- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Been 4 Years Since My Greatest Sacrifice of My Life, Tribute to My Mother
TS
KyraAltair
Been 4 Years Since My Greatest Sacrifice of My Life, Tribute to My Mother
Quote:
Halo agan semua, kembali lagi bersama saya Kaskus Creator yg gak laku ini, kali ini saya membuat thread tentang Life Experience, it's about my own life to be honest, i'm sorry if it's so pathetic or cheesy.
Quote:
1. Thread ini bersifat sharing, bukan curhat (eh, beda gak sih )
2. Thread ini tidak bersifat open discussion, jadi TS tidak menerima kritik dan nyinyiran (apalagi pada pilihan-pilihan hidup yang saya ambil), namun menerima saran selama membangun
3. Thread ini merupakan kelanjutan dari Mana Pilihanmu? Masa Depan atau Masa Sangat Depan Sekali
4. Thread ini juga merupakan kelanjutan dari postingan What should i do @_@
5. Thread ini kudedikasikan untuk memperingati 3 tahun wafatnya ibu saya, tepat pada tanggal thread ini dibuat
2. Thread ini tidak bersifat open discussion, jadi TS tidak menerima kritik dan nyinyiran (apalagi pada pilihan-pilihan hidup yang saya ambil), namun menerima saran selama membangun
3. Thread ini merupakan kelanjutan dari Mana Pilihanmu? Masa Depan atau Masa Sangat Depan Sekali
4. Thread ini juga merupakan kelanjutan dari postingan What should i do @_@
5. Thread ini kudedikasikan untuk memperingati 3 tahun wafatnya ibu saya, tepat pada tanggal thread ini dibuat
Kronologisme 2013-2014
The Stories of 2013
Quote:
Di akhir 2012 dan awal-awal 2013 diriku menghadapi guncangan batin setelah seseorang yang seharusnya menjadi pasangan hidupku ternyata harus berjodoh dengan orang lain. Singkat kata akhirnya diriku mengikhlaskan dan yakin akan datang suatu saat jodoh untukku yang tepat, biarlah dia bahagia, akupun ikut bahagia untuknya.
Setelah peristiwa yang cukup menyayat hati, kini aku dihadapkan kebimbangan lainnya, Ibu yang selama ini harus aku tinggalkan, terpisah ribuan kilometer melewati samudera, pulau dan hutan2 karena tuntutan pekerjaan semakin memburuk keadaannya. Penyakit Gagal Ginjal yang menggerogoti dirinya sejak 2009 semakin hari semakin mengikis kesehatan dirinya. Setiap kali dirinya bercerita tentang peristiwa-peristiwa menyayat hati yang terjadi selama ia harus pergi ke klinik tempatnya melakukan Haemodialisis membuatku mempertanyakan diriku, apakah aku layak dianggap sebagai seorang anak? apakah aku durhaka?. Beberapa kali peristiwa seperti terjatuh saat turun dari Bus Koantas Bima setelah pulang Haemodialisis (you knowlah bus2 keparat seperti itu menurunkan penumpang seperti apa), atau saat ia dicurigai berniat buruk karena meminta tolong seorang wanita di tengah jalan untuk menemaninya pulang dengan taksi karena ibuku saat itu kondisinya sangat lemah (bayangkan seperti orang kehabisan darah atau darah rendah yang hampir pingsan).
Mendengar hal-hal seperti itu tentu publik di sekitarnya akan bertanya-tanya, kemana suaminya? kemana anaknya? kemana keluarganya?. Ibu saya harus menjalani Haemodialisis di suatu klinik di Jakarta Selatan, sementara diriku harus menjalani apa yang ditetapkan Surat Keputusan dari negara, bertugas di suatu daerah terpencil di Maluku Utara. Ibuku bepergian 3x dalam seminggu untuk menjalani pengobatan itu sendirian, tanpa seorang pun yang menemani pulang pergi, ia sudah lama bercerai, ayahku sudah lama memiliki istri yang baru dan tinggal bersamanya di bagian lain di Jakarta, adikku hanyalah seorang bocah wanita berumur 13 tahun saat itu yang tidak bisa diandalkan (as expected as common teenager at that time), sementara ibu dan adikku tinggal bersama nenek yang tak jauh berbeda kondisinya, hanya sedikit lebih sehat, namun bukan berarti tidak sakit. Ibuku tidaklah sebatang kara, ia punya 5 saudara lainnya yang 2 diantaranya sama-sama hidup di Jakarta, dan keduanya sangat berkecukupan, namun sepanjang pengetahuan saya, tidak ada usaha positif untuk mengatasi problematika ibuku, sekalipun mereka kadang memberikan uang yang jumlahnya berjuta-juta, kadang memberikan obat2an alternatif, kadang meminjamkan supir dan mobil untuk berobat alternatif, namun tidak menyelesaikan fakta bahwa ibuku bepergian dalam kondisi yang bisa tewas anytime di jalan 3x seminggu, mereka tidak pernah meminjamkan atau bersolusi membayar orang untuk menemani dan meminjamkan mobil2 mereka untuk antar jemput ibuku, nope and never. Sesekali mungkin terjadi, tapi untuk rutin rasanya mereka sangat mampu untuk melakukannya, namun itulah fakta hidup, fakta tidak semua hubungan kekerabatan dan kekeluargaan itu indah, akrab dan hangat. Keduanya sering beralasan klasik bahwa mereka sudah membiayai hidup diriku, adikku dan tentu ibuku lewat uang yang diberikan untuk nenekku, dan tentu aku tidak bisa menafikan fakta aku dan adikku bisa bersekolah hingga SMA karena bantuan biaya dari mereka.
Kandasnya hubunganku dengan wanita yang kini sudah berbahagia (semoga) dengan orang lain, membuatku teringat dengan ibuku, apakah ini sebuah teguran untukku dari Allah untuk lebih perhatian kepadanya? mengingat aku memang tidak terlalu dekat dengan ibuku, aku tidakklah seperti kebanyakan orang yang show affection to their mom bermanja2 dan sejenisnya kayak model Rapi Amat, tapi bukan berarti saya tidak cinta dengannya, i just have different way to love, as she had different way than common mother do to love their children. Kisah-kisah selama perjalanan dia menuju klinik yang sebelumnya saya ceritakan membuat saya bimbang, terlebih surat yang saya ajukan terkait permohonan pindah untuk mengurus orang tua tidak kunjung dikabulkan, berbulan-bulan bahkan tahun selalu dalam proses. Akhirnya saya dihadapkan pada dua pilihan, mempertahankan karir dan pekerjaan yang menurut sebagian orang sangat secure dengan penghasilan yang cukup besar untuk orang seumuran dan dengan tingkat pendidikan saya saat itu, atau membuang semuanya, mengorbankan zona nyaman dan aman tersebut demi kesempatan untuk bisa bersama ibuku, menemaninya setiap Haemodialisis, hingga akhir hayat menjemputnya (kalau beliau duluan yang dijemput, ajal tidak ada yang tahu dan sangka kan.
Setelah peristiwa yang cukup menyayat hati, kini aku dihadapkan kebimbangan lainnya, Ibu yang selama ini harus aku tinggalkan, terpisah ribuan kilometer melewati samudera, pulau dan hutan2 karena tuntutan pekerjaan semakin memburuk keadaannya. Penyakit Gagal Ginjal yang menggerogoti dirinya sejak 2009 semakin hari semakin mengikis kesehatan dirinya. Setiap kali dirinya bercerita tentang peristiwa-peristiwa menyayat hati yang terjadi selama ia harus pergi ke klinik tempatnya melakukan Haemodialisis membuatku mempertanyakan diriku, apakah aku layak dianggap sebagai seorang anak? apakah aku durhaka?. Beberapa kali peristiwa seperti terjatuh saat turun dari Bus Koantas Bima setelah pulang Haemodialisis (you knowlah bus2 keparat seperti itu menurunkan penumpang seperti apa), atau saat ia dicurigai berniat buruk karena meminta tolong seorang wanita di tengah jalan untuk menemaninya pulang dengan taksi karena ibuku saat itu kondisinya sangat lemah (bayangkan seperti orang kehabisan darah atau darah rendah yang hampir pingsan).
Mendengar hal-hal seperti itu tentu publik di sekitarnya akan bertanya-tanya, kemana suaminya? kemana anaknya? kemana keluarganya?. Ibu saya harus menjalani Haemodialisis di suatu klinik di Jakarta Selatan, sementara diriku harus menjalani apa yang ditetapkan Surat Keputusan dari negara, bertugas di suatu daerah terpencil di Maluku Utara. Ibuku bepergian 3x dalam seminggu untuk menjalani pengobatan itu sendirian, tanpa seorang pun yang menemani pulang pergi, ia sudah lama bercerai, ayahku sudah lama memiliki istri yang baru dan tinggal bersamanya di bagian lain di Jakarta, adikku hanyalah seorang bocah wanita berumur 13 tahun saat itu yang tidak bisa diandalkan (as expected as common teenager at that time), sementara ibu dan adikku tinggal bersama nenek yang tak jauh berbeda kondisinya, hanya sedikit lebih sehat, namun bukan berarti tidak sakit. Ibuku tidaklah sebatang kara, ia punya 5 saudara lainnya yang 2 diantaranya sama-sama hidup di Jakarta, dan keduanya sangat berkecukupan, namun sepanjang pengetahuan saya, tidak ada usaha positif untuk mengatasi problematika ibuku, sekalipun mereka kadang memberikan uang yang jumlahnya berjuta-juta, kadang memberikan obat2an alternatif, kadang meminjamkan supir dan mobil untuk berobat alternatif, namun tidak menyelesaikan fakta bahwa ibuku bepergian dalam kondisi yang bisa tewas anytime di jalan 3x seminggu, mereka tidak pernah meminjamkan atau bersolusi membayar orang untuk menemani dan meminjamkan mobil2 mereka untuk antar jemput ibuku, nope and never. Sesekali mungkin terjadi, tapi untuk rutin rasanya mereka sangat mampu untuk melakukannya, namun itulah fakta hidup, fakta tidak semua hubungan kekerabatan dan kekeluargaan itu indah, akrab dan hangat. Keduanya sering beralasan klasik bahwa mereka sudah membiayai hidup diriku, adikku dan tentu ibuku lewat uang yang diberikan untuk nenekku, dan tentu aku tidak bisa menafikan fakta aku dan adikku bisa bersekolah hingga SMA karena bantuan biaya dari mereka.
Kandasnya hubunganku dengan wanita yang kini sudah berbahagia (semoga) dengan orang lain, membuatku teringat dengan ibuku, apakah ini sebuah teguran untukku dari Allah untuk lebih perhatian kepadanya? mengingat aku memang tidak terlalu dekat dengan ibuku, aku tidakklah seperti kebanyakan orang yang show affection to their mom bermanja2 dan sejenisnya kayak model Rapi Amat, tapi bukan berarti saya tidak cinta dengannya, i just have different way to love, as she had different way than common mother do to love their children. Kisah-kisah selama perjalanan dia menuju klinik yang sebelumnya saya ceritakan membuat saya bimbang, terlebih surat yang saya ajukan terkait permohonan pindah untuk mengurus orang tua tidak kunjung dikabulkan, berbulan-bulan bahkan tahun selalu dalam proses. Akhirnya saya dihadapkan pada dua pilihan, mempertahankan karir dan pekerjaan yang menurut sebagian orang sangat secure dengan penghasilan yang cukup besar untuk orang seumuran dan dengan tingkat pendidikan saya saat itu, atau membuang semuanya, mengorbankan zona nyaman dan aman tersebut demi kesempatan untuk bisa bersama ibuku, menemaninya setiap Haemodialisis, hingga akhir hayat menjemputnya (kalau beliau duluan yang dijemput, ajal tidak ada yang tahu dan sangka kan.
Quote:
Sebenarnya bukan hanya alasan terkait penyakit ibuku saja yang membuatku ingin meninggalkan pekerjaanku, pekerjaanku yang ibarat mati segan hidup tak mau, terbuang di "kota" dengan peradaban tertinggal selama 2 tahun setengah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang 99% orang akan mengatakan magabut, atau lebih tepatnya pengangguran yang menjadikan kerjaan sebagai selingan kalau bosan maen game di kantor bukan sebaliknya yang lebih umum terjadi. Magabut yang terjadi ini bukan sekadar bentuk kekecewaan atas Surat Keputusan dari negara untuk bertugas disitu, namun karena kondisi. Salah satunya posisiku yang dipindah sana dipindah sini seolah ban serep untuk mengisi kekosongan atau sekadar merotasi senior yg mentalnya atau kinerjanya sampah. Dan memang posisi-posisi yang kuisi nyaris tak ada pekerjaan rutin harian yg dikerjakan dari pagi hingga sore, bahkan kadang aku hanya bekerja sebulan sekali. Kondisi yang sebenarnya menurutku adalah sebuah kegagalan sistem yang dipaksakan. Di sisi lain kesempatan untuk naik ke posisi yang lebih menjanjikan dan bisa meningkatkan skill dan keilmuanku tak pernah diberikan, 2 orang juniorku yang setahun setelah aku ditugaskan baru muncul, justru lebih dulu diangkat, berbarengan dengan rekan2 seangkatanku di kantor ke posisi jabatan yang lebih menantang dan gak magabut, yang tentu saja dari segi penghasilan ada kenaikan yg ckup signifikan. Sementara permohonan pindahku pun tak kunjung diberikan. Kondisiku benar-benar digantung, sementara kondisi ibuku kian memburuk.
Keinginanku untuk meninggalkan pekerjaanku sudah kusampaikan kepada ibuku, beliau tentu tidak bisa menerimanya, begitu bangganya beliau dengan status dan pekerjaanku yang aku sendiri justru despise it till this very moment. Ibuku membujukku untuk pergi ke kantor pusat sekali lagi, ke bagian kepegawaian, kebetulan ibuku sempat tak sengaja kenal dengan pegawai kantor pusat yang kebetulan tetangga jauh saat orang itu menawarkan tumpangan karena kasihan melihat ibuku yang pergi sendirian di jalan. Dengan mengandalkan "koneksi" aku yang sebenarnya sudah ogah dan muak untuk pergi ke kantor pusat karena sudah 2x aku kesana dan diberikan jawaban2 sampah yang tidak memuaskan seolah apa yang saya ajukan ini cuma main-main, hanya trik atau memanfaatkan kondisi semata, manja, dsb, akhirnya bersedia untuk ke kantor pusat lagi, dengan syarat ibuku ikut, dan itu yang terakhir. Ternyata sesampainya disana, tetangga tersebut sama sekali tidak menemui kami, hanya mengarahkan untuk bertemu dengan seseorang yg kalau tidak salah jabatannya kepala seksi di bagian kepegawaian, sesampainya di bagian kepegawaian (yang saya sudah kesitu 3x saat itu) orang yang dimaksud pun tidak mau menemui kami, hanya anak buahnya, rekan seangkatan yang wajah dan namanya kebetulan saya tidak kenal, yang tentu memberikan jawaban sampah yang sama yang sebelum2nya sudah pernah diberikan, masih dalam proses berdasarkan antrian, padahal beberapa rekan seniorku di kantor, mengajukan permohonan yang sama, dengan alasan yang sebenarnya lebih ringan bahkan absurd, malah disetujui duluan, padahal mereka justru terinspirasi dari action yang saya lakukan, mereka disetujui hanya karena mereka sudah mengabdi lebih dari 4 tahun di Maluku Utara (walau bukan di "kota" tersebut sepenuhnya) dan permohonan pindah mereka pun ke homebase yang bukan kota impian macam Jakarta. Ingin rasanya ku memukul wajah rekan seangkatanku yang enak-enakan di kantor pusat itu ketika memberikan jawaban enteng ya itu tergantung atasan, ketika kucounter jawaban sebelumnya yang masih dalam proses, setahun sebelumnya dia memberikan jawaban yang sama, dan kini diberikan counter fakta tentang seniorku yang tidak sesuai dengan kata "ANTRIAN", jawaban entengnya hanya tergantung atasan. Akhirnya aku meminta kepadanya untuk bertemu dengan si atasan, Kepala Bagian Kepegawaian, yang saat itu sedang rapat atau ngapain (yang saya yakin bohong), saya katakan pada rekan saya, saya tunggu.
Akhirnya saya bertemu dengan si atasan, seorang wanita, ibu yang sudah cukup berumur mungkin sekitar 40an, orang yang sudah terkenal di kalangan internal sebagai jerk, bitch, ars**le, you mention it kalau sudah terkait mutasi, promosi dsb. Namun saya tidak pernah menggubris gosip2 tersebut selama saya tidak pernah kenal langsung dengan orangnya. Akhirnya saya dan ibu saya menceritakan kasus saya ini, mengapa surat permohonan saya juga tak kunjung dikabulkan. Dengan nada pongah dia bertanya2 terkait berapa lama saya berada disana, seperti apa prestasi saya selama kuliah, bahkan saya ditanya saya kesitu dalam rangka cuti atau apa, yang saya paham maksud dan arah tujuan pertanyaan dan pernyataan beliau. Sewajarnya permohonan pindah menurut ketentuan bisa dilakukan jika sudah melebihi 4 tahun (jika di luar jawa), dan penempatan dari tahun ke tahun masih menggunakan sistem sampah, ranked by IPK semasa kuliah (which is fckin bullshit, 3 tahun menentukan hidup 30 tahun atau bahkan lebih). Saya akui saya memang baru di "kota" tersebut, baru 2 tahun lebih disana, dan jelas dari lokasi anda-anda bisa tahu kalau prestasi saya semasa kuliah tidaklah bagus (bukan berarti saya bodoh dan tolol dan yang IPKnya tinggi adalah orang-orang yang sudah pasti cerdas dan mampu bekerja dengan baik). Pernyataan dan pertanyaan si atasan ini membuat saya sangat dongkol, apa urusannya prestasi kuliah dan lama mengabdi dengan kondisi saya? ibu saya benar-benar sakit, dia bisa melihat sendiri kondisi ibu saya yang saat itu kebetulan pulang dari haemodialisis, kebetulan juga saat itu kondisi ibu saya juga tidak drop sehingga terlihat lebih segar. Singkat cerita ibu saya justru ditegur, jangan memanjakan anak, dan saya pun ditegur
agar jangan memanfaatkan kondisi ibu untuk keuntungan pribadi, terus terang saja rasanya saya ingin mencekik atau melempar orang itu keluar jendela dari lantai sekian belas dari gedung kantor pusat, kalau saja waktu itu kami hanya bertiga, tidak ada rekan seangkatan saya yang lain menemani kami, dan kalau saja saya tidak punya iman atau sudah hilang akal, kalap oleh syetan. Ibu saya pun menambahkan, kalau saya ingin keluar saja jika permohonan saya tidak dikabul2kan juga, memang saya sudah diskusi dan sharing juga di forum internal mengenai kisah dan rencana saya, saya sudah berencana untuk meletakkan Name Tag saya di meja si atasan, Kepala Kepegawaian, andai hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, dan menimbulkan kesan dramatis tentu saja. Mendengar hal itu, si atasan, masih dengan nada pongah bin nyinyirnya, berkata silakan2 saja, masih banyak di luaran sana yang berminat, 70% lebih dari instansi ini diisi oleh orang-orang Jawa (which is in my opinion, a complete total failure of system), ga mungkin semuanya ada di jawa, siapa yang ngisi di daerah2. Saat itu saya sudah malas berkata-kata, andai Allah sudah tak cinta denganku mungkin sudah dibiarkan jin-jin kafir bersifat syetan mengompori diriku untuk melakukan hal-hal yang tak bisa dibayangkan pada wanita itu. Akhirnya aku dan ibuku pun pulang, tentu tanpa melakukan hal dramatis melempar atau meletakkan name tag di atas meja, karena saking muak dan jijiknya saya saat itu sama manusia tersebut, dan tentu dengan birokrasi internal yang luar biasa sampah, ibarat politikmercu suar yang ingin instansi tersebut terlihat sangat professional di mata publik, namun dari segi internal masih sangat bobrok. Tak berapa lama saya kembali ke kantor saya di Maluku Utara, disana saya mempersiapkan langkah selanjutnya yang sudah saya putuskan sejak langkah terakhir saya meninggalkan gedung kantor pusat yang hingga saat ini masih meninggalkan rasa sakit setiap kali saya menginjakkan kaki ke sana untuk urusan pekerjaan.
Tidak sampai 3-4 bulan sejak saat itu, saya bersiap2 untuk meninggalkan Maluku Utara untuk selama2nya, barang-barang saya mulai saya kirimkan seperti pakaian, sementara elektronik saya bawa langsung bersama koper-koper ketika berangkat. Keputusan yang menghabiskan banyak biaya saat itu untuk mengirimkan barang, overcharge bagasi yang hingga 2x lipat sendiri dari harga tiketnya, belum lagi untuk biaya hidup selanjutnya di Jakarta. Sebelum berangkat ke Jakarta, mantan Kepala Seksi saya yang terakhir (dimana saya untuk terakhir kalinya dipindah posisikan lagi ke seksi lain, yang lagi-lagi untuk mengisi kekosongan karena rekan seangkatan saya dipromosi jabatan) menemui saya ke kamar kost, beliau menemui saya karena sudah beberapa hari saya tidak masuk kantor, sejak surat keputusan mutasi seksi keluar dan diedarkan, jadi saya belum 1x pun duduk di seksi baru saya tersebut meskipun sebenarnya saya sudah sering kesitu dan cukup kenal dengan kepala seksinya (yang menurut saya terlalu idealis negatif, ala mindset2 sebagian besar bangsa yang mengidam2kan pekerjaan di instansi ini), beliau mempertanyakan alasan saya tidak masuk kantor, dan saya jelaskan maksud saya kalau saya mau meninggalkan Maluku Utara, kembali ke Jakarta, menemani ibu saya, tentu resign jenis ini tidaklah resmi, tidak melalui surat permohonan resign, yang saya tahu bakal memakan waktu lagi, bahkan ada risiko ditolak yeah fcuk birokrasi. Mendengar hal tersebut, mantan kepala seksi saya menasehati saya untuk memikirkan ulang keputusan saya, cari kerja itu sulit, banyak yang mengidam2kan berada di posisi saya, bekerja di instansi tersebut, apalagi saat itu juga saya belum punya pekerjaan yang baru (ya gimana cari kerja di Jakarta kalau saya di sana, ngelamar juga perlu diinterview kan, masa bolak balik tekor di tiket, belum tentu diterima). Namun, saya nyatakan kalau keputusan saya sudah final dan tak bisa diganggu gugat, to the fcuk with you dan instansi tersebut, saya sudah bersabar dan memberikan yang terbaik untuk negara, negaralah yang mengecewakan saya, dan untuk urusan penghasilan, kebetulan pada saat itu saya memang gambling dengan investasi saya yang kebetulan sedang macet, berharap tidak butuh lama untuk menghadapi krisis dan kembali recovery stelah Liberty Reserve dibredel. Akhirnya sekitar bulan Juni 2013, saya berangkat ke Jakarta, pergi untuk selamanya dari "kota" menyedihkan itu, meninggalkan sejuta kenangan tentang pahitnya kehidupan.
Keputusanku menuai amarah dari seluruh keluarga besarku, terutama dari kedua OM yang seperti saya kisahkan diatas, memiliki andil besar dalam menghidupi dan menyekolahkanku dari kecil, menganggap bahwa keputusanku merupakan keputusan bodoh, menganggap keputusan saya semata2 akibat sumbu pendek karena ditinggalkan wanita, dianggap saya masih mau nguber cinta si wanita (yang benar2 bullshit karena mantan calon istri saya sudah menikah sejak Feb 2013), Nenek saya pun ikut2an marah terhadap saya selalu mengulang2 hal yang sama (bahkan hingga saat ini sampai bosan dan muak mendengarnya) bahwa keputusan saya ditrigger sama mantan saya, tentu ibu saya juga kecewa, yang memang sejak awal pengumuman penempatan pun sudah berkata, tak usah mempedulikan dia, dia lebih senang saya di sana, daripada di Jakarta, tentu karena status dan pekerjaan saya. Hal ini membuat saya sangat sakit hati dan kecewa dengan perlakuan keluarga saya, bahkan beberapa teman pun ikut2an nyinyir ketika reuni buka puasa bersama 2013, menganggap keputusan saya sangat disayangkan. Saat itu saya merasa bingung, kenapa sama dunia ini, why they couldn't see the big picture here, i left my job, for my mom not for anything else. Saya tidak akan meninggalkan pekerjaan saya semudah itu jika ibu saya sehat-sehat saja, sekalipun pekerjaan saya dan perlakuan instansi terhadap saya seshitty yang saya ceritakan. Saya pasti mempersiapkan back up plan dulu, minimal sudah dapat pekerjaan yang secure dulu sebelum memutuskan hengkang, dan tentu melakukang resign yang resmi agar tidak meninggalkan kesan jelek. Tapi kondisi saya kan berbeda, saya berperang dengan waktu dan kondisi yang semakin menggerus kesehatan ibu saya, she could die anytime.
Keinginanku untuk meninggalkan pekerjaanku sudah kusampaikan kepada ibuku, beliau tentu tidak bisa menerimanya, begitu bangganya beliau dengan status dan pekerjaanku yang aku sendiri justru despise it till this very moment. Ibuku membujukku untuk pergi ke kantor pusat sekali lagi, ke bagian kepegawaian, kebetulan ibuku sempat tak sengaja kenal dengan pegawai kantor pusat yang kebetulan tetangga jauh saat orang itu menawarkan tumpangan karena kasihan melihat ibuku yang pergi sendirian di jalan. Dengan mengandalkan "koneksi" aku yang sebenarnya sudah ogah dan muak untuk pergi ke kantor pusat karena sudah 2x aku kesana dan diberikan jawaban2 sampah yang tidak memuaskan seolah apa yang saya ajukan ini cuma main-main, hanya trik atau memanfaatkan kondisi semata, manja, dsb, akhirnya bersedia untuk ke kantor pusat lagi, dengan syarat ibuku ikut, dan itu yang terakhir. Ternyata sesampainya disana, tetangga tersebut sama sekali tidak menemui kami, hanya mengarahkan untuk bertemu dengan seseorang yg kalau tidak salah jabatannya kepala seksi di bagian kepegawaian, sesampainya di bagian kepegawaian (yang saya sudah kesitu 3x saat itu) orang yang dimaksud pun tidak mau menemui kami, hanya anak buahnya, rekan seangkatan yang wajah dan namanya kebetulan saya tidak kenal, yang tentu memberikan jawaban sampah yang sama yang sebelum2nya sudah pernah diberikan, masih dalam proses berdasarkan antrian, padahal beberapa rekan seniorku di kantor, mengajukan permohonan yang sama, dengan alasan yang sebenarnya lebih ringan bahkan absurd, malah disetujui duluan, padahal mereka justru terinspirasi dari action yang saya lakukan, mereka disetujui hanya karena mereka sudah mengabdi lebih dari 4 tahun di Maluku Utara (walau bukan di "kota" tersebut sepenuhnya) dan permohonan pindah mereka pun ke homebase yang bukan kota impian macam Jakarta. Ingin rasanya ku memukul wajah rekan seangkatanku yang enak-enakan di kantor pusat itu ketika memberikan jawaban enteng ya itu tergantung atasan, ketika kucounter jawaban sebelumnya yang masih dalam proses, setahun sebelumnya dia memberikan jawaban yang sama, dan kini diberikan counter fakta tentang seniorku yang tidak sesuai dengan kata "ANTRIAN", jawaban entengnya hanya tergantung atasan. Akhirnya aku meminta kepadanya untuk bertemu dengan si atasan, Kepala Bagian Kepegawaian, yang saat itu sedang rapat atau ngapain (yang saya yakin bohong), saya katakan pada rekan saya, saya tunggu.
Akhirnya saya bertemu dengan si atasan, seorang wanita, ibu yang sudah cukup berumur mungkin sekitar 40an, orang yang sudah terkenal di kalangan internal sebagai jerk, bitch, ars**le, you mention it kalau sudah terkait mutasi, promosi dsb. Namun saya tidak pernah menggubris gosip2 tersebut selama saya tidak pernah kenal langsung dengan orangnya. Akhirnya saya dan ibu saya menceritakan kasus saya ini, mengapa surat permohonan saya juga tak kunjung dikabulkan. Dengan nada pongah dia bertanya2 terkait berapa lama saya berada disana, seperti apa prestasi saya selama kuliah, bahkan saya ditanya saya kesitu dalam rangka cuti atau apa, yang saya paham maksud dan arah tujuan pertanyaan dan pernyataan beliau. Sewajarnya permohonan pindah menurut ketentuan bisa dilakukan jika sudah melebihi 4 tahun (jika di luar jawa), dan penempatan dari tahun ke tahun masih menggunakan sistem sampah, ranked by IPK semasa kuliah (which is fckin bullshit, 3 tahun menentukan hidup 30 tahun atau bahkan lebih). Saya akui saya memang baru di "kota" tersebut, baru 2 tahun lebih disana, dan jelas dari lokasi anda-anda bisa tahu kalau prestasi saya semasa kuliah tidaklah bagus (bukan berarti saya bodoh dan tolol dan yang IPKnya tinggi adalah orang-orang yang sudah pasti cerdas dan mampu bekerja dengan baik). Pernyataan dan pertanyaan si atasan ini membuat saya sangat dongkol, apa urusannya prestasi kuliah dan lama mengabdi dengan kondisi saya? ibu saya benar-benar sakit, dia bisa melihat sendiri kondisi ibu saya yang saat itu kebetulan pulang dari haemodialisis, kebetulan juga saat itu kondisi ibu saya juga tidak drop sehingga terlihat lebih segar. Singkat cerita ibu saya justru ditegur, jangan memanjakan anak, dan saya pun ditegur
agar jangan memanfaatkan kondisi ibu untuk keuntungan pribadi, terus terang saja rasanya saya ingin mencekik atau melempar orang itu keluar jendela dari lantai sekian belas dari gedung kantor pusat, kalau saja waktu itu kami hanya bertiga, tidak ada rekan seangkatan saya yang lain menemani kami, dan kalau saja saya tidak punya iman atau sudah hilang akal, kalap oleh syetan. Ibu saya pun menambahkan, kalau saya ingin keluar saja jika permohonan saya tidak dikabul2kan juga, memang saya sudah diskusi dan sharing juga di forum internal mengenai kisah dan rencana saya, saya sudah berencana untuk meletakkan Name Tag saya di meja si atasan, Kepala Kepegawaian, andai hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, dan menimbulkan kesan dramatis tentu saja. Mendengar hal itu, si atasan, masih dengan nada pongah bin nyinyirnya, berkata silakan2 saja, masih banyak di luaran sana yang berminat, 70% lebih dari instansi ini diisi oleh orang-orang Jawa (which is in my opinion, a complete total failure of system), ga mungkin semuanya ada di jawa, siapa yang ngisi di daerah2. Saat itu saya sudah malas berkata-kata, andai Allah sudah tak cinta denganku mungkin sudah dibiarkan jin-jin kafir bersifat syetan mengompori diriku untuk melakukan hal-hal yang tak bisa dibayangkan pada wanita itu. Akhirnya aku dan ibuku pun pulang, tentu tanpa melakukan hal dramatis melempar atau meletakkan name tag di atas meja, karena saking muak dan jijiknya saya saat itu sama manusia tersebut, dan tentu dengan birokrasi internal yang luar biasa sampah, ibarat politikmercu suar yang ingin instansi tersebut terlihat sangat professional di mata publik, namun dari segi internal masih sangat bobrok. Tak berapa lama saya kembali ke kantor saya di Maluku Utara, disana saya mempersiapkan langkah selanjutnya yang sudah saya putuskan sejak langkah terakhir saya meninggalkan gedung kantor pusat yang hingga saat ini masih meninggalkan rasa sakit setiap kali saya menginjakkan kaki ke sana untuk urusan pekerjaan.
Tidak sampai 3-4 bulan sejak saat itu, saya bersiap2 untuk meninggalkan Maluku Utara untuk selama2nya, barang-barang saya mulai saya kirimkan seperti pakaian, sementara elektronik saya bawa langsung bersama koper-koper ketika berangkat. Keputusan yang menghabiskan banyak biaya saat itu untuk mengirimkan barang, overcharge bagasi yang hingga 2x lipat sendiri dari harga tiketnya, belum lagi untuk biaya hidup selanjutnya di Jakarta. Sebelum berangkat ke Jakarta, mantan Kepala Seksi saya yang terakhir (dimana saya untuk terakhir kalinya dipindah posisikan lagi ke seksi lain, yang lagi-lagi untuk mengisi kekosongan karena rekan seangkatan saya dipromosi jabatan) menemui saya ke kamar kost, beliau menemui saya karena sudah beberapa hari saya tidak masuk kantor, sejak surat keputusan mutasi seksi keluar dan diedarkan, jadi saya belum 1x pun duduk di seksi baru saya tersebut meskipun sebenarnya saya sudah sering kesitu dan cukup kenal dengan kepala seksinya (yang menurut saya terlalu idealis negatif, ala mindset2 sebagian besar bangsa yang mengidam2kan pekerjaan di instansi ini), beliau mempertanyakan alasan saya tidak masuk kantor, dan saya jelaskan maksud saya kalau saya mau meninggalkan Maluku Utara, kembali ke Jakarta, menemani ibu saya, tentu resign jenis ini tidaklah resmi, tidak melalui surat permohonan resign, yang saya tahu bakal memakan waktu lagi, bahkan ada risiko ditolak yeah fcuk birokrasi. Mendengar hal tersebut, mantan kepala seksi saya menasehati saya untuk memikirkan ulang keputusan saya, cari kerja itu sulit, banyak yang mengidam2kan berada di posisi saya, bekerja di instansi tersebut, apalagi saat itu juga saya belum punya pekerjaan yang baru (ya gimana cari kerja di Jakarta kalau saya di sana, ngelamar juga perlu diinterview kan, masa bolak balik tekor di tiket, belum tentu diterima). Namun, saya nyatakan kalau keputusan saya sudah final dan tak bisa diganggu gugat, to the fcuk with you dan instansi tersebut, saya sudah bersabar dan memberikan yang terbaik untuk negara, negaralah yang mengecewakan saya, dan untuk urusan penghasilan, kebetulan pada saat itu saya memang gambling dengan investasi saya yang kebetulan sedang macet, berharap tidak butuh lama untuk menghadapi krisis dan kembali recovery stelah Liberty Reserve dibredel. Akhirnya sekitar bulan Juni 2013, saya berangkat ke Jakarta, pergi untuk selamanya dari "kota" menyedihkan itu, meninggalkan sejuta kenangan tentang pahitnya kehidupan.
Keputusanku menuai amarah dari seluruh keluarga besarku, terutama dari kedua OM yang seperti saya kisahkan diatas, memiliki andil besar dalam menghidupi dan menyekolahkanku dari kecil, menganggap bahwa keputusanku merupakan keputusan bodoh, menganggap keputusan saya semata2 akibat sumbu pendek karena ditinggalkan wanita, dianggap saya masih mau nguber cinta si wanita (yang benar2 bullshit karena mantan calon istri saya sudah menikah sejak Feb 2013), Nenek saya pun ikut2an marah terhadap saya selalu mengulang2 hal yang sama (bahkan hingga saat ini sampai bosan dan muak mendengarnya) bahwa keputusan saya ditrigger sama mantan saya, tentu ibu saya juga kecewa, yang memang sejak awal pengumuman penempatan pun sudah berkata, tak usah mempedulikan dia, dia lebih senang saya di sana, daripada di Jakarta, tentu karena status dan pekerjaan saya. Hal ini membuat saya sangat sakit hati dan kecewa dengan perlakuan keluarga saya, bahkan beberapa teman pun ikut2an nyinyir ketika reuni buka puasa bersama 2013, menganggap keputusan saya sangat disayangkan. Saat itu saya merasa bingung, kenapa sama dunia ini, why they couldn't see the big picture here, i left my job, for my mom not for anything else. Saya tidak akan meninggalkan pekerjaan saya semudah itu jika ibu saya sehat-sehat saja, sekalipun pekerjaan saya dan perlakuan instansi terhadap saya seshitty yang saya ceritakan. Saya pasti mempersiapkan back up plan dulu, minimal sudah dapat pekerjaan yang secure dulu sebelum memutuskan hengkang, dan tentu melakukang resign yang resmi agar tidak meninggalkan kesan jelek. Tapi kondisi saya kan berbeda, saya berperang dengan waktu dan kondisi yang semakin menggerus kesehatan ibu saya, she could die anytime.
Quote:
2013 mungkin merupakan saat-saat terkelam dalam hidupku, sekitar Juni-Juli 2013 aku kembali tinggal di Jakarta, di sebuah kos-kosan, kenapa tidak tinggal bersama nenek? bukankah saya mau menemani ibu saya?. Hal ini adalah problematika saya yang lain, nenek saya tidak pernah suka dengan saya, dia menganggap ibu, adik dan saya jadi beban hidup dia, terpaksa menjual rumahnya yang cukup mewah di Sumatera, tempat tia tinggal dulu, demi mengurus kami bertiga. Sudah banyak kalimat2 yang menyebabkan kehidupan semasa mulai tinggal dengan nenek saya saat saya masih kelas 2 SMA hingga 2010 dipenuhi dengan hati yang tersayat, pahit dan getir, walau tidak setiap saat tidak setiap hari atau tidak dalam frekuensi wakt tertentu, namun ketika sedang kumat, yah begitulah adanya. Karena itu saya selalu kos di Jakarta, kalau saya sedang cuti pulkam, saya tidak mau mengganggu dan terganggu oleh nenek saya, walau biaya yang harus saya keluarkan besar (tinggal di Jakarta kalau cuti paling lama 2 minggu, bayar kos sebulan full). Di kos-kosan itulah saya memulai hidup saya yang baru, sebagai pengangguran. Sebenarnya karena saya tidak resign secara resmi, saya masih mendapatkan gaji dan tunjangan selama beberapa bulan, kalau tidak salah sampai antara Agustus-Oktober 2013, bahkan saya masih diberikan insentif rutin pegawai instansi tersebut yg diberikan setahun 2x. Memang hal ini sebenarnya hal ini adalah hal negatif dan memalukan, but who are you to judge?
Selama 6-7 bulan, aku mencari pekerjaan, melamar sana sini. Sebelumnya waktu baru tiba, sahabat wanitaku, temanku sewaktu SMA, yang selalu menjadi kawan bicaraku, curhatku dll semenjak aku ditinggalkan oleh calon istriku, membantu mencarikan pekerjaan, di salah satu anak perusahaan dari perusahaannya, akhirnya aku menerima tawaran tersebut, namun aku tak pernah menyangka lokasinya sangat amat jauh, berada di kabupaten tangerang, kalau tidak salah di Cikupa, di perusahaan divisi manufaktur (bukan sebagai buruh, ada kantornya), mengingat ongkos yang habis bisa belas bakan puluh ribu sekali jalan naik turun angkutan umum, dan tentu kill the point dari tujuan saya ke Jakarta, ingin dekat dengan ibu saya, akhirnya saya tidak ambil tawaran perusahaan tsb, meskipun saya diterima.
Selama 6-7 bulan, aku mencari pekerjaan, melamar sana sini. Sebelumnya waktu baru tiba, sahabat wanitaku, temanku sewaktu SMA, yang selalu menjadi kawan bicaraku, curhatku dll semenjak aku ditinggalkan oleh calon istriku, membantu mencarikan pekerjaan, di salah satu anak perusahaan dari perusahaannya, akhirnya aku menerima tawaran tersebut, namun aku tak pernah menyangka lokasinya sangat amat jauh, berada di kabupaten tangerang, kalau tidak salah di Cikupa, di perusahaan divisi manufaktur (bukan sebagai buruh, ada kantornya), mengingat ongkos yang habis bisa belas bakan puluh ribu sekali jalan naik turun angkutan umum, dan tentu kill the point dari tujuan saya ke Jakarta, ingin dekat dengan ibu saya, akhirnya saya tidak ambil tawaran perusahaan tsb, meskipun saya diterima.
Polling
0 suara
Apakah Keputusan Saya Memilih Keluar Untuk Ibu Saya Salah
Diubah oleh KyraAltair 24-11-2017 19:20
anasabila memberi reputasi
1
1.2K
Kutip
7
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan