- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Kehidupan di balik Pasar Kembang


TS
anggiefabiolaa
Kehidupan di balik Pasar Kembang
Keberadaan Pasar Kembang (Sarkem) di pusat kota di nilai memberikan dampak cukup besar bagi Yogyakarta. Tidak saja bertolak belakang dari sudut pandang agama maupun budaya, keberadaan tempat prostitusi yang terus eksis sampai saat ini juga di nilai bertentangan dengan nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta. Paradigma baru tentang kawasan ini perlu dibangun, bukan malah membesar-besarkan perspektif lampau tentang komplek Sarkem yang melegenda itu.
Pemerintah setempat juga dinilainya masih ‘mendua’ dimana pada satu sisi tidak mengakui Sarkem sebagai sebuah lokalisasi, namun disisi lain pemerintah membiarkan kondisi tersebut tetap berlangsung bahkan seolah melindungi keberadaan Sarkem itu sendiri. Wanita penghibur di komplek ini dianggap sebagai pekerja, sehingga upaya yang dilakukan adalah memberikan perlindungan.
Di sepanjang Gang tersebut beberapa rumah tampak di sinari dengan lampu warna-warni yang terkesan remang-remang. Di sepanjang lorong tersebut juga sesekali tampak sejumlah wanita yang menyapa dengan ramah kepada setiap orang yang lewat. Hampir di setiap kota besar di Indonesia pasti memiliki tempat wilayah khusus bagi para PSK (pekerja seks komersial) berkumpul dan menjual jasanya, sepertinya ini sudah bukan menjadi hal yang tabu bagi kebanyakan orang.
Saat masuk ke dalam Sarkem biasanya para pengunjung akan di kenakan biaya sebesar Rp.5000, atau sekedar uang keamanan, maklum saja karena ini adalah tempat prostitusi, karaoke dan hiburan malam. Sarkem sebenarnya wilayah yang berupa gang-gang kecil, terkadang harus masuk mengantri dan bergantian, setelah di dalam, banyak di jumpai para wanita yang berpakaian minim duduk di depan warung-warung karaoke kecil.
Malam itu juga mencoba berjalan menyusuri gang-gang tersebut. Akhirnya berhenti setelah ada sapaan dari wanita yang mengaku bernama Vera berumur 23 tahun. "Ayo mampir kesini mas," ujarnya.
Vera, salah satu pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di Pasar Kembang, mengatakan sekali servis, dirinya menerapkan tarif Rp.150.000. Ia bekerja semenjak 8 bulan yang lalu, dan mengaku pendapatannya tidak tetap. “Biasanya tidak ada tamu sama sekali yang mampir, sekali servis itu juga belum di potong sama uang keamanan 20 ribu dan uang kamar 30 ribu, sedangkan kamarnya harus bergantian sama yang lain” ujarnya.
Alasan Vera bekerja di Pasar Kembang karena faktor ekonomi, dan sudah bercerai dengan suami hanya untuk membiayai 2 orang anak. Ia bekerja tidak di bawah pengawasan orang lain atau yang biasa disebut “Mami”, tetapi ia bekerja dengan keinginannya sendiri untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari dan untuk menafkahi kedua anaknya tersebut.
Kemudian ia juga berkata bahwa bekerja disini mempunyai suka dan duka, sukanya jika ada tamu yang membayar lebih, dan dukanya jika ada tamu yang mabuk mereka bisa bersifat kasar. Tak hanya Vera yang langsung menggantungkan hidup dari memberikan layanan plus, seorang pedagang minuman di gang tersebut juga mengaku memperoleh penghasilan dari aktivitas di kawasan tersebut.
Di kawasan tersebut terdapat beberapa peraturan yang dimana pekerja tersebut harus memakai alat kontrasepsi saat melakukan hubungan intim, jika tidak maka tamu nya tersebut akan mendapatkan berhubungan intim secara gratis. Penggunaan alat kontrasepsi itu sudah mendapat himbauan dari Dinas Kesehatan, bahwa alat tersebut wajib digunakan saat berhubungan dan untuk menghindari penyakit seksual yang menular.
Melihat kultur budaya masyarakat Yogyakarta yang begitu kuat, ada perlunya upaya serius dari pemerintah dalam bersikap, baik itu dengan membubarkan komplek ini sebagai sebuah lokalisasi tidak resmi ataupun dengan merelokasi Sarkem dengan tujuan untuk mengentaskan para pelakunya. Salah satu solusi mengentaskan prostitusi yakni dengan menciptakan lapangan kerja, sehingga mereka dapat beralih dari menjual tubuh menjadi menjual jasa, pasalnya wanita yang ada di sini kebanyakan terjun dalam dunia prostitusi karena permasalahan himpitan ekonomi.
Inilah realita, semua yang bekerja dalam dunia prostitusi di Pasar Kembang menganggap inilah satu-satunya sumber penghasilan mereka, tak terlalu peduli orang lain berkata ini tidak baik atau sebagai sumber penyakit sosial.


Pemerintah setempat juga dinilainya masih ‘mendua’ dimana pada satu sisi tidak mengakui Sarkem sebagai sebuah lokalisasi, namun disisi lain pemerintah membiarkan kondisi tersebut tetap berlangsung bahkan seolah melindungi keberadaan Sarkem itu sendiri. Wanita penghibur di komplek ini dianggap sebagai pekerja, sehingga upaya yang dilakukan adalah memberikan perlindungan.
Di sepanjang Gang tersebut beberapa rumah tampak di sinari dengan lampu warna-warni yang terkesan remang-remang. Di sepanjang lorong tersebut juga sesekali tampak sejumlah wanita yang menyapa dengan ramah kepada setiap orang yang lewat. Hampir di setiap kota besar di Indonesia pasti memiliki tempat wilayah khusus bagi para PSK (pekerja seks komersial) berkumpul dan menjual jasanya, sepertinya ini sudah bukan menjadi hal yang tabu bagi kebanyakan orang.
Saat masuk ke dalam Sarkem biasanya para pengunjung akan di kenakan biaya sebesar Rp.5000, atau sekedar uang keamanan, maklum saja karena ini adalah tempat prostitusi, karaoke dan hiburan malam. Sarkem sebenarnya wilayah yang berupa gang-gang kecil, terkadang harus masuk mengantri dan bergantian, setelah di dalam, banyak di jumpai para wanita yang berpakaian minim duduk di depan warung-warung karaoke kecil.
Malam itu juga mencoba berjalan menyusuri gang-gang tersebut. Akhirnya berhenti setelah ada sapaan dari wanita yang mengaku bernama Vera berumur 23 tahun. "Ayo mampir kesini mas," ujarnya.
Vera, salah satu pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di Pasar Kembang, mengatakan sekali servis, dirinya menerapkan tarif Rp.150.000. Ia bekerja semenjak 8 bulan yang lalu, dan mengaku pendapatannya tidak tetap. “Biasanya tidak ada tamu sama sekali yang mampir, sekali servis itu juga belum di potong sama uang keamanan 20 ribu dan uang kamar 30 ribu, sedangkan kamarnya harus bergantian sama yang lain” ujarnya.
Alasan Vera bekerja di Pasar Kembang karena faktor ekonomi, dan sudah bercerai dengan suami hanya untuk membiayai 2 orang anak. Ia bekerja tidak di bawah pengawasan orang lain atau yang biasa disebut “Mami”, tetapi ia bekerja dengan keinginannya sendiri untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari dan untuk menafkahi kedua anaknya tersebut.
Kemudian ia juga berkata bahwa bekerja disini mempunyai suka dan duka, sukanya jika ada tamu yang membayar lebih, dan dukanya jika ada tamu yang mabuk mereka bisa bersifat kasar. Tak hanya Vera yang langsung menggantungkan hidup dari memberikan layanan plus, seorang pedagang minuman di gang tersebut juga mengaku memperoleh penghasilan dari aktivitas di kawasan tersebut.
Di kawasan tersebut terdapat beberapa peraturan yang dimana pekerja tersebut harus memakai alat kontrasepsi saat melakukan hubungan intim, jika tidak maka tamu nya tersebut akan mendapatkan berhubungan intim secara gratis. Penggunaan alat kontrasepsi itu sudah mendapat himbauan dari Dinas Kesehatan, bahwa alat tersebut wajib digunakan saat berhubungan dan untuk menghindari penyakit seksual yang menular.
Melihat kultur budaya masyarakat Yogyakarta yang begitu kuat, ada perlunya upaya serius dari pemerintah dalam bersikap, baik itu dengan membubarkan komplek ini sebagai sebuah lokalisasi tidak resmi ataupun dengan merelokasi Sarkem dengan tujuan untuk mengentaskan para pelakunya. Salah satu solusi mengentaskan prostitusi yakni dengan menciptakan lapangan kerja, sehingga mereka dapat beralih dari menjual tubuh menjadi menjual jasa, pasalnya wanita yang ada di sini kebanyakan terjun dalam dunia prostitusi karena permasalahan himpitan ekonomi.
Inilah realita, semua yang bekerja dalam dunia prostitusi di Pasar Kembang menganggap inilah satu-satunya sumber penghasilan mereka, tak terlalu peduli orang lain berkata ini tidak baik atau sebagai sumber penyakit sosial.




anasabila memberi reputasi
1
14K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan