang bawaan pembeli menuju parkiran. Dengan upah yang seikhlasnya.
Bekerja sebagai buruh gendong tidak banyak menghasilkan uang, karena tidak ada tarif untuk buruh gendong. Semua tergantung pada kemurahan hati yang akan menggunakan jasa Mijem untuk memanggul barangnya. “Nek nyuwun katah dikandake satpame (jika minta banyak nanti dibilang satpamnya),” ungkapnya.
Keberadaan buruh gendong tak terlepas dengan adanya pasar tradisional, terutama pasar Beringharjo yang terletak di Malioboro Yogyakarta. Puluhan wanita kuat dan tangguh membawa barang bawaan kesana kemari. Tak jarang rasa sakit dan nyeri menyerang perempuan yang tangguh untuk berjuang menghidupi keluarganya.
Barang bawaan dengan berat puluhan bahkan ratusan kilogram yang harus digendong Mijem dengan penuh semangat ketika sedang ramai pengunjung Pasar Bringharjo. Tetapi ketika pengunjung yang datang di Pasar Beringharjo sedikit, Mijem tidak dapat upah sama sekali dengan hal itu terkadang pengunjung melihat mbah mijem sedang duduk di pinggir sudut pasar mengasihi uangnya, tanpa mbah mijem meminta.
Mijem menyadari penghasilan sebagai buruh gendong sedikit. Meski harus hidup dengan pas-pasan dengan keterbatasan yang ada, beliau selalu bersyukur terhadap apa yang telah beliau dapatkan dan semangat nya terus berkobar untuk terus menjalani profesi sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo yang sudah beliau jalani puluhan tahun. Semangat yang dimiliki oleh Mbah Mijem ini perlu dicontoh oleh para kaum generasi muda, seperti mbah Mijem yang selalu berusaha dengan keras untuk tetap semangat menjalani kehidupannya.
Untuk itu sosok Mijem banyak menginspirasi para kaum perempuan untuk terus berjuang dengan profesi yang sangat berat yaitu sebagai buruh gendong, dimana profesi tersebut seharusnya dilakukan oleh kaum pria. Tetapi dilihat disini tidak ada perbedaan antara profesi laki-laki dan perempuan.
Kota Yogyakarta merupakan kota pelajar dan salah satu kota wisata yang ada di Indonesia. Beragam budaya dan keunikan yang menjadi daya tarik para wisatawan dari berbagai daerah yang ada di Indonesia maupun mancanegara. Salah satu tempat yang diminati untuk berkunjung ke Yogyakarta yaitu Pasar Beringharjo. Sebuah pasar yang menjajakan banyak pakaian batik khas Yogyakarta sebagai pilihan oleh-oleh bagi pengunjung yang berkunjung kesana.
Pasar Beringharjo merupakan bagian dari kawasan Malioboro. Pasar yang telah menjadi pusat perekonomian selama puluhan tahun. Pasar yang masih bernuansa tradisional yang memiliki peran tidak kalah penting. Pasar Beringharjo ini memiliki daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang datang, karena letaknya yang strategis dan mudah di jumpai yaitu di kawasan Malioboro.
Di balik aktivitas jual beli yang ramai di Pasar Beringharjo, terdapat keberadaan dan jerit payah para buruh gendong atau kuli angkut yang sedang berlalu lalang mengangkut barang di pasar tradisional terbesar di Yogyakarta tersebut. Hal yang menarik dan jarang dilirik pengunjung dari pasar Bringharjo adalah kehidupan buruh gendong yang sebagian besar dari mereka merupakan perumpuan yang usianya sudah tidak muda lagi.
Bahkan, beberapa di antaranya sudah usia lanjut dengan umur berkisar 50 sampai 80 tahun. Di usia mereka yang sudah tua masih harus bekerja dengan mengandalkan fisik kuat dan bermodal kain selendang untuk mengais rupiah yang didapatnya. Usia senja tidak membuat pupus harapan dan semangat mereka mengais rezeki di Kota Yogyakarta yang sudah tidak lagi nyaman ini.
Setiap hari, dari pagi hingga menjelang sore buruh gendong perempuan ini berjalan dari sudut depan, samping dan belakang Pasar Beringharjo membawa barang belanja para pembeli. Keringat yang mengucur di wajah buruh gendong perempuan memperlihatkan betapa beratnya hidup yang dialami.
Tetapi buruh gendong perempuan ini masih tetap semangat dan ikhlas untuk menjalani profesinya sebagai buruh gendong, di usia lanjut seperti mereka seharusnya sudah tidak bekerja berat untuk menjadi buruh gendong di Pasar Bringharjo Yogyakarta. Namun, ekspresi lelah dan beban berat tersebut beliau-beliau sembunyikan di balik raut senyumnya.
Salah satu perempuan buruh gendong yang ditemui di Pasar Beringharjo yaitu bernama Mijem. Perempuan berusia 60 tahun asal Desa Srikayangan Kabupaten Kulonprogo. perempuan yang tangguh dan kuat di usianya yang sudah tua menghadapi keseharianya bekerja dengan keras untuk menghidupi kebutuhan sehari-harinya.
Karena baginya, kerja kerasnya di hari tua juga salah satu bentuk rasa syukur atas kesehatan badan yang masih diberikan Tuhan untuk beliau. Dengan rasa syukur yang beliau miliki, meskipun menjadi buruh gendong namun itu bisa memberikan sesuap nasi untuknya dan keluarganya.
Menjadi buruh gendong di Pasar Bringharjo sudah dilakoni Mijem sejak kecil. Walaupun berat namun tidak ada pilihan lagi baginya untuk membantu perekonomian keluarga, mengingat suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh kebun.
“Awal mbok kulo ora sekolah, kulo bingung to arep kerjo opo. Akhire dadi kerja ngene (Awalnya saya tidak sekolah, saya bingung mau kerja apa. Akhirnya jadi seperti ini),” ujar Mijem ketika ditanya tentang awal bekerja sebagai buruh gendong.
Mijem berangkat dari rumahnya untuk bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo mulai sejak pagi hari dari rumahnya dengan menaiki becak, beliau melakukannya setiap hari dengan berangkat sendiri untuk menuju ke pasar Beringharjo. Ongkos transportnya menghabiskan sekitar Rp.10.000, setiap harinya dengan biaya ongkos sendiri. Sesampainya dipasar, pekerjaannya memanggul barang dagang dan memanggul barang bawaan pembeli menuju parkiran. Dengan upah yang seikhlasnya.
Bekerja sebagai buruh gendong tidak banyak menghasilkan uang, karena tidak ada tarif untuk buruh gendong. Semua tergantung pada kemurahan hati yang akan menggunakan jasa Mijem untuk memanggul barangnya. “Nek nyuwun katah dikandake satpame (jika minta banyak nanti dibilang satpamnya),” ungkapnya.
Keberadaan buruh gendong tak terlepas dengan adanya pasar tradisional, terutama pasar Beringharjo yang terletak di Malioboro Yogyakarta. Puluhan wanita kuat dan tangguh membawa barang bawaan kesana kemari. Tak jarang rasa sakit dan nyeri menyerang perempuan yang tangguh untuk berjuang menghidupi keluarganya.
Barang bawaan dengan berat puluhan bahkan ratusan kilogram yang harus digendong Mijem dengan penuh semangat ketika sedang ramai pengunjung Pasar Bringharjo. Tetapi ketika pengunjung yang datang di Pasar Beringharjo sedikit, Mijem tidak dapat upah sama sekali dengan hal itu terkadang pengunjung melihat mbah mijem sedang duduk di pinggir sudut pasar mengasihi uangnya, tanpa mbah mijem meminta.
Mijem menyadari penghasilan sebagai buruh gendong sedikit. Meski harus hidup dengan pas-pasan dengan keterbatasan yang ada, beliau selalu bersyukur terhadap apa yang telah beliau dapatkan dan semangat nya terus berkobar untuk terus menjalani profesi sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo yang sudah beliau jalani puluhan tahun. Semangat yang dimiliki oleh Mbah Mijem ini perlu dicontoh oleh para kaum generasi muda, seperti mbah Mijem yang selalu berusaha dengan keras untuk tetap semangat menjalani kehidupannya.
Untuk itu sosok Mijem banyak menginspirasi para kaum perempuan untuk terus berjuang dengan profesi yang sangat berat yaitu sebagai buruh gendong, dimana profesi tersebut seharusnya dilakukan oleh kaum pria. Tetapi dilihat disini tidak ada perbedaan antara profesi laki-laki dan perempuan.


anasabila memberi reputasi
1
885
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan