

TS
Teknoforum
Apa Sih Bedanya Obat Tradisional, Fitofarmaka dan Kimia?
Halo gan, kali ini Teknoforum mampir ke bidang Kesehatan 
Agan pasti udah pernah denger istilah Fitofarmaka kan?
Apa sih bedanya sama obat herbal atau jamu?
Cekidot gan

Ketika tubuh merasakan sakit, menyembuhkannya terkadang menimbulkan pilihan yang sulit. Apakah Anda akan mengunjungi dokter atau menggunakan pengobatan alternatif? Pilihan itu akan berujung pada penggunaan obat yang diberikan.
Pada masyarakat awam, dikenal istilah obat kimia dan obat herbal. Obat kimia diidentikkan dengan obat yang diracik melalui proses kimiawi, sedangkan obat herbal umumnya dimaknai dengan obat yang berasal dari alam. Namun, benarkah demikian?
Sayangnya, pengategorian tersebut salah besar. Sebab, obat yang digunakan oleh para dokter di rumah sakit sejatinya juga diambil dari alam. “Obat dokter yang di rumah sakit itu diambil dari alam juga. Mana ada obat yang tidak alami?” kata dokter spesialis bedah saraf dr Roslan Yusni Hasan, SpBS, Tangerang.
Seperti yang dilansir dari Kompas.com, Roslan mencontohkan, air yang menjadi kebutuhan dasar manusia merupakan senyawa kimia. Senyawa yang menjadi syarat kehidupan di bumi itu terdiri dari hidrogen dan oksigen.
Menurut Roslan, obat yang baik harus diketahui secara detail kandungan aktifnya sebelum dikonsumsi. Selain itu, cara kerja obat di dalam tubuh juga perlu mendapat perhatian. Tak berhenti sampai di situ, efek samping setelah obat dikonsumsi dan cara penanganannya juga harus diketahui.
Jika syarat-syarat di atas tidak diketahui, maka upaya penyembuhan pun menjadi tak terukur. Akan tetapi, pada obat herbal atau obat tradisional, syarat tersebut seringkali tidak diindahkan.
“Misalnya panas, dikasih paracetamol, dosisnya 50 miligram per kilogram berat badan per hari. Efek sampingnya bisa ganggu pencernaan. (Sedangkan) jamu belum jelas bahan aktifnya apa, dosisnya ya kira-kira saja. Karena tidak tahu bahan aktifya, tidak tahu juga efeknya,” ucap Roslan.
Untuk itu, pemilihan metode penyembuhan penyakit harus dilakukan secara bijak. Tanpa ukuran yang jelas, bukan tak mungkin keganasan penyakit malah meningkat.
Standarisasi Obat Herbal Jangan Disamakan dengan Obat Modern
“Apabila obat herbal dicari zat aktifnya, namanya sudah bukan obat herbal lagi, melainkan seperti obat modern dan justru akan menimbulkan efek samping yang banyak, ” kata salah seorang pendiri Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Nurfina Aznam Nugroho.
Ia menanggapi pemberitaan bahwa saat ini penelitian yang menguji efek dan efek samping obat herbal terhadap manusia masih minim. Sehingga, sebagian besar dokter di Indonesia belum merekomendasikan pengunaan obat tradisional karena belum memenuhi standar akademik ilmiah.
Obat herbal itu sudah dibuktikan puluhan tahun dan bahkan ratusan tahun penggunaannya aman. Justru obat modern yang sudah jika evidence based seperti parasetamol kalau digunakan selama jangka panjang efek sampingnya mengiritasi lambung.
Sementara, obat herbal meskipun penggunaannya lama relatif aman. Dan, ini sudah dibuktikan oleh masyarakat yang menggunakannya. Sering kali orang juga menanyakan tentang standar dosis. Standar dosis obat tradisional dengan obat modern juga tidak bisa disamakan karena ukurannya berbeda. Dan sekarang banyak metode pengobatan kanker maupun penyakit lain, seperti lilin terapi maupun menggunakan jenis energi lain.
Kalau obat modern itu hanya ada satu zat aktif, kalau obat herbal, misalnya dalam kunyit itu banyak zat aktifnya antara lain curcumin, minyak atsiri dan turunannya lebih banyak lagi. Sehingga, antara satu zat aktif dengan zat aktif lainnya itu bisa saling mendukung, bisa mengurangi efek samping.
Karena itu, untuk obat herbal standar yang diterapkan antara lain, secara empiris dan dibuktikan secara luas bahwa orang menggunakan obat herbal. Misalnya, kunyit sebagai antinyeri, antiinflamasi, dan sebagainya, standar higienis pembuatan yang baik, bahan bakunya tidak berjamur, utuh, dan tidak bopeng-bopeng.
Menurut Nurfina, pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan jika membuat standar jamu, herbal berstandar, fitofarmaka itu justru jadi bumerang. Di Cina dan Jepang, klasifikasinya hanya obat herbal. Kalau menjadi fitofarmaka malah hanya akan menjadi obat modern karena hanya diambil satu senyawa zat aktif. Sehingga, belum tentu efek pengobatannya lebih bagus karena sudah dipisahkan zat aktifnya.
BPOM Memberikan Ruang Terhadap Penilitian dan Pengembangan Fitofarmaka
Pada kesempatan terpisah, Deputi Bidang Pengawasan Pengobatan Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen BPOM, Ondri Dwi Sampurno di Kegiatan Diskusi Tech Talk yang diselenggarakan oleh IDST The Habibie Center Rabu (8/11/2017) mengungkapkan, bahwa lingkup BPOM adalah untuk mengawasi lingkup obat dan makanan, salah satunya adalah obat tradisional dimana ada 3 kategori yaitu jamu, obat herbal berstandar dan fitofarmaka. Untuk BPOM melakukan pengawasan menggunakan istilah dalam pengawasan yaitu lulus spektum yaitu ada pengawasan yang pre market dan ada pengawasan cost market.
Ondri menambahkan, dalam pengawasan pre market, BPOM melakukan evaluasi sebelum produk itu beredar yang dibatasi dari sarana-sarana yang diproduksi. Komoditi dengan kata lain obat tradisional apakah memang sudah memenuhi ketentuan dengan syarat yang telah di tentukan dengan baik. Kemudian BPOM juga melakukan evaluasi terkait dengan produk, jadi produknya sebelum beredar dilakukan evaluasi kesesuaian mutu, keamanan dan manfaatnya, jadi harus ada pembuktian berkaitan dengan mutu keamanan dan manfaat.
Selanjutnya BPOM memberikan sertifikat cara membuat obat tradisional dengan baik untuk obat tradisional dan kami memberikan ijin edar. Setelah kami memberikan izin edar produk tersebut tidak kami lepas langsung, jadi kami melakukan pengawasan khusus market, kemudian mengambil produk-produk tersebut di pasar di distributor, lalu diuji apakah memang sesuai dengan yang didaftarkan pada saat itu.
Ia mengutarakan, BPOM juga ke sarana produksi di inspeksi apakah konsisten dengan cara pembuatan yang ditentukan. Setelah diadakan pengawasan dan pengadaan di rumah sakit, lalu melakukan monitor apakah terjadi efek samping atau efek yang tidak diinginkan dari produk tersebut. Kalau ini tidak sesuai BPOM akan melakukan tindakan. Teguran berupa sanksi administrasi ataupun sanksi pidana. Kalau ada kesengajaan yang dilakukan dalam bidang usaha. Bagi yang beredar tidak memiliki izin beredar, tidak menuruti cara pembuatan yang baik, tentu kami akan melakukan suatu tidakan dimana itu telah melanggar undang-undang.
Ondri mengatakan, untuk pengembangan obat tradisional itu sendiri, tentunya harus paham betul terkait dengan regulasi-regulasi yang mengatur tadi, apakah itu sesuai dengan sarana produksinya apa itu berkaitan dengan produknya itu sendiri dengan persyaratan mutu, dan persyaratan keamanan. Dalam hal ini sudah ada yang mengatur yaitu kemenkes dan juga dalam bentuk peraturan badan keamanan.
Ia menambahkan, dalam penekanannya disini nanti ada standar-standar yang harus diambil. Kemudian ada bahan tanaman yang di kategorikan sebagai negatif place karena sudah terbukti bahwa tanaman-tanaman itu adalah beresiko dan mengandung bahan yang berbahaya. Ada yang termasuk katagori magnetic ada yang masuk dalam jenis narkotik dan dalam penggunaan jangka panjang bisa beresiko terhadap fungsi ginjal, dan ini harus diperhatikan.
“Kemudian untuk pembuktian ada yang dibuktikan secara praklinik yaitu pada hewan dan ada pembuktian secara klinik pada subjek manusia, ini juga harus dipersiapkan. Itu menjadi acuan bagaimana pelaku pengembangan jamu, obat herbal berstandar dan fitofarmaka,” pungkasnya.
Sekian gan, jadi udah kenal kan sama Fitofarmaka?
Disini Sumbernya: http://teknopreneur.com/2017/11/20/s...aka-dan-kimia/


Agan pasti udah pernah denger istilah Fitofarmaka kan?
Apa sih bedanya sama obat herbal atau jamu?
Cekidot gan
Spoiler for Seperti Apa Perbedaan Obat Tradisional, Fitofarmaka dan Kimia:

Ketika tubuh merasakan sakit, menyembuhkannya terkadang menimbulkan pilihan yang sulit. Apakah Anda akan mengunjungi dokter atau menggunakan pengobatan alternatif? Pilihan itu akan berujung pada penggunaan obat yang diberikan.
Pada masyarakat awam, dikenal istilah obat kimia dan obat herbal. Obat kimia diidentikkan dengan obat yang diracik melalui proses kimiawi, sedangkan obat herbal umumnya dimaknai dengan obat yang berasal dari alam. Namun, benarkah demikian?
Sayangnya, pengategorian tersebut salah besar. Sebab, obat yang digunakan oleh para dokter di rumah sakit sejatinya juga diambil dari alam. “Obat dokter yang di rumah sakit itu diambil dari alam juga. Mana ada obat yang tidak alami?” kata dokter spesialis bedah saraf dr Roslan Yusni Hasan, SpBS, Tangerang.
Seperti yang dilansir dari Kompas.com, Roslan mencontohkan, air yang menjadi kebutuhan dasar manusia merupakan senyawa kimia. Senyawa yang menjadi syarat kehidupan di bumi itu terdiri dari hidrogen dan oksigen.
Menurut Roslan, obat yang baik harus diketahui secara detail kandungan aktifnya sebelum dikonsumsi. Selain itu, cara kerja obat di dalam tubuh juga perlu mendapat perhatian. Tak berhenti sampai di situ, efek samping setelah obat dikonsumsi dan cara penanganannya juga harus diketahui.
Jika syarat-syarat di atas tidak diketahui, maka upaya penyembuhan pun menjadi tak terukur. Akan tetapi, pada obat herbal atau obat tradisional, syarat tersebut seringkali tidak diindahkan.
“Misalnya panas, dikasih paracetamol, dosisnya 50 miligram per kilogram berat badan per hari. Efek sampingnya bisa ganggu pencernaan. (Sedangkan) jamu belum jelas bahan aktifnya apa, dosisnya ya kira-kira saja. Karena tidak tahu bahan aktifya, tidak tahu juga efeknya,” ucap Roslan.
Untuk itu, pemilihan metode penyembuhan penyakit harus dilakukan secara bijak. Tanpa ukuran yang jelas, bukan tak mungkin keganasan penyakit malah meningkat.
Standarisasi Obat Herbal Jangan Disamakan dengan Obat Modern
“Apabila obat herbal dicari zat aktifnya, namanya sudah bukan obat herbal lagi, melainkan seperti obat modern dan justru akan menimbulkan efek samping yang banyak, ” kata salah seorang pendiri Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Nurfina Aznam Nugroho.
Ia menanggapi pemberitaan bahwa saat ini penelitian yang menguji efek dan efek samping obat herbal terhadap manusia masih minim. Sehingga, sebagian besar dokter di Indonesia belum merekomendasikan pengunaan obat tradisional karena belum memenuhi standar akademik ilmiah.
Obat herbal itu sudah dibuktikan puluhan tahun dan bahkan ratusan tahun penggunaannya aman. Justru obat modern yang sudah jika evidence based seperti parasetamol kalau digunakan selama jangka panjang efek sampingnya mengiritasi lambung.
Sementara, obat herbal meskipun penggunaannya lama relatif aman. Dan, ini sudah dibuktikan oleh masyarakat yang menggunakannya. Sering kali orang juga menanyakan tentang standar dosis. Standar dosis obat tradisional dengan obat modern juga tidak bisa disamakan karena ukurannya berbeda. Dan sekarang banyak metode pengobatan kanker maupun penyakit lain, seperti lilin terapi maupun menggunakan jenis energi lain.
Kalau obat modern itu hanya ada satu zat aktif, kalau obat herbal, misalnya dalam kunyit itu banyak zat aktifnya antara lain curcumin, minyak atsiri dan turunannya lebih banyak lagi. Sehingga, antara satu zat aktif dengan zat aktif lainnya itu bisa saling mendukung, bisa mengurangi efek samping.
Karena itu, untuk obat herbal standar yang diterapkan antara lain, secara empiris dan dibuktikan secara luas bahwa orang menggunakan obat herbal. Misalnya, kunyit sebagai antinyeri, antiinflamasi, dan sebagainya, standar higienis pembuatan yang baik, bahan bakunya tidak berjamur, utuh, dan tidak bopeng-bopeng.
Menurut Nurfina, pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan jika membuat standar jamu, herbal berstandar, fitofarmaka itu justru jadi bumerang. Di Cina dan Jepang, klasifikasinya hanya obat herbal. Kalau menjadi fitofarmaka malah hanya akan menjadi obat modern karena hanya diambil satu senyawa zat aktif. Sehingga, belum tentu efek pengobatannya lebih bagus karena sudah dipisahkan zat aktifnya.
BPOM Memberikan Ruang Terhadap Penilitian dan Pengembangan Fitofarmaka
Pada kesempatan terpisah, Deputi Bidang Pengawasan Pengobatan Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen BPOM, Ondri Dwi Sampurno di Kegiatan Diskusi Tech Talk yang diselenggarakan oleh IDST The Habibie Center Rabu (8/11/2017) mengungkapkan, bahwa lingkup BPOM adalah untuk mengawasi lingkup obat dan makanan, salah satunya adalah obat tradisional dimana ada 3 kategori yaitu jamu, obat herbal berstandar dan fitofarmaka. Untuk BPOM melakukan pengawasan menggunakan istilah dalam pengawasan yaitu lulus spektum yaitu ada pengawasan yang pre market dan ada pengawasan cost market.
Ondri menambahkan, dalam pengawasan pre market, BPOM melakukan evaluasi sebelum produk itu beredar yang dibatasi dari sarana-sarana yang diproduksi. Komoditi dengan kata lain obat tradisional apakah memang sudah memenuhi ketentuan dengan syarat yang telah di tentukan dengan baik. Kemudian BPOM juga melakukan evaluasi terkait dengan produk, jadi produknya sebelum beredar dilakukan evaluasi kesesuaian mutu, keamanan dan manfaatnya, jadi harus ada pembuktian berkaitan dengan mutu keamanan dan manfaat.
Selanjutnya BPOM memberikan sertifikat cara membuat obat tradisional dengan baik untuk obat tradisional dan kami memberikan ijin edar. Setelah kami memberikan izin edar produk tersebut tidak kami lepas langsung, jadi kami melakukan pengawasan khusus market, kemudian mengambil produk-produk tersebut di pasar di distributor, lalu diuji apakah memang sesuai dengan yang didaftarkan pada saat itu.
Ia mengutarakan, BPOM juga ke sarana produksi di inspeksi apakah konsisten dengan cara pembuatan yang ditentukan. Setelah diadakan pengawasan dan pengadaan di rumah sakit, lalu melakukan monitor apakah terjadi efek samping atau efek yang tidak diinginkan dari produk tersebut. Kalau ini tidak sesuai BPOM akan melakukan tindakan. Teguran berupa sanksi administrasi ataupun sanksi pidana. Kalau ada kesengajaan yang dilakukan dalam bidang usaha. Bagi yang beredar tidak memiliki izin beredar, tidak menuruti cara pembuatan yang baik, tentu kami akan melakukan suatu tidakan dimana itu telah melanggar undang-undang.
Ondri mengatakan, untuk pengembangan obat tradisional itu sendiri, tentunya harus paham betul terkait dengan regulasi-regulasi yang mengatur tadi, apakah itu sesuai dengan sarana produksinya apa itu berkaitan dengan produknya itu sendiri dengan persyaratan mutu, dan persyaratan keamanan. Dalam hal ini sudah ada yang mengatur yaitu kemenkes dan juga dalam bentuk peraturan badan keamanan.
Ia menambahkan, dalam penekanannya disini nanti ada standar-standar yang harus diambil. Kemudian ada bahan tanaman yang di kategorikan sebagai negatif place karena sudah terbukti bahwa tanaman-tanaman itu adalah beresiko dan mengandung bahan yang berbahaya. Ada yang termasuk katagori magnetic ada yang masuk dalam jenis narkotik dan dalam penggunaan jangka panjang bisa beresiko terhadap fungsi ginjal, dan ini harus diperhatikan.
“Kemudian untuk pembuktian ada yang dibuktikan secara praklinik yaitu pada hewan dan ada pembuktian secara klinik pada subjek manusia, ini juga harus dipersiapkan. Itu menjadi acuan bagaimana pelaku pengembangan jamu, obat herbal berstandar dan fitofarmaka,” pungkasnya.
Sekian gan, jadi udah kenal kan sama Fitofarmaka?
Disini Sumbernya: http://teknopreneur.com/2017/11/20/s...aka-dan-kimia/












Diubah oleh Kaskus Support 03 17-07-2018 11:54


tien212700 memberi reputasi
1
1.3K
Kutip
0
Balasan


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan